Selasa, 15 Mei 2012

USHUL FIQH



2010

CIREBON

Naf'ah El Adawea



ANAFIATUL ADAWIYAH (09.01.0053)
[Resume Ushul Fiqh dari Bab I sampai dengan Bab VII]
PENGERTIAN FIQH DAN USHUL FIQH, SEJARAH PEMIKIRAN FIQH DAN USHUL FIQH SERTA PERKEMBANGANNYA, OBYEK PEMBAHASAN DAN TUJUAN MEMPELAJARI FIQH DAN USHUL FIQH, SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI DAN YANG TIDAK DISEPAKATI, HUKUM SYARI’AT; HUKUM TAKLIFI DAN WADH’I, MAHKUM ‘ALAIH DAN MAHKUM FIIH.
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM CIREBON (STAIC)
TARBIYAH/PAI/III B



MATA KULIAH: USHUL FIQH
DOSEN: DRA. LISLIS LISNAWATI M. AG





BAB I
PENGERTIAN FIQH DAN USHUL FIQH
1.      Pengertian Fiqh
Menurut bahasa, Fiqh berasal dari kata فَقِهَ-يَفْقَهُ-فِقْهًا yang berarti mengerti atau faham. Dari sinilah ditarik perkataan Fiqh, yang memberi pengertian kepahaman dalam hukum syariat yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Jadi, ilmu Fiqh adalah ilmu yang mempelajari syariat yang bersifat Amaliah (perbuatan) yang diperoleh dari dalil-dalil hukum yang terperinci dari ilmu tersebut.[1]
Ilmu Fiqh merupakan suatu kumpulan ilmu yang sangat besar pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai ragam jenis hukum Islam dan bermacam aturan hidup, untuk keperluan seseorang, golongan masyarakat umum manusia.[2]
Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang Amaliyah mengenai perbuatan atau perilaku dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci, atau Fiqh adalah ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad dan memerlukan wawasan serta perenungan.[3]
Fiqh merupakan bagian dari Syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (Mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci.[4]
Ijtihad artinya mempergunakan ilmu akal dan pikiran serta kemampuan secara sungguh-sungguh untuk merumuskan garis hukum berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits mengenai suatu masalah.[5]
Orang yang berijtihad dinamakan Mujtahid. Berijtihad mengeluarkan hukum-hukum dari kaidah-kaidah umum yang diambil dari dalil-dalil yang tersebar dalam Al-Qur’an dan Hadits terkenal dengan istilah-istilah:
1.      Qiyas atau interpretation (analogische interpretatie)
2.      Ijma’: kata sepakat dari para Faqih(kesepakatan para ulama’ Fiqih)
a.      Istishhab: berpegang kepada hukum keadaan semula.
b.      Istihsaan: mencari yang lebih baik dari yang baik.
c.      Mashlahah Mursalah: demi kemaslahatan umum.
Kesimpulannya yaitu apabila nashnya shahih maka orang tidak perlu lagi bahkan dilarang untuk berijtihad.
2.      Pengertian Ushul Fiqh
Ushul Fiqh adalah dasar yang dipakai oleh pikiran manusia untuk membentuk hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat.[6]
Ushul Fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan yang merupakan cara untuk menemukan hukum-hukum syara’ yang Amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci, atau kumpulan-kumpulan kaidah dan pembahasan yang merupakan cara untuk menamakan hukum syara’ yang Amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci.[7]
Ushul Fiqh itu adalah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan dalil-dalil hukum).[8]
Drs. Muhammad Thalib mengemukakan definisi Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yuang merupakan sarana untuk mendapatkan hukumnya, perbuatan yang diperoleh dengan jalan mengumpulkan dalil secara terperinci.[9]
Maka yang dimaksud dengan Ushul Fiqh ialah sumber-sumber (dalil-dalil) tersebut dan bagaimana cara menunjukkan dalil-dalil tersebut kepada sesuatu hukum dengan cara Ijmal (garis besar).
œœ
BAB II
SEJARAH PEMIKIRAN FIQH DAN USHUL FIQH
SERTA PERKEMBANGANNYA
1)     Sejarah Pemikiran dan Perkembangan Fiqh
Fiqh lahir bersamaan dengan lahirnya Agama Islam. Hukum yang ditetapkan dalam Al-Qur’an atau Hadits kadang-kadang dalam bentuk jawaban dari suatu pertanyaan atau disebabkan terjadinya sesuatu kasus atau merupakan keputusan yang dikeluarkan Rasulullah SAW. ketika memutuskan masalah. Jadi sumber Fiqh di masa itu hanya dua, yakni Al-Qur’an dan Hadits.
Di masa Sahabat, dalam menetapkan hukum terhadap peristiwa terkadang dengan melakukan Ijtihad, dalam hal ini kadang-kadang pula terdapat kesepakatan pendapat (Ijma’), dan perbedaan pendapat (Atsar). Hasil Ijtihad para Sahabat tidak dibukukan karena bukan sebagai ilmu, tetapi hanya pemecahan suatu masalah yang mereka hadapi. Karena itu, hasil Ijtihad para Sahabat belum dinamakan Fiqih, dan orangnya belum dinamakan Fuqaha.
Pada abad kedua dan ketiga Hijriyah (Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, dan Imam Madzhab) timbul masalah baru yang belum pernah ada sebelumnya, yang memaksa para Fuqaha untuk berijhtihad, yang bersumberkan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas, Istihsaan, Istishab, Mashlahah Mursalah, Madzhab Sahabat, dan Syariat Sebelum Islam. Di masa ini dimulai pembukuan Sunnah, Fiqih dan cabang ilmu pengetahuan lainnya. Dan orang yang berkecimpung dalam ilmu Fiqih dinamakan Fuqaha, imlunya dinamakan Fiqih.
Sesuai perkembangan zaman, maka para ahli Fiqih dalam memberikan definisi Fiqih juga berubah sebagai berikut:
1.      Definisi Fiqh pada Abad I (Masa Sahabat)
Ialah ilmu pengetahuan yang tidak mudah diketahui oleh masyarakat umum, hanya orang yang memiliki ilmu agama yang mendalam saja (liyatafaqqahuu fiddiin).
2.      Definisi Fiqh pada Abad II (Masa setelah lahirnya Madzhab-madzhab)
Yaitu untuk membahas satu cabang ilmu pengetahuan dari bidang-bidang ilmu agama, maka lafadz Fiqh dikhususkan untuk nama dari hukum-hukum yang dipetik dari Al-Qur’an dan Hadits.
3.      Definisi Fiqh menurut Ahli Ushul dan Ulama’-ulama’ Hanafiah
Adalah ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban berhubungan dengan amalan Mukallaf.
4.      Definisi Fiqh menurut pengikut Imam Syafi’i
Ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan perbuatan para Mukallaf yang digali (Istinbat) dari dalil-dalil yang jelas (Tafshily).
5.      Definisi Fiqh menurut Ibnu Khaldun
Ialah ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala pekerjaan Mukallaf baik yang Wajib, Nadb, Makruh, Haram dan yang Mubah yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits dan dari dalil-dalil yang telah ditegaskan Syara’.
6.      Definisi Fiqh menurut Jalalul Malali
Ilmu yang menerangkan hukum-hukum Syara’ yang berhubungan dengan Amaliyah yang diusahakan memperolehnya dari dalil-dalil yang jelas (Tafshily).
7.      Definisi Fiqh menurut Al Imam Ibnu Hazm
Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syari’at yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits yang diutus membawa syari’at yang hanya daripada hukum-hukum itu.
8.      Definisi Fiqh menurut Ulama’ (Ijtihad Islam)
Suatu ilmu yang dengan ilmu itu kita akan mengetahui hukum-hukum syara’ yang amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalil yang secara rinci.[10]

2.      Sejarah Pemikiran dan Perkembangan Ushul Fiqh
Ushul Fiqh baru lahir pada abad kedua Hijriyah. Pada abad ini daerah kekuasaan umat Islam makin meluas dan banyak orang yang bukan Arab memeluk Islam. Karena itu banyak menimbulkan kesamaran dalam memahami nash, sehingga perlu adanya kaidah-kaidah bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu Ushul Fiqh, yang menjadi penuntun dalam memahami nash.
Di abad sekarang ini ada pula beberapa buah kitab yang ditulis oleh beberapa orang ulama’, diantaranya “Irsyadul Fuhul” oleh Syaukani (1250 M), kitab “Ushul Fiqh” oleh Khudlori Beik (1927 M), kitab “Tashiilul Wushuul” oleh Muhammad Abdurrahman Nahlawi (1920 M). Dan masih banyak lagi kitab-kitab  Ushul Fiqh lainnya.[11]
KESIMPULAN
Telah kita maklumi bersama, bahwa Fiqh diartikan:
a.      Salah satu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syari’at atau hukum islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial.
b.      Fiqh menurut bahasa adalah faham.
c.      Fiqh menurut istilah adalah:
اَلْعِلْمُ بِاْلأَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ الَّتِي طَرِيْقُهَا اْلإِجْتِهَادُ.
“Mengetahui hukum syara’ atau agama dengan jalan berijtihad”.
Sedangkan Ushul Fiqh diartikan:
a.      Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan dalil hukum).
b.      Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang merupakan sarana untuk mendapatkan hukumnya perbuatan yang diperoleh dengan mengumpulkan dalil secara terinci.
Dari pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh diatas dapat disimpulkan bahwa Fiqh Itu adalah mempelajari dan mengetahui hukum-hukum syariat agama islam, sedangkan Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang dibutuhkan untuk mengeluarkan hukum dan perbuatan-perbuatan manusia yang dikehendaki oleh Fiqh. Jadi hubungan Fiqh dengan Ushul Fiqh adalah erat sekali, dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Hubungan Fiqh dan Ushul Fiqh. Fiqh adalah merupakan produk dari Ushul Fiqh. Fiqh berkembang karena berkembangnya Ushul Fiqh. Fiqh bertambah maju manakala Ushul Fiqh mengalami kemajuan, karena Ushul Fiqh merupakan ilmu alat yang menjelaskan metoda dan system penentuan hukum berdsarkan dalil-dalil naqli maupun aqli.
šš››
BAB III
OBYEK PEMBAHASAN DAN TUJUAN
MEMPELAJARI FIQH DAN USHUL FIQH
1)     Obyek Fiqh dan Ushul Fiqh
Mempelajari Fiqh besar sekali faedahnya bagi manusia. Yang dibahas oleh Fiqh adalah perbuatan-perbuatan orang Mukallaf. Adapun hasil permbicaraannya seperti Hukum Taklifi yang lima:
1.      Ijab (wajib)
2.      Nadab (anjuran)
3.      Tahrim (haram)
4.      Karahah (makruh)
5.      Ibahah (mubah)
Hukum mempelajari Fiqh itu ialah untuk keselamatan di dunia dan akhirat.[12]
Yang dikatakan dan dibicarakan dalam Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:
Ilmu Ushul Fiqh menyelidiki keadaan dalil-dali syara’ dan menyelidiki bagaimana caranya dalil-dalil tersebut menunjukkan hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan orang Mukallaf. Karena itu, yang dibicarakan Ushul Fiqh ialah dalil-dalil syara’ dari segi penunjukannya kepada hukum atas perbuatan orang Mukallaf.[13]
2)     Tujuan mempelajari Fiqh dan Ushul Fiqh.
Tujuan mempelajari Fiqh adalah:
a.      Untuk mencari kebiasaan faham dan pengertian dari agama Islam.
b.      Untuk mempelajari hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
c.      Kaum Muslimin harus bertafaqquh artinya memperdalam pengetahuan dalam hukum-hukum agama baik dalam bidang aqaid dan akhlaq maupun dalam bidang ibadat dan muamalat.[14]
Tujuan mempelajari Ushul Fiqh:
a.      Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para Ulama’ Mujtahid dalam menggali hukum.
b.      Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang Mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat.
c.      Memberi bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan oleh para Mujtahid, sehingga dapat memecahkan persoalan baru.
d.      Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil.
e.      Menyusun kaidah-kaidah umum.
f.       Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid.


3)     Sumber Pengambilan Ushul Fiqh
Sumber pengambilan Ushul Fiqh berasal dari:
1.      Ilmu Kalam (Theology)
2.      Ilmu Bahasa Arab
3.      Tujuan syara’
Ushul Fiqh juga membahas dalalah lafadz. Penggunaan lafadz, ruang lingkup lafadz, seperti Al ‘Amm dan Al Khash, dan sebagainya. Ini berarti berkaitan dengan ilmu Bahasa Arab. Selanjutnya, pengetahuan hukum tidak terlepas dari tujuan hukum dan hakikat hukum. Pengetahuan tentang ini diperlukan agar mampu menetapkan hukum yang tepat dan mengandung kemaslahatan. (Asy-Syaukani: 5)[15]
BAB IV
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI
DAN YANG TIDAK DISEPAKATI
1)    Sumber-sumber Hukum Islam yang Disepakati:
a.      Al-Qur’an
b.      Al-Hadits
c.      Ijma’ (berkumpulnya suatu ulama’ untuk mencapai suatu keputusan)
d.      Qiyas (penganalogian/memalingkan nash metode dari yang tidak ada ke yang ada).
2)     Sumber-sumber Hukum Islam yang Tidak Disepakati:
a.         Istihsaan (mencari kebaikan/menganggap sesuatu lebih baik)
b.        Istishhaab (berlangsungnya hukum yang telah ada semenjak masa yang lalu berdasarkan apa yang telah ada itu)
c.         Mashlahah Mursalah (tiap-tiap masalah yang tidak dikaitkan dengan nash pada hukum syara’ yang menjadikan kta menghormati atau menolaknya. Sedangkan jika dihargai bakal mendatangkan manfaat atau menolak kemadharatan)
d.        ‘Urf (kebiasaan dan diterima oleh tabiat yang baik serta telah dilakukan oleh penduduk sekitar Islam dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nash dan syara’)
e.         Saddudzara’i (sesuatu yang dengannya akan menyebabkan kepada perbuatan terlarang dengan ‘illat mengandung kerusakan)
f.          Madzhab Sahabat (para sahabat yang telah beriman kepada Nabi sebelum Hudaibiyah, turut berperang bersama Nabi atau terkenal karena fatwanya)
g.         Syar’u Man Qablana (syari’at-syari’at yang diberlakukan pada Nabi-nabi terdahulu sebelum datangnya Rasulullah SAW.)

ÉÊ
BAB V
HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I
1)    Hukum Taklifi
Dapat terbagi menjadi 5, yaitu:
1.      Wajib
Wajib ini dapat dikenal melalui lafadz atau melalui tanda (qarinah) lain. Wajib yang ditunjuk melalui lafadz seperti dalam bentuk lafadz amar (perintah).
2.      Sunnah (mandub)
Sesuatu yang dituntut oleh syara’ memperbuatnya dari Mukallaf namun tuntutannya tidak begitu keras.
3.      Haram
Apa yang dituntut oleh syara’ untuk tidak melakukannya dengan tuntutan keras.
4.      Makruh
Apa yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras.
5.      Mubah
Apa yang diberikan kebebasan kepada para Mukallaf untuk memilih antara memperbuat atau meninggalkannya.

2)     Hukum Wadh’i
1.      Sebab
Contoh: mendirikan shalat menjadi sebab untuk mewajibkan wudhu atau menjadikan sesuatu adalah sebab terhadap sesuatu.
2.      Syarat
Contoh: dua orang saksi menjadi syarat untuk sahnya pernikahan.
3.      Mani’ (penghalang)
Hukum tidak akan ada atau sebab hukum menjadi batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.
4.      ‘Azimah dan Rukhsah
Hukum yang ditetapkan semenjak semula tidak berlaku hanya untuk keadaan atau kasus orang tertentu dan bukan pula untuk tempat dan waktu tertentu, disebut ‘Azimah.
Hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan dagi Mukallaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan. Atau juga dapat diartikan ketidaknormalan antara Syarat, Sebab dan Mani’, adalah arti dari Rukhsah.
5.      Sah dan Batal

¢¥¢
BAB VI
MAHKUM ‘ALAIH DAN MAHKUM FIIH
1.      Mahkum ‘Alaih
Yang dimaksud dengan Mahkum ‘Alaih ialah Mukallaf (manusia) yang menjadi obyek tuntunan hukum syara’.[16]
Mukallaf adalah orang yang dibebani ketentuan-ketentuan hukum syara’.
Syarat seseorang yang baru dapat dibebani suatu hukum:
a.      Mukallaf mampu memahami Dalil Taklif, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits atau dengan melalui orang lain.
b.      Mukallaf harus sempurna daya tangkapnya. Karena akal merupakan alat untuk memahami Dalil Taklif.
c.      Mukallaf mampu menanggung hak dan kewajiban.
d.      Mukallaf harus mampu dalam bertindak hukum, dalam Ushul Fiqh disebut dengan Ahliyah.

2.      Mahkum Fiih
Menurut Ulama’ Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan Mahkum Fiih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang Mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan dan yang bersifat Syarat, Sebab, Halangan, Azimah, Rukhsah, Sah serta Batal.[17]
Yang dimaksud dengan Mahkum Fiih ialah perbuatan Mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’ atau perbuatan orang yang dibebani suatu hukum.
Ulama’ Ushul Fiqh telah sepakat bahwa syarat sahnya suatu Taklif (pembebanan hukum), yaitu:
a.    Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap secara jelas dan dapat dilaksanakan.
b.   Mukallaf harus mengetahui sesuatu yang harus dilaksanakan atau ditinggalkan.
c.    Mukallaf harus mengetahui sumber Taklif.
{|{
BAB VII
AL ‘AM DAN AL KHASH
1.     Al ‘Am
Yang dimaksud dengan lafadz Al ‘Am adalah suatu lafadz yang sengaja dikehendaki oleh bahasa untuk menunjukkan satu makna yang benar yang dapat mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[18]

Contoh:     اَلزَّانِي- اَلسَّارِقُ- اُمَّهَاتُكُمْ- مَنْ قَتَلَ- وَالَّذِيْنَ- جَمِيْعٌ-كُلٌّ

2.      Al Khash
Suatu lafadz yang menunjukkan sesuatu tertentu atau satuan terbatas.[19] Atau juga suatu lafadz yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui dan manunggal.[20]
Contoh:فَمَنْ لمَ ْيَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ – وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ – فَاقْطَعُوْا اَيْدِيَكُمْ

J?J
DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rachmat., Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung: 2007.
Karim, Syafi’i Drs., Fiqh Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung: 2006.


[1] Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia Bandung, 2006, Hal 11.
[2] Prof. DR. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jilid I, Bulan Bintang, 1980, Hal. 22.
[3] Dra Lislis Lisnawati M. Ag., Kuliah Ushul Fiqh Semester IIIB, Sekolah Tinggi Agama Islam Cirebon, 2010.
[4] Prof. DR. Rahmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2007, Hal. 19.
[5] Prof. A. Wasit Aulawi, M. A., Kuliah Madzhab Hukum Islam, Fakultas Pasca Sarjana Bidang Ilmu Hukum
   UI  (Jakarta, Pasca Sarjana, UI, 1985).
[6] Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia Bandung, 2006, Hal 20.
[7] Dra Lislis Lisnawati M. Ag., Kuliah Ushul Fiqh Semester IIIB, Sekolah Tinggi Agama Islam Cirebon, 2010.
[8] Prof. DR. TM. Hasbi Ash Shiddieqy.
[9] A. Hanafie, Ushul Fiqh, Pen. Wijaya, Jakarta, 1961, Cet. Ke 2, Hal. 10.
[10] Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia Bandung, 2006, Hal 30-38.
[11] Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia Bandung, 2006, Hal 46.
[12] Prof. DR. TM. Hasbi As Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam Jilid I, Cet. Ke VI, Bulan Bintang, Jakarta,
    1980, Hal. 38.
[13] A. Hanafi, Ushul Fiqh, Pen. Wijaya Jakarta, 1961, Hal. 10.
[14] Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia Bandung, 2006, Hal 53.
[15] Prof. DR. Rahmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2007, Hal. 25.
[16] Asnawi, Syarah Asnawi, Muhammad Ali Sabih, Kairo, Tanpa Tahun, Jilid I Hal. 130.
[17] Al-Bardisi: II: 148
[18] Dra Lislis Lisnawati M. Ag., Kuliah Ushul Fiqh Semester IIIB, Sekolah Tinggi Agama Islam Cirebon, 2010.
[19] Dra Lislis Lisnawati M. Ag., Kuliah Ushul Fiqh Semester IIIB, Sekolah Tinggi Agama Islam Cirebon, 2010.
[20] Prof. DR. Rahmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2007, Hal. 187.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar