|
2010
|
|
CIREBON
Naf'ah El Adawea
|
ANAFIATUL
ADAWIYAH (09.01.0053)
[Resume Ushul Fiqh dari Bab
I sampai dengan Bab VII]
|
PENGERTIAN FIQH
DAN USHUL FIQH, SEJARAH PEMIKIRAN FIQH DAN USHUL FIQH SERTA PERKEMBANGANNYA,
OBYEK PEMBAHASAN DAN TUJUAN MEMPELAJARI FIQH DAN USHUL FIQH, SUMBER-SUMBER
HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI DAN YANG TIDAK DISEPAKATI, HUKUM SYARI’AT; HUKUM TAKLIFI
DAN WADH’I, MAHKUM ‘ALAIH DAN MAHKUM FIIH.
|
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM CIREBON (STAIC)
TARBIYAH/PAI/III B
MATA KULIAH: USHUL FIQH
DOSEN: DRA. LISLIS LISNAWATI M. AG
BAB
I
PENGERTIAN
FIQH DAN USHUL FIQH
1.
Pengertian
Fiqh
Menurut
bahasa, Fiqh berasal dari kata فَقِهَ-يَفْقَهُ-فِقْهًا yang
berarti mengerti atau faham. Dari sinilah ditarik perkataan Fiqh, yang memberi
pengertian kepahaman dalam hukum syariat yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Jadi, ilmu Fiqh adalah ilmu yang mempelajari syariat yang bersifat Amaliah (perbuatan)
yang diperoleh dari dalil-dalil hukum yang terperinci dari ilmu tersebut.[1]
Ilmu Fiqh merupakan suatu kumpulan
ilmu yang sangat besar pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai ragam jenis
hukum Islam dan bermacam aturan hidup, untuk keperluan seseorang, golongan
masyarakat umum manusia.[2]
Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum
syara’ yang Amaliyah mengenai perbuatan atau perilaku dengan melalui
dalil-dalilnya yang terperinci, atau Fiqh adalah ilmu yang dihasilkan oleh
pikiran serta ijtihad dan memerlukan wawasan serta perenungan.[3]
Fiqh merupakan bagian dari Syari’ah
Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan
berakal sehat (Mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci.[4]
Ijtihad artinya mempergunakan ilmu
akal dan pikiran serta kemampuan secara sungguh-sungguh untuk merumuskan garis
hukum berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits mengenai suatu masalah.[5]
Orang yang berijtihad dinamakan Mujtahid.
Berijtihad mengeluarkan hukum-hukum dari kaidah-kaidah umum yang diambil dari
dalil-dalil yang tersebar dalam Al-Qur’an dan Hadits terkenal dengan
istilah-istilah:
1.
Qiyas atau interpretation (analogische interpretatie)
2.
Ijma’: kata
sepakat dari para Faqih(kesepakatan para ulama’ Fiqih)
a.
Istishhab:
berpegang kepada hukum keadaan semula.
b.
Istihsaan:
mencari yang lebih baik dari yang baik.
c.
Mashlahah
Mursalah: demi kemaslahatan umum.
Kesimpulannya
yaitu apabila nashnya shahih maka orang tidak perlu lagi bahkan dilarang untuk
berijtihad.
2.
Pengertian
Ushul Fiqh
Ushul
Fiqh adalah dasar yang dipakai oleh pikiran manusia untuk membentuk hukum yang
mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat.[6]
Ushul
Fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan yang merupakan cara untuk
menemukan hukum-hukum syara’ yang Amaliyah dari dalil-dalilnya yang
terperinci, atau kumpulan-kumpulan kaidah dan pembahasan yang merupakan cara
untuk menamakan hukum syara’ yang Amaliyah dari dalil-dalilnya yang
terperinci.[7]
Ushul
Fiqh itu adalah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari
dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan
dalil-dalil hukum).[8]
Drs.
Muhammad Thalib mengemukakan definisi Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yuang
merupakan sarana untuk mendapatkan hukumnya, perbuatan yang diperoleh dengan
jalan mengumpulkan dalil secara terperinci.[9]
Maka
yang dimaksud dengan Ushul Fiqh ialah sumber-sumber (dalil-dalil) tersebut dan
bagaimana cara menunjukkan dalil-dalil tersebut kepada sesuatu hukum dengan
cara Ijmal (garis besar).
BAB II
SEJARAH PEMIKIRAN FIQH DAN USHUL FIQH
SERTA PERKEMBANGANNYA
1)
Sejarah
Pemikiran dan Perkembangan Fiqh
Fiqh
lahir bersamaan dengan lahirnya Agama Islam. Hukum yang ditetapkan dalam Al-Qur’an
atau Hadits kadang-kadang dalam bentuk jawaban dari suatu pertanyaan atau
disebabkan terjadinya sesuatu kasus atau merupakan keputusan yang dikeluarkan Rasulullah
SAW. ketika memutuskan masalah. Jadi sumber Fiqh di masa itu hanya dua, yakni Al-Qur’an
dan Hadits.
Di
masa Sahabat, dalam menetapkan hukum terhadap peristiwa terkadang dengan
melakukan Ijtihad, dalam hal ini kadang-kadang pula terdapat kesepakatan
pendapat (Ijma’), dan perbedaan pendapat (Atsar). Hasil Ijtihad para Sahabat
tidak dibukukan karena bukan sebagai ilmu, tetapi hanya pemecahan suatu masalah
yang mereka hadapi. Karena itu, hasil Ijtihad para Sahabat belum dinamakan Fiqih,
dan orangnya belum dinamakan Fuqaha.
Pada
abad kedua dan ketiga Hijriyah (Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, dan Imam Madzhab)
timbul masalah baru yang belum pernah ada sebelumnya, yang memaksa para Fuqaha
untuk berijhtihad, yang bersumberkan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas, Istihsaan,
Istishab, Mashlahah Mursalah, Madzhab Sahabat, dan Syariat Sebelum Islam. Di
masa ini dimulai pembukuan Sunnah, Fiqih dan cabang ilmu pengetahuan lainnya.
Dan orang yang berkecimpung dalam ilmu Fiqih dinamakan Fuqaha, imlunya
dinamakan Fiqih.
Sesuai
perkembangan zaman, maka para ahli Fiqih dalam memberikan definisi Fiqih juga
berubah sebagai berikut:
1.
Definisi Fiqh
pada Abad I (Masa Sahabat)
Ialah ilmu pengetahuan
yang tidak mudah diketahui oleh masyarakat umum, hanya orang yang memiliki ilmu
agama yang mendalam saja (liyatafaqqahuu fiddiin).
2.
Definisi Fiqh
pada Abad II (Masa setelah lahirnya Madzhab-madzhab)
Yaitu untuk membahas
satu cabang ilmu pengetahuan dari bidang-bidang ilmu agama, maka lafadz Fiqh dikhususkan
untuk nama dari hukum-hukum yang dipetik dari Al-Qur’an dan Hadits.
3.
Definisi Fiqh menurut
Ahli Ushul dan Ulama’-ulama’ Hanafiah
Adalah ilmu yang
menerangkan segala hak dan kewajiban berhubungan dengan amalan Mukallaf.
4.
Definisi Fiqh
menurut pengikut Imam Syafi’i
Ilmu yang menerangkan
segala hukum agama yang berhubungan dengan perbuatan para Mukallaf yang digali
(Istinbat) dari dalil-dalil yang jelas (Tafshily).
5.
Definisi Fiqh
menurut Ibnu Khaldun
Ialah ilmu yang
dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala pekerjaan
Mukallaf baik yang Wajib, Nadb, Makruh, Haram dan yang Mubah yang diambil dari Al-Qur’an
dan Hadits dan dari dalil-dalil yang telah ditegaskan Syara’.
6.
Definisi Fiqh menurut
Jalalul Malali
Ilmu yang menerangkan
hukum-hukum Syara’ yang berhubungan dengan Amaliyah yang diusahakan
memperolehnya dari dalil-dalil yang jelas (Tafshily).
7.
Definisi Fiqh menurut
Al Imam Ibnu Hazm
Ilmu yang menerangkan
hukum-hukum syari’at yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits yang diutus membawa
syari’at yang hanya daripada hukum-hukum itu.
8.
Definisi Fiqh
menurut Ulama’ (Ijtihad Islam)
Suatu ilmu yang dengan
ilmu itu kita akan mengetahui hukum-hukum syara’ yang amaliyah yang diperoleh
dari dalil-dalil yang secara rinci.[10]
2.
Sejarah
Pemikiran dan Perkembangan Ushul Fiqh
Ushul
Fiqh baru lahir pada abad kedua Hijriyah. Pada abad ini daerah kekuasaan umat Islam
makin meluas dan banyak orang yang bukan Arab memeluk Islam. Karena itu banyak
menimbulkan kesamaran dalam memahami nash, sehingga perlu adanya kaidah-kaidah
bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu Ushul Fiqh,
yang menjadi penuntun dalam memahami nash.
Di
abad sekarang ini ada pula beberapa buah kitab yang ditulis oleh beberapa orang
ulama’, diantaranya “Irsyadul Fuhul” oleh Syaukani (1250 M), kitab “Ushul
Fiqh” oleh Khudlori Beik (1927 M), kitab “Tashiilul Wushuul” oleh
Muhammad Abdurrahman Nahlawi (1920 M). Dan masih banyak lagi kitab-kitab Ushul Fiqh lainnya.[11]
KESIMPULAN
Telah
kita maklumi bersama, bahwa Fiqh diartikan:
a.
Salah satu ilmu
yang mempelajari bermacam-macam syari’at atau hukum islam dan berbagai macam
aturan hidup bagi manusia baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk
masyarakat sosial.
b.
Fiqh menurut
bahasa adalah faham.
c.
Fiqh menurut
istilah adalah:
اَلْعِلْمُ
بِاْلأَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ الَّتِي طَرِيْقُهَا اْلإِجْتِهَادُ.
“Mengetahui hukum syara’ atau agama dengan jalan berijtihad”.
Sedangkan
Ushul Fiqh diartikan:
a.
Ushul Fiqh adalah
kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya,
dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan dalil hukum).
b.
Ushul Fiqh adalah
kaidah-kaidah yang merupakan sarana untuk mendapatkan hukumnya perbuatan yang
diperoleh dengan mengumpulkan dalil secara terinci.
Dari
pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh diatas dapat disimpulkan bahwa Fiqh Itu adalah
mempelajari dan mengetahui hukum-hukum syariat agama islam, sedangkan Ushul
Fiqh adalah kaidah-kaidah yang dibutuhkan untuk mengeluarkan hukum dan
perbuatan-perbuatan manusia yang dikehendaki oleh Fiqh. Jadi hubungan Fiqh dengan
Ushul Fiqh adalah erat sekali, dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Hubungan
Fiqh dan Ushul Fiqh. Fiqh adalah merupakan produk dari Ushul Fiqh. Fiqh
berkembang karena berkembangnya Ushul Fiqh. Fiqh bertambah maju manakala Ushul
Fiqh mengalami kemajuan, karena Ushul Fiqh merupakan ilmu alat yang menjelaskan
metoda dan system penentuan hukum berdsarkan dalil-dalil naqli maupun aqli.
BAB
III
OBYEK
PEMBAHASAN DAN TUJUAN
MEMPELAJARI
FIQH DAN USHUL FIQH
1)
Obyek
Fiqh dan Ushul Fiqh
Mempelajari
Fiqh besar sekali faedahnya bagi manusia. Yang dibahas oleh Fiqh adalah
perbuatan-perbuatan orang Mukallaf. Adapun hasil permbicaraannya seperti Hukum
Taklifi yang lima:
1.
Ijab (wajib)
2.
Nadab (anjuran)
3.
Tahrim (haram)
4.
Karahah (makruh)
5.
Ibahah (mubah)
Hukum
mempelajari Fiqh itu ialah untuk keselamatan di dunia dan akhirat.[12]
Yang
dikatakan dan dibicarakan dalam Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:
Ilmu
Ushul Fiqh menyelidiki keadaan dalil-dali syara’ dan menyelidiki bagaimana
caranya dalil-dalil tersebut menunjukkan hukum-hukum yang berhubungan dengan
perbuatan orang Mukallaf. Karena itu, yang dibicarakan Ushul Fiqh ialah
dalil-dalil syara’ dari segi penunjukannya kepada hukum atas perbuatan orang Mukallaf.[13]
2)
Tujuan
mempelajari Fiqh dan Ushul Fiqh.
Tujuan
mempelajari Fiqh adalah:
a.
Untuk mencari
kebiasaan faham dan pengertian dari agama Islam.
b.
Untuk mempelajari
hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
c.
Kaum Muslimin
harus bertafaqquh artinya memperdalam pengetahuan dalam hukum-hukum
agama baik dalam bidang aqaid dan akhlaq maupun dalam bidang ibadat
dan muamalat.[14]
Tujuan mempelajari Ushul
Fiqh:
a.
Memberikan
pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para Ulama’ Mujtahid dalam
menggali hukum.
b.
Menggambarkan
persyaratan yang harus dimiliki seorang Mujtahid, agar mampu menggali hukum
syara’ secara tepat.
c.
Memberi bekal
untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan oleh para Mujtahid,
sehingga dapat memecahkan persoalan baru.
d.
Memelihara agama
dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil.
e.
Menyusun
kaidah-kaidah umum.
f.
Mengetahui
keunggulan dan kelemahan para mujtahid.
3)
Sumber
Pengambilan Ushul Fiqh
Sumber
pengambilan Ushul Fiqh berasal dari:
1.
Ilmu Kalam (Theology)
2.
Ilmu Bahasa Arab
3.
Tujuan syara’
Ushul
Fiqh juga membahas dalalah lafadz. Penggunaan lafadz, ruang lingkup lafadz,
seperti Al ‘Amm dan Al Khash, dan sebagainya. Ini berarti
berkaitan dengan ilmu Bahasa Arab. Selanjutnya, pengetahuan hukum tidak
terlepas dari tujuan hukum dan hakikat hukum. Pengetahuan tentang ini
diperlukan agar mampu menetapkan hukum yang tepat dan mengandung kemaslahatan.
(Asy-Syaukani: 5)[15]
BAB
IV
SUMBER-SUMBER
HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI
DAN
YANG TIDAK DISEPAKATI
1)
Sumber-sumber
Hukum Islam yang Disepakati:
a.
Al-Qur’an
b.
Al-Hadits
c.
Ijma’
(berkumpulnya suatu ulama’ untuk mencapai suatu keputusan)
d.
Qiyas
(penganalogian/memalingkan nash metode dari yang tidak ada ke yang ada).
2)
Sumber-sumber
Hukum Islam yang Tidak Disepakati:
a.
Istihsaan
(mencari kebaikan/menganggap sesuatu lebih baik)
b.
Istishhaab
(berlangsungnya hukum yang telah ada semenjak masa yang lalu berdasarkan apa
yang telah ada itu)
c.
Mashlahah
Mursalah (tiap-tiap masalah yang tidak dikaitkan dengan nash pada hukum syara’
yang menjadikan kta menghormati atau menolaknya. Sedangkan jika dihargai bakal
mendatangkan manfaat atau menolak kemadharatan)
d.
‘Urf (kebiasaan
dan diterima oleh tabiat yang baik serta telah dilakukan oleh penduduk sekitar Islam
dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nash dan syara’)
e.
Saddudzara’i
(sesuatu yang dengannya akan menyebabkan kepada perbuatan terlarang dengan ‘illat
mengandung kerusakan)
f.
Madzhab Sahabat (para
sahabat yang telah beriman kepada Nabi sebelum Hudaibiyah, turut berperang
bersama Nabi atau terkenal karena fatwanya)
g.
Syar’u Man
Qablana (syari’at-syari’at yang diberlakukan pada Nabi-nabi terdahulu sebelum
datangnya Rasulullah SAW.)
ɶÊ
BAB
V
HUKUM
TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I
1)
Hukum
Taklifi
Dapat terbagi menjadi 5, yaitu:
1.
Wajib
Wajib ini dapat dikenal melalui lafadz
atau melalui tanda (qarinah) lain. Wajib yang ditunjuk melalui lafadz
seperti dalam bentuk lafadz amar (perintah).
2.
Sunnah (mandub)
Sesuatu yang dituntut oleh syara’
memperbuatnya dari Mukallaf namun tuntutannya tidak begitu keras.
3.
Haram
Apa yang dituntut oleh syara’ untuk
tidak melakukannya dengan tuntutan keras.
4.
Makruh
Apa yang dituntut syara’ untuk
meninggalkannya namun tidak begitu keras.
5.
Mubah
Apa yang diberikan kebebasan kepada para
Mukallaf untuk memilih antara memperbuat atau meninggalkannya.
2)
Hukum
Wadh’i
1.
Sebab
Contoh:
mendirikan shalat menjadi sebab untuk mewajibkan wudhu atau menjadikan sesuatu
adalah sebab terhadap sesuatu.
2.
Syarat
Contoh:
dua orang saksi menjadi syarat untuk sahnya pernikahan.
3.
Mani’
(penghalang)
Hukum
tidak akan ada atau sebab hukum menjadi batal sekalipun memenuhi syarat dan
rukunnya.
4.
‘Azimah dan Rukhsah
Hukum
yang ditetapkan semenjak semula tidak berlaku hanya untuk keadaan atau kasus
orang tertentu dan bukan pula untuk tempat dan waktu tertentu, disebut ‘Azimah.
Hukum
yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan dagi Mukallaf pada keadaan
tertentu yang menyebabkan kemudahan. Atau juga dapat diartikan ketidaknormalan
antara Syarat, Sebab dan Mani’, adalah arti dari Rukhsah.
5.
Sah dan Batal
¢¥¢
BAB
VI
MAHKUM
‘ALAIH DAN MAHKUM FIIH
1.
Mahkum
‘Alaih
Yang
dimaksud dengan Mahkum ‘Alaih ialah Mukallaf (manusia) yang menjadi obyek
tuntunan hukum syara’.[16]
Mukallaf
adalah orang yang dibebani ketentuan-ketentuan hukum syara’.
Syarat
seseorang yang baru dapat dibebani suatu hukum:
a.
Mukallaf mampu
memahami Dalil Taklif, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits atau dengan melalui
orang lain.
b.
Mukallaf harus
sempurna daya tangkapnya. Karena akal merupakan alat untuk memahami Dalil Taklif.
c.
Mukallaf mampu
menanggung hak dan kewajiban.
d.
Mukallaf harus
mampu dalam bertindak hukum, dalam Ushul Fiqh disebut dengan Ahliyah.
2.
Mahkum
Fiih
Menurut
Ulama’ Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan Mahkum Fiih adalah objek hukum, yaitu
perbuatan seorang Mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasul-Nya),
baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu
pekerjaan dan yang bersifat Syarat, Sebab, Halangan, Azimah, Rukhsah, Sah serta
Batal.[17]
Yang dimaksud dengan Mahkum Fiih ialah
perbuatan Mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’ atau perbuatan orang yang
dibebani suatu hukum.
Ulama’
Ushul Fiqh telah sepakat bahwa syarat sahnya suatu Taklif (pembebanan hukum),
yaitu:
a.
Mukallaf
mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap
secara jelas dan dapat dilaksanakan.
b.
Mukallaf harus
mengetahui sesuatu yang harus dilaksanakan atau ditinggalkan.
c.
Mukallaf harus
mengetahui sumber Taklif.
{|{
BAB
VII
AL
‘AM DAN AL KHASH
1.
Al
‘Am
Yang dimaksud
dengan lafadz Al ‘Am adalah suatu lafadz yang sengaja dikehendaki oleh bahasa
untuk menunjukkan satu makna yang benar yang dapat mencakup seluruh
satuan-satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[18]
Contoh:
اَلزَّانِي- اَلسَّارِقُ- اُمَّهَاتُكُمْ- مَنْ
قَتَلَ- وَالَّذِيْنَ- جَمِيْعٌ-كُلٌّ
2.
Al Khash
Suatu
lafadz yang menunjukkan sesuatu tertentu atau satuan terbatas.[19]
Atau juga suatu lafadz yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui dan
manunggal.[20]
Contoh:فَمَنْ
لمَ ْيَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ
– وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ –
فَاقْطَعُوْا اَيْدِيَكُمْ
J?J
DAFTAR
PUSTAKA
Syafe’i, Rachmat., Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka
Setia, Bandung: 2007.
Karim, Syafi’i Drs., Fiqh Ushul Fiqh, Pustaka
Setia, Bandung: 2006.
[1]
Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia Bandung,
2006, Hal 11.
[2]
Prof. DR. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jilid I, Bulan
Bintang, 1980, Hal. 22.
[3]
Dra Lislis Lisnawati M. Ag., Kuliah Ushul Fiqh Semester IIIB, Sekolah
Tinggi Agama Islam Cirebon, 2010.
[4]
Prof. DR. Rahmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung,
2007, Hal. 19.
[5]
Prof. A. Wasit Aulawi, M. A., Kuliah Madzhab Hukum Islam, Fakultas Pasca
Sarjana Bidang Ilmu Hukum
UI (Jakarta, Pasca Sarjana, UI, 1985).
[6]
Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia Bandung,
2006, Hal 20.
[7]
Dra Lislis Lisnawati M. Ag., Kuliah Ushul Fiqh Semester IIIB, Sekolah
Tinggi Agama Islam Cirebon, 2010.
[8]
Prof. DR. TM. Hasbi Ash Shiddieqy.
[9]
A. Hanafie, Ushul Fiqh, Pen. Wijaya, Jakarta, 1961, Cet. Ke 2, Hal. 10.
[10]
Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia Bandung,
2006, Hal 30-38.
[11]
Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia Bandung,
2006, Hal 46.
[12]
Prof. DR. TM. Hasbi As Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam Jilid I, Cet. Ke
VI, Bulan Bintang, Jakarta,
1980, Hal.
38.
[13]
A. Hanafi, Ushul Fiqh, Pen. Wijaya Jakarta, 1961, Hal. 10.
[14]
Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia Bandung,
2006, Hal 53.
[15]
Prof. DR. Rahmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung,
2007, Hal. 25.
[16]
Asnawi, Syarah Asnawi, Muhammad Ali Sabih, Kairo, Tanpa Tahun, Jilid I Hal.
130.
[17]
Al-Bardisi: II: 148
[18]
Dra Lislis Lisnawati M. Ag., Kuliah Ushul Fiqh Semester IIIB, Sekolah
Tinggi Agama Islam Cirebon, 2010.
[19]
Dra Lislis Lisnawati M. Ag., Kuliah Ushul Fiqh Semester IIIB, Sekolah
Tinggi Agama Islam Cirebon, 2010.
[20]
Prof. DR. Rahmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung,
2007, Hal. 187.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar