BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini
pendidikan mulai bergeser pada proses belajar (learning), berbasis pada
masalah (case base), bersifat kontekstual dan tidak terbatas hanya untuk
golongan tertentu saja, sehingga pelajar dituntut untuk lebih aktif mempelajari
dan mengembangkan materi pelajaran dan mengoptimalkan sumber-sumber lain.
Berbicara
tentang mengajar, maka tidak terlepas dari guru, maka guru menjadi figur yang
teramat penting di tengah derasnya dinamika dan tuntutan perubahan kebijakan,
menyangkut peningkatan mutu pendidikan dewasa ini. Sebab apapun perubahan di
bidang pendidikan, pada akhirnya akan ditentukan oleh guru melalui pekerjaan
profesinya sebagai orang yang berdiri di depan kelas.
Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi yang pesat saat ini, tantangan bagi guru
justru semakin besar, terutama menyongsong pemberlakuan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Perubahan ini tentuya menuntut guru untuk
meningkatkan kompetensinya, baik kompetensi pribadi, sosial, pedagogik dan
kompetensi profesional dalam hal pembelajaran. Kompetensi ini selanjutnya akan
menempatkan guru pada sebuah paradigma baru dalam proses pembelajaran. Model
pendekatan guru yang dulu begitu otoriter dengan asumsi bahwa guru dapat
mengetahui segalanya dan siswa tidak tahu apa-apa, adalah sudah tidak berlaku
lagi. Pendekatan pembelajaran dewasa ini memsti memiliki nuansa demokratis,
dimana guru dan siswa saling belajar dan membantu dan bekerja sama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mengajar dengan Hati di Sekolah Dasar
1.
Pengertian Mengajar
Mengajar adalah
terjemahan dari teach secara deskriptif mengajar diartikan sebagai
proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru kepada peserta didik.
Proses penyampaian ini sering dianggap sebagai proses mentransfer ilmu. Dalam
konteks ini transfer tidak diartikan dengan pemindahan seperti mentransfer
uang, maka jumlah uang yang dimiliki seseorang akan berkurang bahkan hilang
setelah ditransfer pada orang lain.[1]
Pandangan
mengajar yang hanya sebatas menyampaikan ilmu pengetahuan itu dianggap sudah
tidak lagi sesuai dengan keadaan. Mengapa demikian? Karena perlu adanya
perubahan paradigma mengajar dari mengajar hanya sebatas menyampaikan materi
pelajaran kepada mengajar sebagai proses mengatur lingkungan.
Para ahli
psikologi dari pendidikan memberikan batasan-batasan atau pengertian mengajar
yang berbeda-beda rumusannya. Perbedaan tersebut disebabkan adanya perbedaan
titik pandang atau makna atau hakekat mengajar. Pandangan pertama melihat dari
segi pelakunya atau pengajarnya.
Atas dasar
pandangan tersebut mengajar diartikan menyampaikan ilmu pengetahuan (bahan
pelajaran) kepada siswa. Rumusan ini telah lama dianut oleh kalangan pendidik
mulai dari tingkat guru TK sampai pada dosen di Perguruan Tinggi.
Kritik yang
paling banyak dilontarkan terhadap rumusan mengajar diatas, ialah siswa
dianggap obyek, bukan sebagai subyek. Disini siswa banyak menerima (pasif)
apa yang diberikan guru. Sebaliknya guru peranannya sangat menentukan.
Pandangan semacam ini sering disebut pengajaran yang berpusat pada guru atau teacher
centered.[2]
Atas dasar
pemikiran diatas muncul pemikiran yang melihat kegiatan mengajar dari segi
siswa yang belajar. Beberapa batasan rumusan mengajar yang bertolak dari
pandangan ini antara lain sebagai berikut.[3]
Mengajar adalah
membimbing kegiatan siswa belajar, mengajar adalah mengatur dan
mengorganisasikan lingkungan yang ada di sekitar siswa, sehingga dapat
mendorong dan menumbuhkan siswa melakukan kegiatan belajar.
Rumusan
mengajar diatas disamping berpusat pada siswa yang belajar, juga melihat
hakekat mengajar sebagai proses, yakni proses yang dilakukan guru dalam
menumbuhkan kegiatan belajar siswa. Dengan kata lain hasil mengajar adalah
proses belajar dan hasil proses belajar adalah perubahan tingkah laku.
Dalam konsep
mengajar tampak bahwa titik berat peranan guru adalah sebagai pembimbing,
pemimpin belajar dan fasilitator belajar. Dikatakan sebagai pembimbing karena
dalam proses belajar tersebut guru memberikan bantuan kepada siswa agar siswa
itu sendiri yang melakukan kegiatan belajar. Dikatakan sebagai pemimpin
belajar, sebab guru yang menentukan kemana siswa akan diarahkan. Dan dikatakan
sebagai fasilitator sebab guru harus menyediakan fasilitas belajar,
setidak-tidaknya menciptakan kondisi lingkungan yang dapat menjadi sumber bagi
siswa dalam melakukan kegiatan belajar.
Jadi hakekat
mengajar adalah merupakan suatu proses yang ditandai dengan timbulnya kegiatan
siswa belajar.
2.
Kegiatan mengajar
Kegiatan
mengajar sebenarnya bukan sekedar menyangkut persoalan penyampaian pesan-pesan
dari guru kepada siswa. Mengajar menuntut keterampilan tingkat tinggi yang
mencakup pengambilan keputusan, karena harus dapat mengatur berbagai komponen
dan menyelaraskannya untuk terjadinya proses belajar mengajar yang efektif.
Mengajar harus
disertai rasa tanggung jawab yang tinggi dan memiliki rasa kasih sayang kepada
peserta didik, dan yang terpenting adalah mengajar dengan menggunakan rasa
kesungguhan yang muncul dari hati seorang guru. Mengajar dengan dati dilakukan
guru dengan cara ikhlas, tulus, dan sabar dalam menghadapi situasi dan kondisi
yang ada dalam lingkungan sekolah dan dalam proses pembelajaran yang
berlangsung.
Untuk membuat
suatu keputusan yang tepat dalam mengembangkan suatu sistem pengajaran. Seorang
guru sekolah dasar paling tidak bertanggung jawab dalam:
a.
Mengkondisikan
anak untuk menyukai, merasa gembira dan senang belajar d sekolah. Guru SD/MI
dituntut untuk mahir menciptakan suatu situasi yang memungkinkan anak terhindar
dari rasa stress, perasaan bimbang, khawatir dan perasaan mencekam. Hal
demikian adalah penting tidak hanya bagi kemajuan belajar mereka tetapi juga
menyangkut kehidupannya di masa yang akan datang.
b.
Mengembangkan
berbagai cara dan metode yang bervariasi dan menarik di dalam mengajar secara terpadu.
c.
Menjembatani
“gap” antara kehidupan sekolah dengan kehidupan anak itu sendiri dalam
pengajaran.
d.
Mengobservasi
gaya belajar mereka, kebutuhannya dan menaruh perhatian atas tuntutan
individual si anak dalam kaitannya dengan implementasi kurikulum yang berlaku.
Selanjutnya
dalam rangka penerapan pendekatan DAP untuk mengembangkan program dan praktek
pengajaran, Sunary[4] (1995)
mengemukakan pentingnya pemakaman atas perkembangan anak sebagai landasan bagi
pengembangan proses pembelajaran. Ia mengemukakan bahwa guru sekolah dasar
harus selalu peduli dan memahami anak sebagai keseluruhan dan karenanya
kurikulum dan pembelajaran di SD/MI itu harus bersifat terpadu. Carol (1995)
menuntut penciptaan lingkungan belajar sesuai dengan tiga dimensi perkembangan
anak SD, yaitu dimensi perkembangan fisik, perkembangan sosial-emosional, dan
dimensi perkembangan bahasa dan kognisi.
Dilihat dari
dimensi perkembangan fisik, perkembangan fisik anak usia SD memang tidak
sepesat pertumbuhan yang terjadi pada usia lima tahun sebelumnya. Akan tetapi
kemampuan anak dalam mengendalikan tubuhnya dan kemampuan duduk serta merta
berada dalam suatu periode waktu yang relatif lebih lama merupakan ciri
perkembangan fisik anak usia SD.
Kegiatan fisik
merupakan hal yang penting bagi anak usia SD, tidak hanya akan memperluas
perkembangan keterampilan dan harga dirinya, tetapi juga bagi perkembangan
aspek kognisinya. Misalnya pada saat anak menghadapi suatu konsep yang abstrak,
aktivitas fisik akan sangat dibutuhkan. Aktifitas fisik itu akan memberikan
pengalaman nyata bagi anak untuk memahami arti suatu konsep.
Sehubungan
dengan hal diatas, prinsip yang relevan dalam penciptaan lingkungan belajar
dilihat dari perkembangan fisik anak, adalah anak akan dapat belajar dengan
cara terlibat aktif secara fisik dari pada bersifat pasif. Lingkungan belajar
selayaknya disediakan yang memungkinkan anak bereksplorasi dengannya.
Sedangkan
dilihat dari dimensi perkembangan sosial-emosional/moral, keterlibatan dalam
kehidupan kelompok (kolaborasi atau kerja sama) bagi anak usia SD merupakan
minat dan perhatiannya. Perkembangan hubungan sosial emosional dan adanya kesadaran
etis normatif pada anak usia SD merupakan ciri yang kuat yang nampak pada usia
SD. Kompetensi-kompetensi sosial yang positif dan produktif akan berkembang
pada usia ini, seperti kemampuan bekerjasama, kesadaran berkompetisi,
menghargai karya orang lain, toleran, kekeluargaan, dan aspek budaya lainnya.
Sehubungan
dengan hal diatas, prinsip yang relevan dalam penciptaan lingkungan belajar
anak adalah pengembangan pengajaran yang menyediakan kesempatan anak untuk
bekerja secara kelompok adalah sangat penting. Pemikiran dan keputusan guru
untuk membuat kelompok belajar secara fleksibel
(alasan kemampuan, minat, sahabat, silang usia, dan lain-lain) untuk setiap pengajaran yang akan dilakukannya, merupakan implikasi praktis pendekatan DAP yang memperhatikan aspek perkembangan sosial-emosional dan moral anak usia SD.
(alasan kemampuan, minat, sahabat, silang usia, dan lain-lain) untuk setiap pengajaran yang akan dilakukannya, merupakan implikasi praktis pendekatan DAP yang memperhatikan aspek perkembangan sosial-emosional dan moral anak usia SD.
Selanjutnya,
bila dilihat dari dimensi perkembangan bahasa dan kognisi, perkembangan kognisi
pada anak usia SD menurut Piaget berada dalam tahapan dua masa transisi, yaitu
masa transisi dari tahap praoperasional ke masa operasional konkrit dan masa
transisi dari tahap operasional konkrit ke tahap operasional formal. Skema
perkembangan kognitif pada tahap ini berkaitan dengan keterampilan berfikir dan
pemecahan masalah, seperti mengklasifikasi, memahami keadaan sesuatu yang tetap
atau berubah, mengurutkan, dan seterusnya. Juga pada tahap anak usia SD ini,
perkembangan kognisinya memperlihatkan kearah kemampuan atau kecakapan berfikir
secara simbolik, yakni berfikir yang lebih logis, abstrak dan imajinatif. Namun
demikian, karena berada dalam keadaan transisi perkembangan antara tahap
operasional formal, anak usia SD ini masih memerlukan bantuan obyek nyata untuk
berfikir tersebut.
Sehubungan
dengan hal diatas, prinsip yang relevan dalam penciptaan lingkungan belajar
bagi anak adalah pengembangan pengajaran yang menyediakan kesempatan anak untuk
bereksplorasi, berfikir dan memperoleh kesempatan untuk berdiskusi,
berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain (guru, teman-temannya atau
pihak lain). Kemampuan guru di dalam memanipulasi objek fisik menjadi objek
berfikir anak, akan selalu dituntut dalam pengembangan pengajarannya.
3.
Keterampilan mengajar dengan hati
Keberhasilan
mengajar dengan hati, selain ditentukan oleh faktor kemampuan, motifasi dan
keaktifan peserta didik dalam belajar dan kelengkapan fasilitas/lingkungan
belajar, juga akan banyak tergantung pada kemampuan guru dalam mengembangkan
berbagai keterampilan mengajar. Keterampilan-keterampilan ini sudah sepantasnya
dikuasai guru, lebih-lebih bagi guru sekolah dasar dalam menghadapi perilaku
anak yang benar-benar unik.
Mengajar yang
dimaksud itu paling tidak meliputi keterampilan menjelaskan, keterampilan
bertanya, keterampilan menggunakan variasi, keterampilan memberi penguatan,
keterampilan membuka dan menutup pelajaran, keterampilan mengajar kelompok
kecil perorangan, keterampilan mengelola kelas, keterampilan membimbing diskusi
kelompok kecil.
a.
Keterampilan menjelaskan
Dalam setiap proses
pengajaran yang berlangsung biasanya guru tidak luput dari tuntutannya untuk
menjelaskan sesuatu. Bahkan untuk peristiwa belajar mengajar sering guru
mendominasi pembicaraan, padahal di pihak lain anak usia sekolah dasar itu
cepat merasa bosan dgn suatu penjelasan, apalagi hal itu dilakukan guru dengan
cara yang tidak menarik. Karena itu guru memerlukan keterampilan tersendiri
dalam hal menjelaskan sesuatu pada peserta didiknya.
Keterampilan
menjelaskan dalam pengajaran bukanlah sekedar menceritakan sesuatu kepada
peserta didik. Keterampilan menjelaskan menurut M. Sumantri dan J. Permana[5],
merupakan suatu keterampilan menyajikan bahan pelajaran yang diorganisasikan
secara sistematis sebagai satu kesatuan yang berarti, sehingga mudah dipahami
oleh peserta didik. Pengertian lain yang seirama mengungkapkan bahwa
keterampilan menjelaskan adalah penyampaian informasi lisan yang
diorganisasikan secara sistematis yang bertujuan untuk menunjukkan hubungan,
misalnya antara sebab dan akibat atau antara yang diketahui dengan yang belum
diketahui atau antara hukum yang berlaku dengan kenyataan/bukti kehidupan
sehari-hari.[6]
Dalam proses
belajar mengajar pasti akan kita jumpai adanya penjelasan maupun menjelaskan.
Menjelaskan digunakan untuk menyampaikan
informasi dan menjawab pertanyaan. Jawaban dari suatu pertanyaan dapat
berupa penjelasan pendek atau panjang sesuai dengan alasan dan sebab yang
diberikan harus sesuai dengan kenyataan atau bukti-bukti obyektif, sehingga
siswa dapat melihat keberaran atau nilai dari kesimpulan yang dicapai.
Hal yang perlu
diperhatikan dalam menjelaskan:
1.
Bahan
yang akan diterangkan harus dipersiapkan dan dikuasai terlebih dahulu.
2.
Bahasa
yang akan digunakan dalam menjelaskan harus sederhana, terang dan jelas.
3.
Dalam
menjelaskan disertai dengan contoh dan ilustrasi.
4.
Pokok-pokok
yang diterangkan harus disimpulkan.
5.
Adakan
pengecekan terhadap tingkat pemahaman peserta didik melalui
pertanyaan-pertanyaan
b.
Keterampilan bertanya
Keterampilan
bertanya merupakan ucapan atau pernyataan yang dilotarkan guru yang menuntut
renspons atau jawaban dari peserta didik. Keterampilan bertanya ialah kegiatan
dalam proses belajar mengajar untuk meningkatkan kemampuan siswa berfikir dan
memperoleh pengetahuan yang lebih banyak.[7]
Sedangkan menurut Drs. JJ. Hasibuan dan Drs. Moejiono, bertanya merupakan
ucapan verbal yang meminta respons dari seseorang yang dikenali. Respons yang
diberikan dapat berupa pengetahuan sampai hal-hal yang merupakan hasil
pertimbangan. Jadi bertanya merupakan stimulus efektif yang mendorong kemampuan
berfikir.[8]
Hal-hal yang
harus dihindari:
1.
Mengajukan
pertanyaan yang memberikan jawaban serentak.
2.
Mengulang-ulang
pertanyaan sendiri. Menjawab pertanyaan sendiri.
3.
Pengulang
jawaban peserta didik.
c.
Keterampilan menggunakan variasi
Penggunaan
variasi yang dimaksud agar peserta didik terhindar dari perasaan jenuh dan
membosankan, yang menyebabkan perasaan malas menjadi muncul. Pengajaran
sepantasnya tidak monoton, berulang-ulang dan menimbulkan rasa jengkel pada
diri peserta didik. Karena itu keterampilan menggunakan variasi adalah sangat
penting bagi guru sekolah dasar dalam upaya memelihara dan meningkatkan mutu
kegiatan belajar mengajar yang lebih baik.
Mengadakan
variasi mengajar adalah menciptakan sesuatu yang baru dalam proses belajar
mengajar, yang menggairahkan siswa, yang melibatkan siswa, sehingga di sekolah
tidaklah merasa sebagai beban yang berat, tetapi terasa menjadi sesuatu yang
menyenangkan.[9]
Pengertian penggunaan variasi merupakan keterampilan guru di dalam menggunakan bermacam-macam
kemampuan untuk mewujudkan tujuan belajar peserta didik sekaligus mengatasi
kebosanan dan menimbulkan minat, gairah, dan aktifitas belajar yang efektif.
Hal-hal yang
harus diperhatikan dalam menggunakan keterampilan variasi:
1.
Gunakan
variasi dengan wajar, jgn dibuat-buat.
2.
Perubahan
satu jenis variasi ke variasi lainnya harus efektif.
3.
Penggunaan
variasi harus direncanakan dan sesuai dengan bahan, metode, dan karakteristik
peserta didik.
d.
Keterampilan memberi penguatan
Memberi
penguatan atau reinforcement menurut M. Sumantri dan J. Permana,
merupakan tindakan atau respon terhadap suatu bentuk perilaku peserta didik
yang dapat mendorong munculnya peningkatan kualitas tingkah laku tersebut
disaat/diwaktu yang lain[10]
sedangkan menurut Gore Brown, pemberian penguatan adalah suatu istilah teknis
yang dipakai untuk menyatakan setiap teknik mengurangi atau mengubah tingkah
laku.[11]
Penguatan dapat
berupa pujian, pemberian penghargaan dan pemberian simbol. Sebagai contoh terhadap
peserta didik yang berhasil memimpin dan menyelesaikan tugas kelompoknya di
kelas, maka guru memuji; “bagus, tugasmu sungguh baik, rapi dan diselesaikan
tepat waktu”. Atau bisa saja dengan cara mengelus-elus punggungnya sambil
berkata; “sungguh, kamu ini telah bekerja keras, bagus sekali hasilnya!”.
Cara-cara yang dilakukan guru itu tentu saja akan membesarkan hati para peserta
didik untuk lebih meningkatkan lagi proses belajar nya di masa mendatang.
Hal-hal yang
perlu diperhatikan saat memberikan penguatan:
1.
Dilakukan
dengan hangat dan semangat.
2.
Memberikan
kesan positif kepada peserta didik.
3.
Berdampak
terhadap perilaku positif.
4.
Dapat
bersifat pribadi atau kelompok.
5.
Hindari
penggunaan renspons negatif.
e.
Keterampilan membuka dan menutup pelajaran
Keterampilan
membuka pelajaran adalah usaha guru untuk mengkondisikan mental peserta didik agar
siap dalam menerima pembelajaran. Dalam membuka pelajaran peserta didik harus
mengetahui tujuan yang akan dicapai dan langkah-langkah yang akan ditempuh.
Sedangkan keterampilan menutup pelajaran adalah kemampuan guru dalam mengakhiri
kegiatan inti pelajaran. Dalam menutup pelajaran, guru dapat menyimpulkan
materi pelajaran, mengetahui tingkat penyampaian peserta didik, dan tingkat
keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar.
Hal-hal harus
diperhatikan dalam keterampilan membuka dan menutup pelajaran:
1.
Hubungan
antara pendahuluan dengan inti penalaran serta dengan tugas-tugas yang akan
dikerjakan sebagai tindak lanjut nampak jelas dan logis.
2.
Menggunakan
apersepsi yaitu mengenalkan pokok pelajaran dengan menghubungkan pengetahuan
yang sudah diketahui oleh peserta didik.
3.
Dalam
membuka pelajaran harus memberi makana kepada peserta didik. Yaitu dengan
tujuan dan bahan yang akan disampaikan.
f.
Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan
Keterampilan
mengajar kelompok kecil adalah kemampuan guru melayani kegiatan peserta didik
berkisar antara 3-5 orang atau paling banyak 8 orang untuk setiap kelompoknya.
Sedangkan keterampilan dalam pengajaran perorangan atau pengajran individual
adalah kemampuan guru dalam menentukan tujuan, bahan ajar, prosedur dan waktu
yang digunakan dalam pengajaran dengan memperhatikan tuntutan-tuntutan atau
perbedaan-perbedaan individual peserta didik.[12]
Keterampilan
guru SD memiliki keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan ini tidak
lain dimaksudkan guna memenuhi kebutuhan belajar peserta didik itu sendiri.
Ciri-ciri khas itu adalah berbeda satu sama lain, baik sebagai perorangan
ataupun hidup dalam kelompoknya. Guru sewajarnya bertindak adil dalam
memberikan pelayanan pendidikannya, bukan sekedar menyamaratakan (bersifat
klasikal)tetapi juga harus memiliki alternativ lain di dalam upaya memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan individual si anak.
g.
Keterampilan mengelola kelas
Keterampilan
mengelola kelas, merupakan kemampuan guru dalam mewujudkan dan mempertahankan
suasana belajar mengajar optimal. Kemampuan ini erat kaitannya dengan kemampuan
guru untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan, menyenangkan peserta didik
dan penciptaan disiplin belajar secara sehat.
Hal-hal yang
harus dihindari dalam mengembangkan keterampilan mengelola kelas:
1.
Campur
tangan yang berlebihan.
2.
Kesenyapan
.
3.
Ketidak
tepatan dalam memulai dan mengakhiri kegiatan.
4.
Penyimpangan.
5.
Bertele-tele.
6.
Pengulangan
penjelasan yang tidak perlu.
h.
Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil
Diskusi
kelompok kecil dapat dipandang sebagai variasi dari pola interaksi yang penting
dikembangkan dalam proses belajar mengajar. Diskusi kelompok kecil adalah suatu
proses belajar yang dilakukan dalam kerja sama kelompok yang bertujuan untuk
memecahkan suatu masalah, mengkaji konsep, prinsip atau keterampilan tertentu.[13]
Hal-hal yang
harus diperhatikan:
1.
Laksanakan
diskusi dengan suasana yang menyenangkan.
2.
Berikan
waktu yang cukup untuk merumuskan dan menjawab permasalahan.
3.
Rencanakan
diskusi kelompok kecil dengan sistematis.
4.
Bimbinglah
dan jadikanlah diri guru sebagai teman dalam diskusi.
BAB III
PENUTUP
1.
Mengajar
diartikan sebagai proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru
kepada peserta didik.
2.
Mengajar
adalah membimbing kegiatan siswa belajar, mengajar adalah mengatur dan
mengorganisasikan lingkungan yang ada di sekitar siswa, sehingga dapat
mendorong dan menumbuhkan siswa melakukan kegiatan belajar.
3.
Mengajar
yang dimaksud itu paling tidak meliputi keterampilan menjelaskan, keterampilan
bertanya, keterampilan menggunakan variasi, keterampilan memberi penguatan,
keterampilan membuka dan menutup pelajaran, keterampilan mengajar kelompok
kecil perorangan, keterampilan mengelola kelas, keterampilan membimbing diskusi
kelompok kecil.
4.
Mengajar
dengan hati berarti proses pembelajaran dilakukan dengan cara mencurahkan
segala ilmu yang dimiliki seorang guru kepada si anak dengan hati tulus dan
ikhlas, sabar dan kasih kasatang dalam mengajar dan membimbing peserta didik,
mulai dari yang tidak bisa menjadi bisa, dan dari yang tidak biasa menjadi
biasa.
Hal inilah yang menjadi pondasi pokok
seorang guru dalam mengajar peserta didik. Tanpa disertai mengajar dengan hati,
maka proses pentranferan ilmu pengetahuan kepada siswa tidak akan optimal, dan
tidak akan membekas dan teringat terus dalam memori ingatan peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Wina Sanjaya, Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta: 2009
Suryo Subroto, Proses Belajar
Mengajar di Sekolah, Rineka Cipta,
Jakarta: 1997
Utsman, Moh. Uzer, Menjadi Guru
Profesional, Remaja Rosdakarya, Bandung: 2000
Mufarokah, Anisatul, Strategi
Belajar Mengajar, Teras, Yoyakarta:
2009
Drs. JJ. Hasibuan dan Drs. Moejiono,
Proses Belajar Mengajar, Remaja
Karya, Bandung: 1986
[1]
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Standar Proses
Pendidikan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2006 Hlm. 96
[2]
Nana Sujana, Evaluasi Hasil Belajar Konstruktif Dan Analisa, Bandung
Mertiana, 1982, Hal. 19.
[3]
Seperti Yang Dirumuskan Oleh Nana Sujana, Media Pengajaran, Bandung,
Sinar Baru, 1991, Hal. 3.
[4]
M. Sumantri dan J. Permana, Op. Cit., Hal. 29
[5]
Ibid, Hal.266
[6]
Drs. Yoto, S.T. M.Pd dan Saiful Rahman, M.M., Op. Cit, Hal. 144.
[7]
Gilarso T. Program Pengalaman Lapangan (Mikro Teaching), Yogyakarta,
Andi Offset, 1986.
[8]
Drs. JJ. Hasibuan dan Drs. Moejiono, Proses
Belajar Mengajar, Bandung, Remaja Karya CV, 1986, Hal 62.
[9]
Drs. Yoto, S.T., M.Pd dan Drs. Saiful Rahman, Op. Cit., Hal. 164.
[10]
M. Sumantri dan J. Permana, Op. Cit., Hal. 272.
[11]
Drs. Yoto, S.T., M.Pd dan Drs. Saiful Rahman, Op. Cit., Hal. 155.
[12]
M. Sumantri dan J. Permana, Op. Cit., Hal. 279.
[13]
M. Sumantri dan J. Permana, Op. Cit., Hal. 287
Tidak ada komentar:
Posting Komentar