Selasa, 15 Mei 2012

MENGAJAR DENGAN HATI


BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini pendidikan mulai bergeser pada proses belajar (learning), berbasis pada masalah (case base), bersifat kontekstual dan tidak terbatas hanya untuk golongan tertentu saja, sehingga pelajar dituntut untuk lebih aktif mempelajari dan mengembangkan materi pelajaran dan mengoptimalkan sumber-sumber lain.
Berbicara tentang mengajar, maka tidak terlepas dari guru, maka guru menjadi figur yang teramat penting di tengah derasnya dinamika dan tuntutan perubahan kebijakan, menyangkut peningkatan mutu pendidikan dewasa ini. Sebab apapun perubahan di bidang pendidikan, pada akhirnya akan ditentukan oleh guru melalui pekerjaan profesinya sebagai orang yang berdiri di depan kelas.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat saat ini, tantangan bagi guru justru semakin besar, terutama menyongsong pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Perubahan ini tentuya menuntut guru untuk meningkatkan kompetensinya, baik kompetensi pribadi, sosial, pedagogik dan kompetensi profesional dalam hal pembelajaran. Kompetensi ini selanjutnya akan menempatkan guru pada sebuah paradigma baru dalam proses pembelajaran. Model pendekatan guru yang dulu begitu otoriter dengan asumsi bahwa guru dapat mengetahui segalanya dan siswa tidak tahu apa-apa, adalah sudah tidak berlaku lagi. Pendekatan pembelajaran dewasa ini memsti memiliki nuansa demokratis, dimana guru dan siswa saling belajar dan membantu dan bekerja sama.





BAB II
PEMBAHASAN
A.      Mengajar dengan Hati di Sekolah Dasar
1.      Pengertian Mengajar
Mengajar adalah terjemahan dari teach secara deskriptif mengajar diartikan sebagai proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru kepada peserta didik. Proses penyampaian ini sering dianggap sebagai proses mentransfer ilmu. Dalam konteks ini transfer tidak diartikan dengan pemindahan seperti mentransfer uang, maka jumlah uang yang dimiliki seseorang akan berkurang bahkan hilang setelah ditransfer pada orang lain.[1]
Pandangan mengajar yang hanya sebatas menyampaikan ilmu pengetahuan itu dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan keadaan. Mengapa demikian? Karena perlu adanya perubahan paradigma mengajar dari mengajar hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran kepada mengajar sebagai proses mengatur lingkungan.
Para ahli psikologi dari pendidikan memberikan batasan-batasan atau pengertian mengajar yang berbeda-beda rumusannya. Perbedaan tersebut disebabkan adanya perbedaan titik pandang atau makna atau hakekat mengajar. Pandangan pertama melihat dari segi pelakunya atau pengajarnya.
Atas dasar pandangan tersebut mengajar diartikan menyampaikan ilmu pengetahuan (bahan pelajaran) kepada siswa. Rumusan ini telah lama dianut oleh kalangan pendidik mulai dari tingkat guru TK sampai pada dosen di Perguruan Tinggi.
Kritik yang paling banyak dilontarkan terhadap rumusan mengajar diatas, ialah siswa dianggap obyek, bukan sebagai subyek. Disini siswa banyak menerima (pasif) apa yang diberikan guru. Sebaliknya guru peranannya sangat menentukan. Pandangan semacam ini sering disebut pengajaran yang berpusat pada guru atau teacher  centered.[2]
Atas dasar pemikiran diatas muncul pemikiran yang melihat kegiatan mengajar dari segi siswa yang belajar. Beberapa batasan rumusan mengajar yang bertolak dari pandangan ini antara lain sebagai berikut.[3]
Mengajar adalah membimbing kegiatan siswa belajar, mengajar adalah mengatur dan mengorganisasikan lingkungan yang ada di sekitar siswa, sehingga dapat mendorong dan menumbuhkan siswa melakukan kegiatan belajar.
Rumusan mengajar diatas disamping berpusat pada siswa yang belajar, juga melihat hakekat mengajar sebagai proses, yakni proses yang dilakukan guru dalam menumbuhkan kegiatan belajar siswa. Dengan kata lain hasil mengajar adalah proses belajar dan hasil proses belajar adalah perubahan tingkah laku.
Dalam konsep mengajar tampak bahwa titik berat peranan guru adalah sebagai pembimbing, pemimpin belajar dan fasilitator belajar. Dikatakan sebagai pembimbing karena dalam proses belajar tersebut guru memberikan bantuan kepada siswa agar siswa itu sendiri yang melakukan kegiatan belajar. Dikatakan sebagai pemimpin belajar, sebab guru yang menentukan kemana siswa akan diarahkan. Dan dikatakan sebagai fasilitator sebab guru harus menyediakan fasilitas belajar, setidak-tidaknya menciptakan kondisi lingkungan yang dapat menjadi sumber bagi siswa dalam melakukan kegiatan belajar.
Jadi hakekat mengajar adalah merupakan suatu proses yang ditandai dengan timbulnya kegiatan siswa belajar.
2.      Kegiatan mengajar
Kegiatan mengajar sebenarnya bukan sekedar menyangkut persoalan penyampaian pesan-pesan dari guru kepada siswa. Mengajar menuntut keterampilan tingkat tinggi yang mencakup pengambilan keputusan, karena harus dapat mengatur berbagai komponen dan menyelaraskannya untuk terjadinya proses belajar mengajar yang efektif.
Mengajar harus disertai rasa tanggung jawab yang tinggi dan memiliki rasa kasih sayang kepada peserta didik, dan yang terpenting adalah mengajar dengan menggunakan rasa kesungguhan yang muncul dari hati seorang guru. Mengajar dengan dati dilakukan guru dengan cara ikhlas, tulus, dan sabar dalam menghadapi situasi dan kondisi yang ada dalam lingkungan sekolah dan dalam proses pembelajaran yang berlangsung.
Untuk membuat suatu keputusan yang tepat dalam mengembangkan suatu sistem pengajaran. Seorang guru sekolah dasar paling tidak bertanggung jawab dalam:
a.       Mengkondisikan anak untuk menyukai, merasa gembira dan senang belajar d sekolah. Guru SD/MI dituntut untuk mahir menciptakan suatu situasi yang memungkinkan anak terhindar dari rasa stress, perasaan bimbang, khawatir dan perasaan mencekam. Hal demikian adalah penting tidak hanya bagi kemajuan belajar mereka tetapi juga menyangkut kehidupannya di masa yang akan datang.
b.      Mengembangkan berbagai cara dan metode yang bervariasi dan menarik di dalam mengajar secara terpadu.
c.       Menjembatani “gap” antara kehidupan sekolah dengan kehidupan anak itu sendiri dalam pengajaran.
d.      Mengobservasi gaya belajar mereka, kebutuhannya dan menaruh perhatian atas tuntutan individual si anak dalam kaitannya dengan implementasi kurikulum yang berlaku.
Selanjutnya dalam rangka penerapan pendekatan DAP untuk mengembangkan program dan praktek pengajaran, Sunary[4] (1995) mengemukakan pentingnya pemakaman atas perkembangan anak sebagai landasan bagi pengembangan proses pembelajaran. Ia mengemukakan bahwa guru sekolah dasar harus selalu peduli dan memahami anak sebagai keseluruhan dan karenanya kurikulum dan pembelajaran di SD/MI itu harus bersifat terpadu. Carol (1995) menuntut penciptaan lingkungan belajar sesuai dengan tiga dimensi perkembangan anak SD, yaitu dimensi perkembangan fisik, perkembangan sosial-emosional, dan dimensi perkembangan bahasa dan kognisi.
Dilihat dari dimensi perkembangan fisik, perkembangan fisik anak usia SD memang tidak sepesat pertumbuhan yang terjadi pada usia lima tahun sebelumnya. Akan tetapi kemampuan anak dalam mengendalikan tubuhnya dan kemampuan duduk serta merta berada dalam suatu periode waktu yang relatif lebih lama merupakan ciri perkembangan fisik anak usia SD.
Kegiatan fisik merupakan hal yang penting bagi anak usia SD, tidak hanya akan memperluas perkembangan keterampilan dan harga dirinya, tetapi juga bagi perkembangan aspek kognisinya. Misalnya pada saat anak menghadapi suatu konsep yang abstrak, aktivitas fisik akan sangat dibutuhkan. Aktifitas fisik itu akan memberikan pengalaman nyata bagi anak untuk memahami arti suatu konsep.
Sehubungan dengan hal diatas, prinsip yang relevan dalam penciptaan lingkungan belajar dilihat dari perkembangan fisik anak, adalah anak akan dapat belajar dengan cara terlibat aktif secara fisik dari pada bersifat pasif. Lingkungan belajar selayaknya disediakan yang memungkinkan anak bereksplorasi dengannya.
Sedangkan dilihat dari dimensi perkembangan sosial-emosional/moral, keterlibatan dalam kehidupan kelompok (kolaborasi atau kerja sama) bagi anak usia SD merupakan minat dan perhatiannya. Perkembangan hubungan sosial emosional dan adanya kesadaran etis normatif pada anak usia SD merupakan ciri yang kuat yang nampak pada usia SD. Kompetensi-kompetensi sosial yang positif dan produktif akan berkembang pada usia ini, seperti kemampuan bekerjasama, kesadaran berkompetisi, menghargai karya orang lain, toleran, kekeluargaan, dan aspek budaya lainnya.
Sehubungan dengan hal diatas, prinsip yang relevan dalam penciptaan lingkungan belajar anak adalah pengembangan pengajaran yang menyediakan kesempatan anak untuk bekerja secara kelompok adalah sangat penting. Pemikiran dan keputusan guru untuk membuat kelompok belajar secara fleksibel
(alasan kemampuan, minat, sahabat, silang usia, dan lain-lain) untuk setiap pengajaran yang akan dilakukannya, merupakan implikasi praktis pendekatan DAP yang memperhatikan aspek perkembangan sosial-emosional dan moral anak usia SD.
Selanjutnya, bila dilihat dari dimensi perkembangan bahasa dan kognisi, perkembangan kognisi pada anak usia SD menurut Piaget berada dalam tahapan dua masa transisi, yaitu masa transisi dari tahap praoperasional ke masa operasional konkrit dan masa transisi dari tahap operasional konkrit ke tahap operasional formal. Skema perkembangan kognitif pada tahap ini berkaitan dengan keterampilan berfikir dan pemecahan masalah, seperti mengklasifikasi, memahami keadaan sesuatu yang tetap atau berubah, mengurutkan, dan seterusnya. Juga pada tahap anak usia SD ini, perkembangan kognisinya memperlihatkan kearah kemampuan atau kecakapan berfikir secara simbolik, yakni berfikir yang lebih logis, abstrak dan imajinatif. Namun demikian, karena berada dalam keadaan transisi perkembangan antara tahap operasional formal, anak usia SD ini masih memerlukan bantuan obyek nyata untuk berfikir tersebut.
Sehubungan dengan hal diatas, prinsip yang relevan dalam penciptaan lingkungan belajar bagi anak adalah pengembangan pengajaran yang menyediakan kesempatan anak untuk bereksplorasi, berfikir dan memperoleh kesempatan untuk berdiskusi, berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain (guru, teman-temannya atau pihak lain). Kemampuan guru di dalam memanipulasi objek fisik menjadi objek berfikir anak, akan selalu dituntut dalam pengembangan pengajarannya.
3.      Keterampilan mengajar dengan hati
Keberhasilan mengajar dengan hati, selain ditentukan oleh faktor kemampuan, motifasi dan keaktifan peserta didik dalam belajar dan kelengkapan fasilitas/lingkungan belajar, juga akan banyak tergantung pada kemampuan guru dalam mengembangkan berbagai keterampilan mengajar. Keterampilan-keterampilan ini sudah sepantasnya dikuasai guru, lebih-lebih bagi guru sekolah dasar dalam menghadapi perilaku anak yang benar-benar unik.
Mengajar yang dimaksud itu paling tidak meliputi keterampilan menjelaskan, keterampilan bertanya, keterampilan menggunakan variasi, keterampilan memberi penguatan, keterampilan membuka dan menutup pelajaran, keterampilan mengajar kelompok kecil perorangan, keterampilan mengelola kelas, keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil.
a.      Keterampilan menjelaskan
Dalam setiap proses pengajaran yang berlangsung biasanya guru tidak luput dari tuntutannya untuk menjelaskan sesuatu. Bahkan untuk peristiwa belajar mengajar sering guru mendominasi pembicaraan, padahal di pihak lain anak usia sekolah dasar itu cepat merasa bosan dgn suatu penjelasan, apalagi hal itu dilakukan guru dengan cara yang tidak menarik. Karena itu guru memerlukan keterampilan tersendiri dalam hal menjelaskan sesuatu pada peserta didiknya.
Keterampilan menjelaskan dalam pengajaran bukanlah sekedar menceritakan sesuatu kepada peserta didik. Keterampilan menjelaskan menurut M. Sumantri dan J. Permana[5], merupakan suatu keterampilan menyajikan bahan pelajaran yang diorganisasikan secara sistematis sebagai satu kesatuan yang berarti, sehingga mudah dipahami oleh peserta didik. Pengertian lain yang seirama mengungkapkan bahwa keterampilan menjelaskan adalah penyampaian informasi lisan yang diorganisasikan secara sistematis yang bertujuan untuk menunjukkan hubungan, misalnya antara sebab dan akibat atau antara yang diketahui dengan yang belum diketahui atau antara hukum yang berlaku dengan kenyataan/bukti kehidupan sehari-hari.[6]
Dalam proses belajar mengajar pasti akan kita jumpai adanya penjelasan maupun menjelaskan. Menjelaskan digunakan untuk menyampaikan  informasi dan menjawab pertanyaan. Jawaban dari suatu pertanyaan dapat berupa penjelasan pendek atau panjang sesuai dengan alasan dan sebab yang diberikan harus sesuai dengan kenyataan atau bukti-bukti obyektif, sehingga siswa dapat melihat keberaran atau nilai dari kesimpulan yang dicapai.
Hal yang perlu diperhatikan dalam menjelaskan:
1.      Bahan yang akan diterangkan harus dipersiapkan dan dikuasai terlebih dahulu.
2.      Bahasa yang akan digunakan dalam menjelaskan harus sederhana, terang dan jelas.
3.      Dalam menjelaskan disertai dengan contoh dan ilustrasi.
4.      Pokok-pokok yang diterangkan harus disimpulkan.
5.      Adakan pengecekan terhadap tingkat pemahaman peserta didik melalui pertanyaan-pertanyaan

b.      Keterampilan bertanya
Keterampilan bertanya merupakan ucapan atau pernyataan yang dilotarkan guru yang menuntut renspons atau jawaban dari peserta didik. Keterampilan bertanya ialah kegiatan dalam proses belajar mengajar untuk meningkatkan kemampuan siswa berfikir dan memperoleh pengetahuan yang lebih banyak.[7] Sedangkan menurut Drs. JJ. Hasibuan dan Drs. Moejiono, bertanya merupakan ucapan verbal yang meminta respons dari seseorang yang dikenali. Respons yang diberikan dapat berupa pengetahuan sampai hal-hal yang merupakan hasil pertimbangan. Jadi bertanya merupakan stimulus efektif yang mendorong kemampuan berfikir.[8]
Hal-hal yang harus dihindari:
1.      Mengajukan pertanyaan yang memberikan jawaban serentak.
2.      Mengulang-ulang pertanyaan sendiri. Menjawab pertanyaan sendiri.
3.      Pengulang jawaban peserta didik.

c.       Keterampilan menggunakan variasi
Penggunaan variasi yang dimaksud agar peserta didik terhindar dari perasaan jenuh dan membosankan, yang menyebabkan perasaan malas menjadi muncul. Pengajaran sepantasnya tidak monoton, berulang-ulang dan menimbulkan rasa jengkel pada diri peserta didik. Karena itu keterampilan menggunakan variasi adalah sangat penting bagi guru sekolah dasar dalam upaya memelihara dan meningkatkan mutu kegiatan belajar mengajar yang lebih baik.
Mengadakan variasi mengajar adalah menciptakan sesuatu yang baru dalam proses belajar mengajar, yang menggairahkan siswa, yang melibatkan siswa, sehingga di sekolah tidaklah merasa sebagai beban yang berat, tetapi terasa menjadi sesuatu yang menyenangkan.[9] Pengertian penggunaan variasi merupakan keterampilan guru di dalam menggunakan bermacam-macam kemampuan untuk mewujudkan tujuan belajar peserta didik sekaligus mengatasi kebosanan dan menimbulkan minat, gairah, dan aktifitas belajar yang efektif.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan keterampilan variasi:
1.      Gunakan variasi dengan wajar, jgn dibuat-buat.
2.      Perubahan satu jenis variasi ke variasi lainnya harus efektif.
3.      Penggunaan variasi harus direncanakan dan sesuai dengan bahan, metode, dan karakteristik peserta didik.

d.      Keterampilan memberi penguatan
Memberi penguatan atau reinforcement menurut M. Sumantri dan J. Permana, merupakan tindakan atau respon terhadap suatu bentuk perilaku peserta didik yang dapat mendorong munculnya peningkatan kualitas tingkah laku tersebut disaat/diwaktu yang lain[10] sedangkan menurut Gore Brown, pemberian penguatan adalah suatu istilah teknis yang dipakai untuk menyatakan setiap teknik mengurangi atau mengubah tingkah laku.[11]
Penguatan dapat berupa pujian, pemberian penghargaan dan pemberian simbol. Sebagai contoh terhadap peserta didik yang berhasil memimpin dan menyelesaikan tugas kelompoknya di kelas, maka guru memuji; “bagus, tugasmu sungguh baik, rapi dan diselesaikan tepat waktu”. Atau bisa saja dengan cara mengelus-elus punggungnya sambil berkata; “sungguh, kamu ini telah bekerja keras, bagus sekali hasilnya!”. Cara-cara yang dilakukan guru itu tentu saja akan membesarkan hati para peserta didik untuk lebih meningkatkan lagi proses belajar nya di masa mendatang.
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat memberikan penguatan:
1.      Dilakukan dengan hangat dan semangat.
2.      Memberikan kesan positif kepada peserta didik.
3.      Berdampak terhadap perilaku positif.
4.      Dapat bersifat pribadi atau kelompok.
5.      Hindari penggunaan renspons negatif.

e.       Keterampilan membuka dan menutup pelajaran
Keterampilan membuka pelajaran adalah usaha guru untuk mengkondisikan mental peserta didik agar siap dalam menerima pembelajaran. Dalam membuka pelajaran peserta didik harus mengetahui tujuan yang akan dicapai dan langkah-langkah yang akan ditempuh. Sedangkan keterampilan menutup pelajaran adalah kemampuan guru dalam mengakhiri kegiatan inti pelajaran. Dalam menutup pelajaran, guru dapat menyimpulkan materi pelajaran, mengetahui tingkat penyampaian peserta didik, dan tingkat keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar.
Hal-hal harus diperhatikan dalam keterampilan membuka dan menutup pelajaran:
1.      Hubungan antara pendahuluan dengan inti penalaran serta dengan tugas-tugas yang akan dikerjakan sebagai tindak lanjut nampak jelas dan logis.
2.      Menggunakan apersepsi yaitu mengenalkan pokok pelajaran dengan menghubungkan pengetahuan yang sudah diketahui oleh peserta didik.
3.      Dalam membuka pelajaran harus memberi makana kepada peserta didik. Yaitu dengan tujuan dan bahan yang akan disampaikan.

f.       Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan
Keterampilan mengajar kelompok kecil adalah kemampuan guru melayani kegiatan peserta didik berkisar antara 3-5 orang atau paling banyak 8 orang untuk setiap kelompoknya. Sedangkan keterampilan dalam pengajaran perorangan atau pengajran individual adalah kemampuan guru dalam menentukan tujuan, bahan ajar, prosedur dan waktu yang digunakan dalam pengajaran dengan memperhatikan tuntutan-tuntutan atau perbedaan-perbedaan individual peserta didik.[12]
Keterampilan guru SD memiliki keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan ini tidak lain dimaksudkan guna memenuhi kebutuhan belajar peserta didik itu sendiri. Ciri-ciri khas itu adalah berbeda satu sama lain, baik sebagai perorangan ataupun hidup dalam kelompoknya. Guru sewajarnya bertindak adil dalam memberikan pelayanan pendidikannya, bukan sekedar menyamaratakan (bersifat klasikal)tetapi juga harus memiliki alternativ lain di dalam upaya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan individual si anak.
g.      Keterampilan mengelola kelas
Keterampilan mengelola kelas, merupakan kemampuan guru dalam mewujudkan dan mempertahankan suasana belajar mengajar optimal. Kemampuan ini erat kaitannya dengan kemampuan guru untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan, menyenangkan peserta didik dan penciptaan disiplin belajar secara sehat.
Hal-hal yang harus dihindari dalam mengembangkan keterampilan mengelola kelas:
1.      Campur tangan yang berlebihan.
2.      Kesenyapan .
3.      Ketidak tepatan dalam memulai dan mengakhiri kegiatan.
4.      Penyimpangan.
5.      Bertele-tele.
6.      Pengulangan penjelasan yang tidak perlu.

h.      Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil
Diskusi kelompok kecil dapat dipandang sebagai variasi dari pola interaksi yang penting dikembangkan dalam proses belajar mengajar. Diskusi kelompok kecil adalah suatu proses belajar yang dilakukan dalam kerja sama kelompok yang bertujuan untuk memecahkan suatu masalah, mengkaji konsep, prinsip atau keterampilan tertentu.[13]
Hal-hal yang harus diperhatikan:
1.      Laksanakan diskusi dengan suasana yang menyenangkan.
2.      Berikan waktu yang cukup untuk merumuskan dan menjawab permasalahan.
3.      Rencanakan diskusi kelompok kecil dengan sistematis.
4.      Bimbinglah dan jadikanlah diri guru sebagai teman dalam diskusi.








BAB III
PENUTUP
1.      Mengajar diartikan sebagai proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru kepada peserta didik.
2.      Mengajar adalah membimbing kegiatan siswa belajar, mengajar adalah mengatur dan mengorganisasikan lingkungan yang ada di sekitar siswa, sehingga dapat mendorong dan menumbuhkan siswa melakukan kegiatan belajar.
3.      Mengajar yang dimaksud itu paling tidak meliputi keterampilan menjelaskan, keterampilan bertanya, keterampilan menggunakan variasi, keterampilan memberi penguatan, keterampilan membuka dan menutup pelajaran, keterampilan mengajar kelompok kecil perorangan, keterampilan mengelola kelas, keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil.
4.      Mengajar dengan hati berarti proses pembelajaran dilakukan dengan cara mencurahkan segala ilmu yang dimiliki seorang guru kepada si anak dengan hati tulus dan ikhlas, sabar dan kasih kasatang dalam mengajar dan membimbing peserta didik, mulai dari yang tidak bisa menjadi bisa, dan dari yang tidak biasa menjadi biasa.
Hal inilah yang menjadi pondasi pokok seorang guru dalam mengajar peserta didik. Tanpa disertai mengajar dengan hati, maka proses pentranferan ilmu pengetahuan kepada siswa tidak akan optimal, dan tidak akan membekas dan teringat terus dalam memori ingatan peserta didik.






DAFTAR PUSTAKA
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta: 2009
Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar  di Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta: 1997
Utsman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosdakarya, Bandung: 2000
Mufarokah, Anisatul, Strategi Belajar Mengajar,  Teras, Yoyakarta: 2009
Drs. JJ. Hasibuan dan Drs. Moejiono, Proses  Belajar Mengajar, Remaja Karya, Bandung: 1986


[1] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Standar Proses Pendidikan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta  2006 Hlm. 96
[2] Nana Sujana, Evaluasi Hasil Belajar Konstruktif Dan Analisa, Bandung Mertiana, 1982, Hal. 19.
[3] Seperti Yang Dirumuskan Oleh Nana Sujana, Media Pengajaran, Bandung, Sinar Baru, 1991, Hal. 3.
[4] M. Sumantri dan J. Permana, Op. Cit., Hal. 29
[5] Ibid, Hal.266
[6] Drs. Yoto, S.T. M.Pd dan Saiful Rahman, M.M., Op. Cit, Hal. 144.
[7] Gilarso T. Program Pengalaman Lapangan (Mikro Teaching), Yogyakarta, Andi Offset, 1986.
[8] Drs. JJ. Hasibuan dan Drs. Moejiono, Proses  Belajar Mengajar, Bandung, Remaja Karya CV, 1986, Hal 62.
[9] Drs. Yoto, S.T., M.Pd dan Drs. Saiful Rahman, Op. Cit., Hal. 164.
[10] M. Sumantri dan J. Permana, Op. Cit., Hal. 272.
[11] Drs. Yoto, S.T., M.Pd dan Drs. Saiful Rahman, Op. Cit., Hal. 155.
[12] M. Sumantri dan J. Permana, Op. Cit., Hal. 279.
[13] M. Sumantri dan J. Permana, Op. Cit., Hal. 287

Tidak ada komentar:

Posting Komentar