Selasa, 15 Mei 2012

PEREMPUAN DAN ISI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perkembangannya, perempuan di indonesia sangatlah memprihatinkan. Dilihat dari sisi kehidupannya maupun sikap mental.
Di indonesia, banyak sekali permasalahan-permasalahan yang timbul bersumber dari seorang perempuan. Mengapa demikian? Karena sejak zaman dahulu hingga sekarang emansipasi perempuan dalam kehidupan kurang adanya suatu perhatian dari pemerintah.
Pada dasarnya perempuan banyak yang menganggap sebagai orang yang lemah. Tetapi sesungguhnya perempuan sama saja dengan kaum lelaki. Yang butuh perhatian dan butuh adanya pendidikan.
Di dalam permasalahan-permasalahan yang muncul dari zaman dahulu hingga sekarang akan coba saya bahas pada bab ini.











BAB II
PEMBAHASAN
PEREMPUAN DAN ISI PENDIDIKAN ISLAM
DI INDONESIA

A.    Pandangan Terhadap Perempuan Sebelum Turun Al-Qur’an.
Masyarakat pada zaman dahulu di Yunani yang terkenal dengan pemikiran filsafatnya tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Dikalangan elit wanita di tempatkan (disekap) dalam istana, sedangkan dikalangan bawah, mereka diperjualbelikan. Bagi yang sudah menikah, sepenuhnya berada di bawah kuasa suami dan tidak memiliki hak apapun. Pada puncaknya, wanita diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera laki-laki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap melanggar kesopanan, tempat pelacuran menjadi pusat kegiatan politik dan sastra/seni. Patung-patung telanjang yang terlihat di negara barat adalah bukti atau sisa pandangan itu.
Dalam ajaran Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu. Ayah berhak menjual anak perempuan kalau tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga.[1] Dalam pandangan Nasrani ditemukan bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia.
Tak jauh dari Yunani, di negara Mesir pun perjuangan wanita untuk mendapatkan hak pendidikan di respon banyak pemikiran Mesir, sesuai dengan cita-cita  kepentingannya. Ada yang menyebut perjuangan wanita untuk menuntut haknya sebagai satu perang untuk mendapatkan hak pendidikan dan juga sebagai perlawanan terhadap kebodohan, perbudakan, pembelengguan terhadap wanita oleh adat istiadat. Kenyataan ini membuat masa muda wanita tidak mengenal kehidupan dan kalau masuk ke rumah suaminya tidak akan keluar kecuali setelah mati. Persoalan pembebasan wanita ditopang dengan persoalan pembebasan tanah air Mesir. Bahkan sebagian bertindak terlalu jauh dalam merencanakan langkah-langkah pembebasan wanita dan membuatnya persis seperti mendesain pertumbuhan gerakan-gerakan nasionalis di Mesir.
Berkaitan dengan isu wanita di Mesir abad ke-20, ada isu penting yang menjadi perhatian dan kepedulian kelompok-kelompok masyarakat sebagai pandangan dunia masing-masing.
1.      Masalah hak pendidikan wanita sebagai sesuatu yang paling penting.
2.      Masalah hak bekerja wanita berkaitan erat dengan pendidikan dan dianggap sebagai logis konsekuensi dari pendidikan itu.
3.      Masalah hak wanita untuk menikmati hak-hak politik sebagai kesadaran bagi wanita.
4.      Masalah hak wanita dalam kesetaraan dengan laki-laki dalam segala bidang.
Dalam pandangan keluarga, seorang wanita cukup belajar membaca dan menulis agar memungkinkan mereka hafal sedikit Al-Qur'an. [2]
Unsur-unsur kebangkitan wanita masih berada di permulaan. Mereka berasal dari golongan kelas menengah dan kelas bawah atau kelompok miskin yang keduanya terlalu jauh dari perjuangan untuk mendapatkan keuntungan dan manfa’at bagi mereka. Perjuangna wanita untuk mendapatkan hak pendidikan juga berakar pada argument sederhana tetapi sulit untuk menafikkannya.
Pada abad ke-5 M diselenggarakan suatu konsili yang memperbincangkan apakah wanita mempunyai roh atau tidak. Kesimpulan yang diperoleh bahwa wanita tidak mempunyai roh yang suci. Bahkan, pada abad ke-6 M diselenggarakan pertemuan untuk membahas apakah wanita itu manusia atau bukan. Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki. Pandangan tersebut tentunya tidak sejalan dengan petunjuk Al-Qur'an sebagai pedoman umat Islam yang justru menjunjung tinggi wanita.
B.     Asal Kejadian Perempuan
Pandangan Al-Qur'an tentang asal kejadian perempuan, tertuang dalam firman Allah SWT. Q.S. Al Hujarat: 13
 “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.”
Dalam ayat ini menjelaskan tentang kemuliaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, yang dasarnya bukan turunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah SWT. secara jelas dapat dikatakan bahwa perempuan dalam pandangan Al-Qur'an mempunyai kedudukan terhormat.
Ayat lain menjelaskan dalam surat Al Mukmin: 67
 “Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).”
Ayat menjelaskan proses penciptaan manusia yang terdiri dari beberapa tahapan.
a.       Tahapan pertama berupa nuthfah (sperma) hasil pembuahan dari sperma laki-laki dan perempuan, selama 40 hari.
b.      Tahapan kedua, kemudian berubah menjadi ‘alaqah (segumpal darah) dalam waktu yang sama.
c.       Tahapan ketiga, berupa mudhghah (segumpal daging) juga dalam waktu 40 hari.
d.      Lalu tahapan keempat Allah SWT. memberikan bentuk yang lain, yaitu berupa janin (dalam bentuk manusia) dan ditiupkan ruh kedalam janin tersebut. Dalam 9 bulan lahirlah seorang bayi. Dalam kesempatan ini Allah SWT. memberikan kepadanya untuk menjalani kehidupan di alam dunia ini.[3]
Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al Azhar menulis dalam bukunya Mintaujihat al Islam bahwa tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama. Karena itu hukum-hukum syara’ meletakan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (laki-laki) menjual dan membeli, menikahkan dan menikah, melanggar dan di hukum, serta menuntut dan menyaksikan.
Dalam persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa, dijelaskan dalam surat Al Isra’: 70
 “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Dalam konteks kejadian manusia, sebagian ulama berpendapat bahwa seandainya bukan karena hawa, niscaya kita tetap berada di surga. Pandangan ini jelas yaitu bukan saja karena sejak semula Allah SWT. telah menyampaikan rencana-Nya untuk menugaskan manusia menjadi khalifah, tetapi juga karena dari ayat Al-Qur'an ditemukan bahwa godaan dan rayuan itu tidak hanya tertuju pada perempuan (hawa) tetapi juga pada laki-laki, dengan rayuan setan itulah yang menyebabkan mereka di usir dari surga.
Dalam surat Al Baqarah: 36 yang berbunyi:
 “Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari Keadaan semula.”
Demikian kedudukan perempuan dalam Al-Qur'an yang ditempatkan pada tempat yang sewajarnya. Al-Qur'an pun meluruskan segala pandangan salah yang berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadian perempuan.
C.    Hak-Hak Perempuan
Secara umum, surat An Nisa’: 32 menunjukkan hak-hak perempuan:
“(karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan.”
Beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam, diantaranya:
1)      Hak-hak Perempuan di Luar Rumah.
Keberadaan perempuan di dalam dan di luar rumah bermula dari surat Al Ahzab ayat 33:
 “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”
Ayat ini sering dijadikan dasar untuk menghalangi wanita keluar rumah. Dalam karya Ustadz Labib Mz tentang Dialog Wanita dalam Berbagai Masalah dijelaskan bahwa wanita bekerja di luar rumah terbagi menjadi 2 golongan:
1.      Dalam lingkungan keluarga sendiri misalnya membantu pekerjaan suami, berkebun milik suaminya, mengurus kepentingan keluarga, pekerjaan yang semacam itu juga pernah dilakukan oleh Ama binti Abu Bakar As Siddiq r.a dia berkata: “aku membawa makanan untuk suamiku dalam jarak beberapa meter, memberi minum kuda, memberinya makan dan mengisi tempat air”
2.      Wanita bekerja di luar rumah, karena terpaksa dan dalam keadaan darurat, maka dalam keadaan seperti itu, wanita boleh untuk bekerja di luar rumah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.       Tidak boleh menggunakan pakaian yang menampakkan aurat.
b.      Tidak diperbolehkan berdandan yang berlebihan dan menggunakan wangi-wangian.
c.       Tidak berdesak-desakan kaum laki-laki.
Alangkah baiknya apabila seorang wanita yang sudah berumah tangga, bekerja di dalam rumah saja, mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya menjadi anak yang sholeh dan berguna bagi dirinya dan masa depannya.[4]
Selanjutnya, Al Maududi menjelaskan bahwa tempat wanita adalah di rumah, mereka tidak di bebaskan dari pekerjaan luar rumah, kecuali agar mereka selalu berada di rumah dengan tenang dan terhormat.
Pernyataan ini tidak menggunakan kata “darurat”. Persoalannya adalah dalam batasan-batasan apa, bolehkah mereka bekerja?
Muhammad Quthub, salah seorang pemikir Ikhwan al Muslimun menulis, dalam bukunya “Ma’rakat at Taqalid” menjelaskan bahwa ayat ini bukan berarti bahwa wanita tidak boleh bekerja di luar rumah, karena Islam tidak melarang. Islam membenarkan, hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut. Islam membenarkan mereka bekerja. Sebagai darurat dan tidak menjadikan sebagai dasar.
2)      Hak dan Kewajiban Belajar
Dalam Hadits Nabi riwayat Ath Thabrani melalui Ibnu Mas’ud dijelaskan bahwa “menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan muslimah”.
Wanita adalah saudara kandung pria. Sesuatu yang bermanfaat bagi perkembangan nalar dan intelektual pria juga akan bermanfaat bagi pendidikan dan pengembangan pengetahuan wanita. Kebutuhan pengajaran dan pendidikan tidak berbeda kecuali kadar penyampaian di dalam mendidik. Peran besar seorang Ibu adalah sebagai guru pertama anak-anaknya Manager Perencana (al Mudirah al Mudabbirah) untuk aktifitas keluarga secara utuh.[5]
Syekh Muhammad Abduh menulis bahwa “ kaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum akidah kelihatannya amat terbatas, sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak, merupakan persoalan duniawi (sesuai dengan perbedaan waktu, tempat, dan kondisi) jauh lebih banyak dari pada soal akidah dan keagamaan. Demikian beberapa hal yang menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang pendidikan.”
3)      Peranan Istri dalam Rumah Tangga
Hak dan kewajiban suami istri diantaranya:
a.       Ada perbedaan pria dan wanita, bukan hanya pada bentuk fisik mereka, tetapi juga dalam bidang psikis, perbedaan tersebut berkaitan juga dengan pembagian kerja, hak dan kewajiban.
b.      Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah satu pihak bebas dari tuntutan minimal dari segi moral untuk membantu pasangannya.
Dalam surat Al Baqarah: 228:
 “Bagi lelaki (suami) terhadap mereka (istri) satu derajat (lebih tinggi)”
Derajat lebih tinggi yang di maksud dalam ayat di atas di jelaskan oleh surat An Nisa’ ayat 34, yang menyatakan bahwa “laki-laki (suami) adalah pemimpin terhadap perempuan (istri)”.
Hak kepemimpinan menurut Al-Qur’an dibebankan pada suami, perbedaan itu disebabkan karena adanya 2 hal:
a.       Adanya sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika di banding istri.
b.      Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota keluarganya.
Para ilmuan juga berpendapat bahwa sebagian besar kompleks kejiwaan yang dialami oleh seorang dewasa adalah akibat dampak negatif dari perlakuan yang dialaminya waktu kecil. Oleh sebab itu, dalam rumah tangga diperlukan seorang penaggung jawab utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak, khususnya pada usia dini. Di sini pula agama menoleh kepada seorang Ibu, yang memiliki keistimewaan yang tidak dimilki sang Ayah, bahkan tidak dimiliki oleh wanita-wanita selain Ibu kandung.
4)      Hak-hak dalam Bidang Politik.
Ada 3 alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan keterlibatan mereka.
a.       Ayat (surat An Nisa’: 34)
 “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”
b.      Hadits yang menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas di banding dengan laki-laki.
c.       Hadits yang menyatakan:
“Tidak akan bahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”
Ayat dan hadits-hadits di atas mengisyaratkan bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum laki-laki dan menegaskan bahwa wanita harus mengakui kepemimpinan lelaki.
Salah satu ayat yang berkaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan terdapat dalam surat At Taubah: 71:
 “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi awliya[6] bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
D.    Perintis Kebangkitan Wanita dalam Sejarah Pendidikan di Indonesia

1.      Pendidikan Wanita di Indonesia
Apabila kita telusuri perjalanan sejarah akan kita dapati bahwa wanita pada masa lalu tidak diberikan peranan yang sangat berarti untuk berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Namun waktu pun terus berjalan seiring dengan perkembangan zaman, peran wanita telah mulai terasa di tengah-tengah masyarakat sekarang ini. Tentunya hal tersebut dipengaruhi oleh faktor perkembangan sains, teknologi dan modernisasi gerak dan aktifitas kaum wanita.
Dengan pendidikan wanita, diharapkan dapat menjunjung kaum wanita dari kesengsaraan, penghinaan dan kebodohan sehingga datang masa terang bagi kaum wanita Indonesia dengan timbulnya perintis-perintis, diantaranya:
a.       R.A Kartini pada tahun 1903 membuka sekolah gratis dengan nama “Jepara”.
b.      Rd. Dewi Sartika, terkenal dengan terutama dikalangan wanita Sunda, pada tahun 1904 mendirikan sekolah di Bandung yang diberi nama Sekolah Istri.
c.       Rohana Kuddus, pelopor Emansipasi Wanita di pulau Sumatera. Pada tahun 1905, ia mendirikan Sekolah Gadis di Kota Gedang yang diberi nama “Kerajinan Amai Setia”
d.      Rahmah El-Yunusiah, pelopor Bidang Pendidikan Bangsa, mendirikan Sekolah Diniah Puteri di Kota Padang Panjang (1915) dan berhasil mendirikan Perguruan Tinggi Wanita Islam.

2.      Tokoh-tokoh Pendidikan Wanita Indonesia .

a.       R.A Kartini (1879-1904 M)

Latar belakang keluarga pendidikan R.A Kartini.
Lahir di Jepara, pada tanggal 21 April 1879, Ayahnya bernama R.M. Adipati Sosroningratseorang Bupati Jepara. Ia hanya sempat bersekolah sampai Sekolah Dasar. Keinginan untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi tidak diizinkan oleh orang tuanya. Karena sesuai adat, setelah tamat SD wanita dipingit sampai tiba saatnya untuk menikah. Kartini banyak menulis surat kepada teman-temannya orang Belanda, dalam surat itu dia mengungkapkan cita-cita untuk memajukan wanita Indonesia. Kartini sendiri ingin memasuki Sekolah Guru di negeri Belanda agar kelak dapat menjadi seorang pendidik.
Usaha untuk memperoleh beasiswa dari Pemerintah Belanda berhasil diraih, tetapi pada saat itu pula orang tuanya menjodohkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang pada tahun 1902. Namun sebelum itu ia berhasil mendirikan sekolah untuk anak gadis di Jepara. Diantaranya ia mendidik pelajaran menjahit, menyulam, memasak dan lain-lain, tanpa dipungut bayaran, usahanya pun ditiru di kota-kota lain seperti Semarang, Surabaya, Malang, Yogyakarta, Cirebon dan lain-lain.
Kartini tidak sempat mengenyam hasil usahanya ia meninggal dunia di usia muda, pada tanggal 17 September 1904, sewaktu melahirkan putra pertama, surat-suratnya kemudian dikumpulkan dan dibukukan yang diberi judul door duisternis tot licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) dan dikenanglah oleh bangsa Indonesia pada hari kelahirannya dengan peringatan Hari Kartini.
b.      Raden Dewi Sartika
Lahir di Cicalengka Jawa Barat pada tanggal 4 Desember 1994. Ayahnya bernama Raden Somanagara, selama tinggal di Bandung, ia berjuang untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak wanita agar memperoleh ilmu pengetahuan pada tahun 1904 ia mendirikan Sekolah Istri dan mengajarkan tentang membaca, menulis, menjahit, merenda dan menyulam. Pada tahun 1910, nama sekolah itu diganti menjadi “Sekolah Keutamaan Istri”. Sekolah ini menjadi daya tarik kota lain diantaranya Garut, Tasikmalaya dan Purwakarta, dan mendapat perhatian dari Pejabat Pemerintah, dan dihadiri bintang perak sebagai penghargaan atas jasa-jasa Dewi Sartika. Tak luput dari semua itu, sang suami pun Raden Kanduruan Agah Suriawinata sangat mendukung. Pada tahun 1929, sekolah ini memiliki gedung sendiri dan diganti namanya menjadi “Sekolah Raden Dewi”.
Pada masa perang kemerdekaan, Kota Bandung di duduki oleh Belanda, Raden Dewi Sartika mengungsi ke Cineam. Ia meninggal dunia pada tanggal 11 September 1947, makamnya kemudian dipindahkan di Bandung.

















BAB III
KESIMPULAN

Kalau kita cermati, secara beragam tuntutan yang menghendaki kesetaraan laki-laki dan wanita (gender equality) berangkat dari realitas bahwa:
Pertama secara demografis jumlah wanita hampir semua negara lebih banyak dibanding laki-laki.
Kedua, relasi laki-laki dan wanita cenderung bias menjadikan wanita sebagai makhluk kedua, baik secara ekonomi, sosial maupun teologis.
Ketiga, kerja-kerja domestik wanita belum mendapat penghargaan yang layak, termasuk dari suami sendiri, image tradisional yang melembaga adalah, disamping kerja-kerja tersebut yang tidak bernilai ekonomis, juga karena anggapan bahwa kerja semacam itu tidak mengisyaratkan profesionalisme. Akibatnya banyak ibu rumah tangga yang merasa malu dengan statusnya. Sebaliknya tidak jarang kehadiran wanita di sekor-sekor pekerjaan publik, membawa akibat yang justru lebih serius dari nilai pekerjaan yang dikehendaki.
Keempat, diakui atau tidak tuntutan di atas memiliki benang merah dengan totalitas distorsi yang secara sistematis dilakukan oleh Barat terhadap Islam. Karenanya realita ini membawa masalahnya sendiri dan lebih cenderung tidak tuntas.







DAFTAR PUSTAKA

Dra. Hj. Enung K Rukiati, Dra. Fenti Hikmawati “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia” Pustaka Setia, Bandung, 2006.
Dr. Bermawy Munthe, MA. “Wanita Menurut Najib Mahfudz” Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008.
Ust. Labib Mz “Dialog Wanita dalam Berbagai Masalah” Mitra Jaya, Surabaya, 2009.
Ikah Atikah “Pandai Belajar Pengetahuan Sosial” Regina, Bandung, 2004.
Drs. H. Mahrus As’ad, M.Ag., Drs. A. Wahid Sy, M.Ag. “Memahami Pendidikan Agama Islam” Armico, Bandung, 2004.
Media Pembinaan No.I/XXX April 2003.



[1] Enung K Rukiati “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia” Pustaka Setia, Bandung, 2006 hal 136.
[2] Saniyah Ibrahim Sultan “al-Fatat al Misriyah al-Nahidah” Majalah “al-Nahdah al-Nisaiyah” Mei 1926
[3] Mahrus As’ad “Memahami Pendidikan Agama Islam” Armico, Bandung, 2004, hal. 29
[4] Ust Labib Mz “Dialog Wanita Dalam Berbagai Masalah” Mitra Jaya, Surabaya, 2009, hal. 107
[5] Menjelaskan tentang Kesamaan Jenjang Pendidikan Bagi Pria dan Wanita dalam Waktu Pengkhususan Bidang Studi Majalah “al-Nahdah al-Nisaiyah” no. 41 tahun 1926.
[6] Awliya mencakup kerjasama, bantuan dan penguasaan.

1 komentar: