BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perkembangannya, perempuan di indonesia sangatlah memprihatinkan.
Dilihat dari sisi kehidupannya maupun sikap mental.
Di indonesia, banyak sekali permasalahan-permasalahan yang timbul
bersumber dari seorang perempuan. Mengapa demikian? Karena sejak zaman dahulu
hingga sekarang emansipasi perempuan dalam kehidupan kurang adanya suatu
perhatian dari pemerintah.
Pada dasarnya perempuan banyak yang menganggap sebagai orang yang
lemah. Tetapi sesungguhnya perempuan sama saja dengan kaum lelaki. Yang butuh
perhatian dan butuh adanya pendidikan.
Di dalam permasalahan-permasalahan yang muncul dari zaman dahulu
hingga sekarang akan coba saya bahas pada bab ini.
BAB II
PEMBAHASAN
PEREMPUAN DAN ISI PENDIDIKAN ISLAM
DI INDONESIA
A.
Pandangan Terhadap Perempuan Sebelum Turun Al-Qur’an.
Masyarakat pada zaman dahulu di Yunani yang terkenal dengan
pemikiran filsafatnya tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita.
Dikalangan elit wanita di tempatkan (disekap) dalam istana, sedangkan
dikalangan bawah, mereka diperjualbelikan. Bagi yang sudah menikah, sepenuhnya
berada di bawah kuasa suami dan tidak memiliki hak apapun. Pada puncaknya,
wanita diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera
laki-laki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap melanggar kesopanan,
tempat pelacuran menjadi pusat kegiatan politik dan sastra/seni. Patung-patung
telanjang yang terlihat di negara barat adalah bukti atau sisa pandangan itu.
Dalam ajaran Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu. Ayah
berhak menjual anak perempuan kalau tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran
mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan
Adam terusir dari surga.[1]
Dalam pandangan Nasrani ditemukan bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk
menyesatkan manusia.
Tak jauh dari Yunani, di negara Mesir pun perjuangan wanita untuk
mendapatkan hak pendidikan di respon banyak pemikiran Mesir, sesuai dengan
cita-cita kepentingannya. Ada yang
menyebut perjuangan wanita untuk menuntut haknya sebagai satu perang untuk
mendapatkan hak pendidikan dan juga sebagai perlawanan terhadap kebodohan,
perbudakan, pembelengguan terhadap wanita oleh adat istiadat. Kenyataan ini
membuat masa muda wanita tidak mengenal kehidupan dan kalau masuk ke rumah
suaminya tidak akan keluar kecuali setelah mati. Persoalan pembebasan wanita
ditopang dengan persoalan pembebasan tanah air Mesir. Bahkan sebagian bertindak
terlalu jauh dalam merencanakan langkah-langkah pembebasan wanita dan
membuatnya persis seperti mendesain pertumbuhan gerakan-gerakan nasionalis di
Mesir.
Berkaitan dengan isu wanita di Mesir abad ke-20, ada isu penting
yang menjadi perhatian dan kepedulian kelompok-kelompok masyarakat sebagai
pandangan dunia masing-masing.
1.
Masalah
hak pendidikan wanita sebagai sesuatu yang paling penting.
2.
Masalah
hak bekerja wanita berkaitan erat dengan pendidikan dan dianggap sebagai logis
konsekuensi dari pendidikan itu.
3.
Masalah
hak wanita untuk menikmati hak-hak politik sebagai kesadaran bagi wanita.
4.
Masalah
hak wanita dalam kesetaraan dengan laki-laki dalam segala bidang.
Dalam pandangan keluarga, seorang wanita cukup belajar membaca dan
menulis agar memungkinkan mereka hafal sedikit Al-Qur'an. [2]
Unsur-unsur kebangkitan wanita masih berada di permulaan. Mereka
berasal dari golongan kelas menengah dan kelas bawah atau kelompok miskin yang
keduanya terlalu jauh dari perjuangan untuk mendapatkan keuntungan dan manfa’at
bagi mereka. Perjuangna wanita untuk mendapatkan hak pendidikan juga berakar
pada argument sederhana tetapi sulit untuk menafikkannya.
Pada abad ke-5 M diselenggarakan suatu konsili yang
memperbincangkan apakah wanita mempunyai roh atau tidak. Kesimpulan yang
diperoleh bahwa wanita tidak mempunyai roh yang suci. Bahkan, pada abad ke-6 M
diselenggarakan pertemuan untuk membahas apakah wanita itu manusia atau bukan.
Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita adalah manusia yang diciptakan
semata-mata untuk melayani laki-laki. Pandangan tersebut tentunya tidak sejalan
dengan petunjuk Al-Qur'an sebagai pedoman umat Islam yang justru menjunjung
tinggi wanita.
B.
Asal Kejadian Perempuan
Pandangan Al-Qur'an tentang asal kejadian perempuan, tertuang dalam
firman Allah SWT. Q.S. Al Hujarat: 13
“Hai manusia, Sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.”
Dalam ayat ini menjelaskan tentang kemuliaan manusia, baik
laki-laki maupun perempuan, yang dasarnya bukan turunan, suku, atau jenis
kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah SWT. secara jelas dapat dikatakan bahwa
perempuan dalam pandangan Al-Qur'an mempunyai kedudukan terhormat.
Ayat lain menjelaskan dalam surat Al Mukmin: 67
“Dia-lah yang menciptakan
kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah,
kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan
hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup
lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat
demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu
memahami(nya).”
Ayat menjelaskan proses penciptaan manusia yang terdiri dari
beberapa tahapan.
a.
Tahapan
pertama berupa nuthfah (sperma) hasil pembuahan dari sperma laki-laki
dan perempuan, selama 40 hari.
b.
Tahapan
kedua, kemudian berubah menjadi ‘alaqah (segumpal darah) dalam waktu
yang sama.
c.
Tahapan
ketiga, berupa mudhghah (segumpal daging) juga dalam waktu 40 hari.
d.
Lalu
tahapan keempat Allah SWT. memberikan bentuk yang lain, yaitu berupa janin
(dalam bentuk manusia) dan ditiupkan ruh kedalam janin tersebut. Dalam 9 bulan
lahirlah seorang bayi. Dalam kesempatan ini Allah SWT. memberikan kepadanya
untuk menjalani kehidupan di alam dunia ini.[3]
Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al Azhar menulis dalam bukunya Mintaujihat
al Islam bahwa tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat
dikatakan sama. Karena itu hukum-hukum syara’ meletakan keduanya dalam satu
kerangka. Yang ini (laki-laki) menjual dan membeli, menikahkan dan menikah,
melanggar dan di hukum, serta menuntut dan menyaksikan.
Dalam persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa, dijelaskan dalam
surat Al Isra’: 70
“Dan Sesungguhnya telah Kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Dalam konteks kejadian manusia, sebagian ulama berpendapat bahwa
seandainya bukan karena hawa, niscaya kita tetap berada di surga. Pandangan ini
jelas yaitu bukan saja karena sejak semula Allah SWT. telah menyampaikan
rencana-Nya untuk menugaskan manusia menjadi khalifah, tetapi juga karena dari
ayat Al-Qur'an ditemukan bahwa godaan dan rayuan itu tidak hanya tertuju pada
perempuan (hawa) tetapi juga pada laki-laki, dengan rayuan setan itulah
yang menyebabkan mereka di usir dari surga.
Dalam surat Al Baqarah: 36 yang berbunyi:
“Lalu keduanya digelincirkan
oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari Keadaan semula.”
Demikian kedudukan perempuan dalam Al-Qur'an yang ditempatkan pada
tempat yang sewajarnya. Al-Qur'an pun meluruskan segala pandangan salah yang
berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadian perempuan.
C.
Hak-Hak Perempuan
Secara umum, surat An Nisa’: 32 menunjukkan hak-hak perempuan:
“(karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan.”
Beberapa
hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam,
diantaranya:
1)
Hak-hak Perempuan
di Luar Rumah.
Keberadaan
perempuan di dalam dan di luar rumah bermula dari surat Al Ahzab ayat 33:
“dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu.”
Ayat ini sering dijadikan dasar untuk menghalangi wanita keluar
rumah. Dalam karya Ustadz Labib Mz tentang Dialog Wanita dalam Berbagai Masalah
dijelaskan bahwa wanita bekerja di luar rumah terbagi menjadi 2 golongan:
1.
Dalam
lingkungan keluarga sendiri misalnya membantu pekerjaan suami, berkebun milik
suaminya, mengurus kepentingan keluarga, pekerjaan yang semacam itu juga pernah
dilakukan oleh Ama binti Abu Bakar As Siddiq r.a dia berkata: “aku membawa
makanan untuk suamiku dalam jarak beberapa meter, memberi minum kuda,
memberinya makan dan mengisi tempat air”
2.
Wanita
bekerja di luar rumah, karena terpaksa dan dalam keadaan darurat, maka dalam
keadaan seperti itu, wanita boleh untuk bekerja di luar rumah dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.
Tidak
boleh menggunakan pakaian yang menampakkan aurat.
b.
Tidak
diperbolehkan berdandan yang berlebihan dan menggunakan wangi-wangian.
c.
Tidak
berdesak-desakan kaum laki-laki.
Alangkah baiknya apabila seorang wanita yang sudah berumah tangga,
bekerja di dalam rumah saja, mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya
menjadi anak yang sholeh dan berguna bagi dirinya dan masa depannya.[4]
Selanjutnya, Al Maududi menjelaskan bahwa tempat wanita adalah di
rumah, mereka tidak di bebaskan dari pekerjaan luar rumah, kecuali agar mereka
selalu berada di rumah dengan tenang dan terhormat.
Pernyataan ini tidak menggunakan kata “darurat”.
Persoalannya adalah dalam batasan-batasan apa, bolehkah mereka bekerja?
Muhammad Quthub, salah seorang pemikir Ikhwan al Muslimun menulis,
dalam bukunya “Ma’rakat at Taqalid” menjelaskan bahwa ayat ini bukan
berarti bahwa wanita tidak boleh bekerja di luar rumah, karena Islam tidak
melarang. Islam membenarkan, hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut.
Islam membenarkan mereka bekerja. Sebagai darurat dan tidak menjadikan sebagai
dasar.
2)
Hak
dan Kewajiban Belajar
Dalam Hadits Nabi riwayat Ath Thabrani melalui Ibnu Mas’ud
dijelaskan bahwa “menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan
muslimah”.
Wanita adalah saudara kandung pria. Sesuatu yang bermanfaat bagi
perkembangan nalar dan intelektual pria juga akan bermanfaat bagi pendidikan
dan pengembangan pengetahuan wanita. Kebutuhan pengajaran dan pendidikan tidak
berbeda kecuali kadar penyampaian di dalam mendidik. Peran besar seorang Ibu
adalah sebagai guru pertama anak-anaknya Manager Perencana (al
Mudirah al Mudabbirah) untuk aktifitas keluarga secara utuh.[5]
Syekh Muhammad Abduh menulis bahwa “ kaulah kewajiban perempuan
mempelajari hukum-hukum akidah kelihatannya amat terbatas, sesungguhnya
kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga,
pendidikan anak, merupakan persoalan duniawi (sesuai dengan perbedaan waktu,
tempat, dan kondisi) jauh lebih banyak dari pada soal akidah dan keagamaan.
Demikian beberapa hal yang menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang
pendidikan.”
3)
Peranan
Istri dalam Rumah Tangga
Hak dan kewajiban suami istri diantaranya:
a.
Ada
perbedaan pria dan wanita, bukan hanya pada bentuk fisik mereka, tetapi juga
dalam bidang psikis, perbedaan tersebut berkaitan juga dengan pembagian kerja,
hak dan kewajiban.
b.
Pola
pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah satu pihak bebas
dari tuntutan minimal dari segi moral untuk membantu pasangannya.
Dalam
surat Al Baqarah: 228:
“Bagi lelaki (suami)
terhadap mereka (istri) satu derajat (lebih tinggi)”
Derajat lebih tinggi yang di maksud dalam ayat di atas di jelaskan
oleh surat An Nisa’ ayat 34, yang menyatakan bahwa “laki-laki (suami) adalah
pemimpin terhadap perempuan (istri)”.
Hak kepemimpinan menurut Al-Qur’an dibebankan pada suami, perbedaan
itu disebabkan karena adanya 2 hal:
a.
Adanya
sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang menunjang suksesnya kepemimpinan
rumah tangga jika di banding istri.
b.
Adanya
kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota keluarganya.
Para ilmuan juga berpendapat bahwa sebagian besar kompleks kejiwaan
yang dialami oleh seorang dewasa adalah akibat dampak negatif dari perlakuan
yang dialaminya waktu kecil. Oleh sebab itu, dalam rumah tangga diperlukan
seorang penaggung jawab utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak,
khususnya pada usia dini. Di sini pula agama menoleh kepada seorang Ibu, yang
memiliki keistimewaan yang tidak dimilki sang Ayah, bahkan tidak dimiliki oleh
wanita-wanita selain Ibu kandung.
4)
Hak-hak
dalam Bidang Politik.
Ada 3 alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan keterlibatan
mereka.
a.
Ayat
(surat An Nisa’: 34)
“kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita”
b.
Hadits
yang menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas di banding dengan laki-laki.
c.
Hadits
yang menyatakan:
“Tidak akan bahagia satu kaum yang menyerahkan urusan
mereka kepada perempuan”
Ayat dan hadits-hadits di atas mengisyaratkan bahwa
kepemimpinan hanya untuk kaum laki-laki dan menegaskan bahwa wanita harus
mengakui kepemimpinan lelaki.
Salah satu ayat yang berkaitan dengan hak-hak politik
kaum perempuan terdapat dalam surat At Taubah: 71:
“Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi awliya[6]
bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
D.
Perintis Kebangkitan Wanita dalam Sejarah Pendidikan di Indonesia
1.
Pendidikan
Wanita di Indonesia
Apabila kita telusuri perjalanan sejarah akan kita dapati bahwa
wanita pada masa lalu tidak diberikan peranan yang sangat berarti untuk
berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Namun waktu pun terus berjalan seiring
dengan perkembangan zaman, peran wanita telah mulai terasa di tengah-tengah
masyarakat sekarang ini. Tentunya hal tersebut dipengaruhi oleh faktor
perkembangan sains, teknologi dan modernisasi gerak dan aktifitas kaum wanita.
Dengan pendidikan wanita, diharapkan dapat menjunjung kaum wanita
dari kesengsaraan, penghinaan dan kebodohan sehingga datang masa terang bagi
kaum wanita Indonesia dengan timbulnya perintis-perintis, diantaranya:
a.
R.A
Kartini pada tahun 1903 membuka sekolah gratis dengan nama “Jepara”.
b.
Rd.
Dewi Sartika, terkenal dengan terutama dikalangan wanita Sunda, pada tahun 1904
mendirikan sekolah di Bandung yang diberi nama Sekolah Istri.
c.
Rohana
Kuddus, pelopor Emansipasi Wanita di pulau Sumatera. Pada tahun 1905, ia
mendirikan Sekolah Gadis di Kota Gedang yang diberi nama “Kerajinan Amai
Setia”
d.
Rahmah
El-Yunusiah, pelopor Bidang Pendidikan Bangsa, mendirikan Sekolah Diniah Puteri
di Kota Padang Panjang (1915) dan berhasil mendirikan Perguruan Tinggi Wanita
Islam.
2.
Tokoh-tokoh
Pendidikan Wanita Indonesia .
a.
R.A
Kartini (1879-1904 M)
Latar belakang
keluarga pendidikan R.A Kartini.
Lahir di Jepara, pada tanggal 21 April 1879, Ayahnya bernama R.M.
Adipati Sosroningratseorang Bupati Jepara. Ia hanya sempat bersekolah sampai
Sekolah Dasar. Keinginan untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi tidak
diizinkan oleh orang tuanya. Karena sesuai adat, setelah tamat SD wanita
dipingit sampai tiba saatnya untuk menikah. Kartini banyak menulis surat kepada
teman-temannya orang Belanda, dalam surat itu dia mengungkapkan cita-cita untuk
memajukan wanita Indonesia. Kartini sendiri ingin memasuki Sekolah Guru di
negeri Belanda agar kelak dapat menjadi seorang pendidik.
Usaha untuk memperoleh beasiswa dari Pemerintah Belanda berhasil
diraih, tetapi pada saat itu pula orang tuanya menjodohkan dengan Raden Adipati
Joyodiningrat, Bupati Rembang pada tahun 1902. Namun sebelum itu ia berhasil
mendirikan sekolah untuk anak gadis di Jepara. Diantaranya ia mendidik
pelajaran menjahit, menyulam, memasak dan lain-lain, tanpa dipungut bayaran,
usahanya pun ditiru di kota-kota lain seperti Semarang, Surabaya, Malang,
Yogyakarta, Cirebon dan lain-lain.
Kartini tidak sempat mengenyam hasil usahanya ia meninggal dunia di
usia muda, pada tanggal 17 September 1904, sewaktu melahirkan putra pertama,
surat-suratnya kemudian dikumpulkan dan dibukukan yang diberi judul door
duisternis tot licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) dan dikenanglah oleh
bangsa Indonesia pada hari kelahirannya dengan peringatan Hari Kartini.
b.
Raden
Dewi Sartika
Lahir di Cicalengka Jawa Barat pada tanggal 4 Desember 1994.
Ayahnya bernama Raden Somanagara, selama tinggal di Bandung, ia berjuang untuk
mendirikan sekolah bagi anak-anak wanita agar memperoleh ilmu pengetahuan pada
tahun 1904 ia mendirikan Sekolah Istri dan mengajarkan tentang membaca,
menulis, menjahit, merenda dan menyulam. Pada tahun 1910, nama sekolah itu
diganti menjadi “Sekolah Keutamaan Istri”. Sekolah ini menjadi daya
tarik kota lain diantaranya Garut, Tasikmalaya dan Purwakarta, dan mendapat
perhatian dari Pejabat Pemerintah, dan dihadiri bintang perak sebagai
penghargaan atas jasa-jasa Dewi Sartika. Tak luput dari semua itu, sang suami
pun Raden Kanduruan Agah Suriawinata sangat mendukung. Pada tahun 1929, sekolah
ini memiliki gedung sendiri dan diganti namanya menjadi “Sekolah Raden Dewi”.
Pada masa perang kemerdekaan, Kota Bandung di duduki oleh Belanda,
Raden Dewi Sartika mengungsi ke Cineam. Ia meninggal dunia pada tanggal 11
September 1947, makamnya kemudian dipindahkan di Bandung.
BAB III
KESIMPULAN
Kalau kita cermati, secara beragam tuntutan yang menghendaki
kesetaraan laki-laki dan wanita (gender equality) berangkat dari
realitas bahwa:
Pertama secara demografis jumlah wanita hampir semua negara lebih
banyak dibanding laki-laki.
Kedua, relasi laki-laki dan wanita cenderung bias menjadikan wanita
sebagai makhluk kedua, baik secara ekonomi, sosial maupun teologis.
Ketiga, kerja-kerja domestik wanita belum mendapat penghargaan yang
layak, termasuk dari suami sendiri, image tradisional yang melembaga adalah,
disamping kerja-kerja tersebut yang tidak bernilai ekonomis, juga karena
anggapan bahwa kerja semacam itu tidak mengisyaratkan profesionalisme.
Akibatnya banyak ibu rumah tangga yang merasa malu dengan statusnya. Sebaliknya
tidak jarang kehadiran wanita di sekor-sekor pekerjaan publik, membawa akibat
yang justru lebih serius dari nilai pekerjaan yang dikehendaki.
Keempat, diakui atau tidak tuntutan di atas memiliki benang
merah dengan totalitas distorsi yang secara sistematis dilakukan oleh Barat
terhadap Islam. Karenanya realita ini membawa masalahnya sendiri dan lebih
cenderung tidak tuntas.
DAFTAR PUSTAKA
Dra. Hj. Enung K Rukiati, Dra. Fenti Hikmawati “Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia” Pustaka Setia, Bandung, 2006.
Dr. Bermawy Munthe, MA. “Wanita Menurut Najib Mahfudz”
Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008.
Ust. Labib Mz “Dialog Wanita dalam Berbagai Masalah”
Mitra Jaya, Surabaya, 2009.
Ikah Atikah “Pandai Belajar Pengetahuan Sosial”
Regina, Bandung, 2004.
Drs. H. Mahrus As’ad, M.Ag., Drs. A. Wahid Sy, M.Ag. “Memahami
Pendidikan Agama Islam” Armico, Bandung, 2004.
Media Pembinaan No.I/XXX April 2003.
[1]
Enung
K Rukiati “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia” Pustaka Setia,
Bandung, 2006 hal 136.
[2]
Saniyah Ibrahim
Sultan “al-Fatat al Misriyah al-Nahidah” Majalah “al-Nahdah
al-Nisaiyah” Mei 1926
[3]
Mahrus As’ad “Memahami
Pendidikan Agama Islam” Armico, Bandung, 2004, hal. 29
[4] Ust Labib Mz “Dialog
Wanita Dalam Berbagai Masalah” Mitra Jaya, Surabaya, 2009, hal. 107
[5]
Menjelaskan
tentang Kesamaan Jenjang Pendidikan Bagi Pria dan Wanita dalam Waktu
Pengkhususan Bidang Studi Majalah “al-Nahdah al-Nisaiyah” no. 41 tahun 1926.
[6]
Awliya mencakup
kerjasama, bantuan dan penguasaan.
syukron atas penjelasanya. semoga jadi amal jariyah,, izin copas..
BalasHapus