PEREMPUAN DAN ISI PENDIDIKAN ISLAM
DI INDONESIA
A.
Pandangan Terhadap Perempuan Sebelum Turun Al-Qur’an.
Masyarakat pada
zaman dahulu di Yunani yang terkenal dengan pemikiran filsafatnya tidak banyak
membicarakan hak dan kewajiban wanita. Dikalangan elit wanita di tempatkan
(disekap) dalam istana, sedangkan dikalangan bawah, mereka diperjualbelikan.
Bagi yang sudah menikah, sepenuhnya berada di bawah kuasa suami dan tidak
memiliki hak apapun. Pada puncaknya, wanita diberi kebebasan sedemikian rupa
untuk memenuhi kebutuhan dan selera laki-laki. Hubungan seksual yang bebas
tidak dianggap melanggar kesopanan, tempat pelacuran menjadi pusat kegiatan politik
dan sastra/seni. Patung-patung telanjang yang terlihat di negara barat adalah
bukti atau sisa pandangan itu.
Dalam ajaran Yahudi,
martabat wanita sama dengan pembantu. Ayah berhak menjual anak perempuan kalau
tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai
sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga.[1]
Dalam pandangan Nasrani ditemukan bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk
menyesatkan manusia.
Tak jauh dari Yunani,
di negara Mesir pun perjuangan wanita untuk mendapatkan hak pendidikan di
respon banyak pemikiran Mesir, sesuai dengan cita-cita kepentingannya. Ada yang menyebut perjuangan
wanita untuk menuntut haknya sebagai satu perang untuk mendapatkan hak
pendidikan dan juga sebagai perlawanan terhadap kebodohan, perbudakan,
pembelengguan terhadap wanita oleh adat istiadat. Kenyataan ini membuat masa
muda wanita tidak mengenal kehidupan dan kalau masuk ke rumah suaminya tidak
akan keluar kecuali setelah mati. Persoalan pembebasan wanita ditopang dengan
persoalan pembebasan tanah air Mesir. Bahkan sebagian bertindak terlalu jauh
dalam merencanakan langkah-langkah pembebasan wanita dan membuatnya persis
seperti mendesain pertumbuhan gerakan-gerakan nasionalis di Mesir.
Berkaitan dengan
isu wanita di Mesir abad ke-20, ada isu penting yang menjadi perhatian dan
kepedulian kelompok-kelompok masyarakat sebagai pandangan dunia masing-masing.
1.
Masalah
hak pendidikan wanita sebagai sesuatu yang paling penting.
2.
Masalah
hak bekerja wanita berkaitan erat dengan pendidikan dan dianggap sebagai logis
konsekuensi dari pendidikan itu.
3.
Masalah
hak wanita untuk menikmati hak-hak politik sebagai kesadaran bagi wanita.
4.
Masalah
hak wanita dalam kesetaraan dengan laki-laki dalam segala bidang.
Dalam pandangan
keluarga, seorang wanita cukup belajar membaca dan menulis agar memungkinkan
mereka hafal sedikit Al-Qur'an. [2]
Unsur-unsur
kebangkitan wanita masih berada di permulaan. Mereka berasal dari golongan
kelas menengah dan kelas bawah atau kelompok miskin yang keduanya terlalu jauh
dari perjuangan untuk mendapatkan keuntungan dan manfa’at bagi mereka.
Perjuangna wanita untuk mendapatkan hak pendidikan juga berakar pada argument
sederhana tetapi sulit untuk menafikkannya.
Pada abad ke-5
M diselenggarakan suatu konsili yang memperbincangkan apakah wanita mempunyai
roh atau tidak. Kesimpulan yang diperoleh bahwa wanita tidak mempunyai roh yang
suci. Bahkan, pada abad ke-6 M diselenggarakan pertemuan untuk membahas apakah
wanita itu manusia atau bukan. Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita
adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki. Pandangan
tersebut tentunya tidak sejalan dengan petunjuk Al-Qur'an sebagai pedoman umat
Islam yang justru menjunjung tinggi wanita.
B.
Asal Kejadian Perempuan
Pandangan
Al-Qur'an tentang asal kejadian perempuan, tertuang dalam firman Allah SWT.
Q.S. Al Hujarat: 13
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa
- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu.”
Dalam ayat ini
menjelaskan tentang kemuliaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, yang
dasarnya bukan turunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah
SWT. secara jelas dapat dikatakan bahwa perempuan dalam pandangan Al-Qur'an
mempunyai kedudukan terhormat.
Ayat lain
menjelaskan dalam surat Al Mukmin: 67
uqèd Ï%©!$# Nà6s)n=s{ `ÏiB 5>#tè? §NèO `ÏB 7pxÿõÜR §NèO ô`ÏB 7ps)n=tæ §NèO öNä3ã_Ìøä WxøÿÏÛ §NèO (#þqäóè=ö7tFÏ9 öNà2£ä©r& ¢OèO (#qçRqä3tFÏ9 %Y{qãä© 4 Nä3ZÏBur `¨B 4¯ûuqtGã `ÏB ã@ö6s% ( (#þqäóè=ö7tFÏ9ur Wxy_r& wK|¡B öNà6¯=yès9ur cqè=É)÷ès? ÇÏÐÈ
“Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah
kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian
dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya
kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai
tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian)
supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).”
Ayat
menjelaskan proses penciptaan manusia yang terdiri dari beberapa tahapan.
a.
Tahapan
pertama berupa nuthfah (sperma) hasil pembuahan dari sperma laki-laki
dan perempuan, selama 40 hari.
b.
Tahapan
kedua, kemudian berubah menjadi ‘alaqah (segumpal darah) dalam waktu
yang sama.
c.
Tahapan
ketiga, berupa mudhghah (segumpal daging) juga dalam waktu 40 hari.
d.
Lalu
tahapan keempat Allah SWT. memberikan bentuk yang lain, yaitu berupa janin
(dalam bentuk manusia) dan ditiupkan ruh kedalam janin tersebut. Dalam 9 bulan
lahirlah seorang bayi. Dalam kesempatan ini Allah SWT. memberikan kepadanya
untuk menjalani kehidupan di alam dunia ini.[3]
Mahmud Syaltut,
mantan Syekh Al Azhar menulis dalam bukunya Mintaujihat al Islam bahwa
tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama.
Karena itu hukum-hukum syara’ meletakan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini
(laki-laki) menjual dan membeli, menikahkan dan menikah, melanggar dan di
hukum, serta menuntut dan menyaksikan.
Dalam persamaan
unsur kejadian Adam dan Hawa, dijelaskan dalam surat Al Isra’: 70
* ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPy#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur ÆÏiB ÏM»t7Íh©Ü9$# óOßg»uZù=Òsùur 4n?tã 9ÏV2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxÅÒøÿs? ÇÐÉÈ
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki
dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Dalam konteks
kejadian manusia, sebagian ulama berpendapat bahwa seandainya bukan karena
hawa, niscaya kita tetap berada di surga. Pandangan ini jelas yaitu bukan saja
karena sejak semula Allah SWT. telah menyampaikan rencana-Nya untuk menugaskan
manusia menjadi khalifah, tetapi juga karena dari ayat Al-Qur'an ditemukan
bahwa godaan dan rayuan itu tidak hanya tertuju pada perempuan (hawa)
tetapi juga pada laki-laki, dengan rayuan setan itulah yang menyebabkan mereka
di usir dari surga.
Dalam surat Al
Baqarah: 36 yang berbunyi:
$yJßg©9yr'sù ß`»sÜø¤±9$# $pk÷]tã $yJßgy_t÷zr'sù $£JÏB $tR%x. ÏmÏù (
“Lalu
keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari Keadaan
semula.”
Demikian
kedudukan perempuan dalam Al-Qur'an yang ditempatkan pada tempat yang
sewajarnya. Al-Qur'an pun meluruskan segala pandangan salah yang berkaitan
dengan kedudukan dan asal kejadian perempuan.
C.
Hak-Hak Perempuan
Secara umum,
surat An Nisa’: 32 menunjukkan hak-hak perempuan:
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4
“(karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan.”
Beberapa hak yang dimiliki oleh kaum
perempuan menurut pandangan ajaran Islam, diantaranya:
1)
Hak-hak Perempuan
di Luar Rumah.
Keberadaan perempuan di dalam dan di luar
rumah bermula dari surat Al Ahzab ayat 33:
tbös%ur Îû £`ä3Ï?qãç/ wur Æô_§y9s? yly9s? Ïp¨Î=Îg»yfø9$# 4n<rW{$# (
“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu.”
Ayat ini sering
dijadikan dasar untuk menghalangi wanita keluar rumah. Dalam karya Ustadz Labib
Mz tentang Dialog Wanita dalam Berbagai Masalah dijelaskan bahwa wanita bekerja
di luar rumah terbagi menjadi 2 golongan:
1.
Dalam
lingkungan keluarga sendiri misalnya membantu pekerjaan suami, berkebun milik
suaminya, mengurus kepentingan keluarga, pekerjaan yang semacam itu juga pernah
dilakukan oleh Ama binti Abu Bakar As Siddiq r.a dia berkata: “aku membawa
makanan untuk suamiku dalam jarak beberapa meter, memberi minum kuda,
memberinya makan dan mengisi tempat air”
2.
Wanita
bekerja di luar rumah, karena terpaksa dan dalam keadaan darurat, maka dalam
keadaan seperti itu, wanita boleh untuk bekerja di luar rumah dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a.
Tidak
boleh menggunakan pakaian yang menampakkan aurat.
b.
Tidak
diperbolehkan berdandan yang berlebihan dan menggunakan wangi-wangian.
c.
Tidak
berdesak-desakan kaum laki-laki.
Alangkah
baiknya apabila seorang wanita yang sudah berumah tangga, bekerja di dalam
rumah saja, mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya menjadi anak yang
sholeh dan berguna bagi dirinya dan masa depannya.[4]
Selanjutnya, Al
Maududi menjelaskan bahwa tempat wanita adalah di rumah, mereka tidak di bebaskan
dari pekerjaan luar rumah, kecuali agar mereka selalu berada di rumah dengan
tenang dan terhormat.
Pernyataan ini
tidak menggunakan kata “darurat”. Persoalannya adalah dalam
batasan-batasan apa, bolehkah mereka bekerja?
Muhammad Quthub,
salah seorang pemikir Ikhwan al Muslimun menulis, dalam bukunya “Ma’rakat at
Taqalid” menjelaskan bahwa ayat ini bukan berarti bahwa wanita tidak boleh
bekerja di luar rumah, karena Islam tidak melarang. Islam membenarkan, hanya
saja Islam tidak mendorong hal tersebut. Islam membenarkan mereka bekerja.
Sebagai darurat dan tidak menjadikan sebagai dasar.
2)
Hak
dan Kewajiban Belajar
Dalam Hadits Nabi
riwayat Ath Thabrani melalui Ibnu Mas’ud dijelaskan bahwa “menuntut ilmu
adalah kewajiban setiap muslim dan muslimah”.
Wanita adalah
saudara kandung pria. Sesuatu yang bermanfaat bagi perkembangan nalar dan
intelektual pria juga akan bermanfaat bagi pendidikan dan pengembangan
pengetahuan wanita. Kebutuhan pengajaran dan pendidikan tidak berbeda kecuali
kadar penyampaian di dalam mendidik. Peran besar seorang Ibu adalah sebagai guru
pertama anak-anaknya Manager Perencana (al Mudirah al Mudabbirah)
untuk aktifitas keluarga secara utuh.[5]
Syekh Muhammad Abduh
menulis bahwa “ kaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum akidah
kelihatannya amat terbatas, sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari
hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak, merupakan
persoalan duniawi (sesuai dengan perbedaan waktu, tempat, dan kondisi) jauh
lebih banyak dari pada soal akidah dan keagamaan. Demikian beberapa hal yang
menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang pendidikan.”
3)
Peranan
Istri dalam Rumah Tangga
Hak dan
kewajiban suami istri diantaranya:
a.
Ada
perbedaan pria dan wanita, bukan hanya pada bentuk fisik mereka, tetapi juga
dalam bidang psikis, perbedaan tersebut berkaitan juga dengan pembagian kerja,
hak dan kewajiban.
b.
Pola
pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah satu pihak bebas
dari tuntutan minimal dari segi moral untuk membantu pasangannya.
Dalam surat Al Baqarah: 228:
ÉA$y_Ìh=Ï9ur….. £`Íkön=tã ×py_uy 3 ……..
“Bagi
lelaki (suami) terhadap mereka (istri) satu derajat (lebih tinggi)”
Derajat lebih
tinggi yang di maksud dalam ayat di atas di jelaskan oleh surat An Nisa’ ayat
34, yang menyatakan bahwa “laki-laki (suami) adalah pemimpin terhadap
perempuan (istri)”.
Hak
kepemimpinan menurut Al-Qur’an dibebankan pada suami, perbedaan itu disebabkan
karena adanya 2 hal:
a.
Adanya
sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang menunjang suksesnya kepemimpinan
rumah tangga jika di banding istri.
b.
Adanya
kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota keluarganya.
Para ilmuan
juga berpendapat bahwa sebagian besar kompleks kejiwaan yang dialami oleh
seorang dewasa adalah akibat dampak negatif dari perlakuan yang dialaminya
waktu kecil. Oleh sebab itu, dalam rumah tangga diperlukan seorang penaggung
jawab utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak, khususnya pada usia
dini. Di sini pula agama menoleh kepada seorang Ibu, yang memiliki keistimewaan
yang tidak dimilki sang Ayah, bahkan tidak dimiliki oleh wanita-wanita selain Ibu
kandung.
4)
Hak-hak
dalam Bidang Politik.
Ada 3 alasan
yang sering dikemukakan sebagai larangan keterlibatan mereka.
a.
Ayat
(surat An Nisa’: 34)
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$#
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita”
b.
Hadits
yang menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas di banding dengan laki-laki.
c.
Hadits
yang menyatakan:
لَنْ يَفْلَحَ
قَوْمٌ وَلََّوْ اَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً
“Tidak akan bahagia satu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”
Ayat
dan hadits-hadits di atas mengisyaratkan bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum
laki-laki dan menegaskan bahwa wanita harus mengakui kepemimpinan lelaki.
Salah
satu ayat yang berkaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan terdapat dalam
surat At Taubah: 71:
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 crâßDù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# cqßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# cqè?÷sãur no4qx.¨9$# cqãèÏÜãur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷zy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îÍtã ÒOÅ3ym ÇÐÊÈ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi awliya[6]
bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
D.
Perintis Kebangkitan Wanita dalam Sejarah Pendidikan di Indonesia
1.
Pendidikan
Wanita di Indonesia
Apabila kita
telusuri perjalanan sejarah akan kita dapati bahwa wanita pada masa lalu tidak
diberikan peranan yang sangat berarti untuk berkiprah di tengah-tengah
masyarakat. Namun waktu pun terus berjalan seiring dengan perkembangan zaman,
peran wanita telah mulai terasa di tengah-tengah masyarakat sekarang ini.
Tentunya hal tersebut dipengaruhi oleh faktor perkembangan sains, teknologi dan
modernisasi gerak dan aktifitas kaum wanita.
Dengan
pendidikan wanita, diharapkan dapat menjunjung kaum wanita dari kesengsaraan,
penghinaan dan kebodohan sehingga datang masa terang bagi kaum wanita Indonesia
dengan timbulnya perintis-perintis, diantaranya:
a.
R.A
Kartini pada tahun 1903 membuka sekolah gratis dengan nama “Jepara”.
b.
Rd. Dewi
Sartika, terkenal dengan terutama dikalangan wanita Sunda, pada tahun 1904
mendirikan sekolah di Bandung yang diberi nama Sekolah Istri.
c.
Rohana
Kuddus, pelopor Emansipasi Wanita di pulau Sumatera. Pada tahun 1905, ia
mendirikan Sekolah Gadis di Kota Gedang yang diberi nama “Kerajinan Amai
Setia”
d.
Rahmah
El-Yunusiah, pelopor Bidang Pendidikan Bangsa, mendirikan Sekolah Diniah Puteri
di Kota Padang Panjang (1915) dan berhasil mendirikan Perguruan Tinggi Wanita
Islam.
2.
Tokoh-tokoh
Pendidikan Wanita Indonesia .
a.
R.A
Kartini (1879-1904 M)
Latar belakang keluarga pendidikan R.A Kartini.
Lahir di Jepara,
pada tanggal 21 April 1879, Ayahnya bernama R.M. Adipati Sosroningratseorang
Bupati Jepara. Ia hanya sempat bersekolah sampai Sekolah Dasar. Keinginan untuk
melanjutkan sekolah yang lebih tinggi tidak diizinkan oleh orang tuanya. Karena
sesuai adat, setelah tamat SD wanita dipingit sampai tiba saatnya untuk
menikah. Kartini banyak menulis surat kepada teman-temannya orang Belanda,
dalam surat itu dia mengungkapkan cita-cita untuk memajukan wanita Indonesia.
Kartini sendiri ingin memasuki Sekolah Guru di negeri Belanda agar kelak dapat
menjadi seorang pendidik.
Usaha untuk
memperoleh beasiswa dari Pemerintah Belanda berhasil diraih, tetapi pada saat
itu pula orang tuanya menjodohkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati
Rembang pada tahun 1902. Namun sebelum itu ia berhasil mendirikan sekolah untuk
anak gadis di Jepara. Diantaranya ia mendidik pelajaran menjahit, menyulam,
memasak dan lain-lain, tanpa dipungut bayaran, usahanya pun ditiru di kota-kota
lain seperti Semarang, Surabaya, Malang, Yogyakarta, Cirebon dan lain-lain.
Kartini tidak
sempat mengenyam hasil usahanya ia meninggal dunia di usia muda, pada tanggal
17 September 1904, sewaktu melahirkan putra pertama, surat-suratnya kemudian
dikumpulkan dan dibukukan yang diberi judul door duisternis tot licht (Habis
Gelap Terbitlah Terang) dan dikenanglah oleh bangsa Indonesia pada hari
kelahirannya dengan peringatan Hari Kartini.
b.
Raden
Dewi Sartika
Lahir di Cicalengka
Jawa Barat pada tanggal 4 Desember 1994. Ayahnya bernama Raden Somanagara, selama
tinggal di Bandung, ia berjuang untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak wanita
agar memperoleh ilmu pengetahuan pada tahun 1904 ia mendirikan Sekolah Istri dan
mengajarkan tentang membaca, menulis, menjahit, merenda dan menyulam. Pada
tahun 1910, nama sekolah itu diganti menjadi “Sekolah Keutamaan Istri”.
Sekolah ini menjadi daya tarik kota lain diantaranya Garut, Tasikmalaya dan Purwakarta,
dan mendapat perhatian dari Pejabat Pemerintah, dan dihadiri bintang perak
sebagai penghargaan atas jasa-jasa Dewi Sartika. Tak luput dari semua itu, sang
suami pun Raden Kanduruan Agah Suriawinata sangat mendukung. Pada tahun 1929,
sekolah ini memiliki gedung sendiri dan diganti namanya menjadi “Sekolah
Raden Dewi”.
Pada masa
perang kemerdekaan, Kota Bandung di duduki oleh Belanda, Raden Dewi Sartika mengungsi
ke Cineam. Ia meninggal dunia pada tanggal 11 September 1947, makamnya kemudian
dipindahkan di Bandung.
KESIMPULAN
Kalau kita
cermati, secara beragam tuntutan yang menghendaki kesetaraan laki-laki dan
wanita (gender equality) berangkat dari realitas bahwa:
Pertama secara
demografis jumlah wanita hampir semua negara lebih banyak dibanding laki-laki.
Kedua, relasi
laki-laki dan wanita cenderung bias menjadikan wanita sebagai makhluk kedua,
baik secara ekonomi, sosial maupun teologis.
Ketiga,
kerja-kerja domestik wanita belum mendapat penghargaan yang layak, termasuk
dari suami sendiri, image tradisional yang melembaga adalah, disamping
kerja-kerja tersebut yang tidak bernilai ekonomis, juga karena anggapan bahwa
kerja semacam itu tidak mengisyaratkan profesionalisme. Akibatnya banyak ibu
rumah tangga yang merasa malu dengan statusnya. Sebaliknya tidak jarang
kehadiran wanita di sekor-sekor pekerjaan publik, membawa akibat yang justru
lebih serius dari nilai pekerjaan yang dikehendaki.
Keempat, diakui
atau tidak tuntutan di atas memiliki benang merah dengan totalitas
distorsi yang secara sistematis dilakukan oleh Barat terhadap Islam. Karenanya
realita ini membawa masalahnya sendiri dan lebih cenderung tidak tuntas.
DAFTAR PUSTAKA
Dra. Hj. Enung K Rukiati,
Dra. Fenti Hikmawati “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia” Pustaka
Setia, Bandung, 2006.
Dr. Bermawy Munthe, MA. “Wanita
Menurut Najib Mahfudz” Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2008.
Ust. Labib Mz “Dialog
Wanita dalam Berbagai Masalah” Mitra Jaya, Surabaya, 2009.
Ikah Atikah “Pandai
Belajar Pengetahuan Sosial” Regina, Bandung, 2004.
Drs. H. Mahrus As’ad,
M.Ag., Drs. A. Wahid Sy, M.Ag. “Memahami Pendidikan Agama Islam” Armico,
Bandung, 2004.
Media Pembinaan No.I/XXX April
2003.
[1]
Enung
K Rukiati “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia” Pustaka Setia,
Bandung, 2006 hal 136.
[2]
Saniyah Ibrahim
Sultan “al-Fatat al Misriyah al-Nahidah” Majalah “al-Nahdah
al-Nisaiyah” Mei 1926
[3]
Mahrus As’ad “Memahami
Pendidikan Agama Islam” Armico, Bandung, 2004, hal. 29
[4] Ust Labib Mz “Dialog
Wanita Dalam Berbagai Masalah” Mitra Jaya, Surabaya, 2009, hal. 107
[5]
Menjelaskan
tentang Kesamaan Jenjang Pendidikan Bagi Pria dan Wanita dalam Waktu
Pengkhususan Bidang Studi Majalah “al-Nahdah al-Nisaiyah” no. 41 tahun 1926.
[6]
Awliya mencakup
kerjasama, bantuan dan penguasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar