LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
DIANTARANYA ADALAH PONDOK PESANTREN
A.
Asal-Usul Pondok Pesantren Dan Sejarah Perkembangannya.
Pesantren
dilahirkan atas dasar kewajiban dakwah islamiyah, yakni menyebarkan dan
mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da’i. Pesantren
sendiri menurut pengertian dasarnya adalah “tempat belajar para santri”,
sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang
terbuat dari bambu. Disamping itu, kata pondok juga berasal dari bahasa arab “funduq”
yang berarti hotel atau asrama (zamakhsyari, 1983: 18).
Pengembangan
suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga
pendidikan lanjutan. Namun demikian, faktor guru yang memenuhi persyaratan
keilmuan yang diperlukan sangat menentukan tumbuhnya suatu pesantren. Pada
umunya, berdirinya suatu pesantren ini diawali dari pengakuan masyarakat akan
keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kiai. Karena keinginan
menuntut ilmu dari guru tersebut, masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah
datang kepadanya untuk belajar. Kemudian mereka membangun tempat tinggal yang
sederhana di sekitar tempat tinggal guru tersebut.
B.
Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Mekanisme kerja
pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam pendidikan pada umumnya,
yaitu:
1.
Memakai
sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah
modern sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan kiai.
2.
Kehidupan
di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka praktis bekerja sama
mengatakan problema nonkurikuler mereka.
3.
Para
santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu peroleh gelar ijazah karena
sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri dengan
ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut. Hal itu karena
tujuan utama mereka hanya ingin mencari keridaan Allah SWT. semata.
4.
Sistem
pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, penamaan
rasa percaya diri, dan keberanian hidup.
5.
Alumni
pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka
hamper tidak dapat dikuasai oleh pemerintah. (Amin Rais, 1989: 162).
Sementara itu,
yang menjadi ciri khas pesantren dan sekaligus menunjukkan unsur-unsur
pokoknya, yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu:
1.
Pondok
Merupakan tempat tinggal kiai bersama para santri dan bekerja sama
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, merupakan pembeda dengan lembaga
pendidikan yang berlangsung di masjid atau langgar. Dalam perkembangannya,
pondok lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan
setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok
tersebut.
2.
Masjid
Sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar. Masjid yang merupakan
unsur pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat melakukan
shalat berjamaah tiap waktu shalat, juga berfungsi sebagai tempat belajar
mengajar. Pada sebagian pesantren, masjid juga berfungsi sebagai i’tikaf dan
melaksanakan latihan-latihan atau suluk dan dzikir, maupun amalan-amalan
lainnya dalam kehidupan tarekat dan sufi (Zamakhsyari, 1982: 138).
3.
Santri
Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, biasanya terdiri
dari dua kelompok, yaitu:
1)
Santri
mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok
pesantren.
2)
Santri
kalong ialah santri yang berasal dari daerah sekitar pesantren dan biasanya
mereka menetap dalam pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing setiap
selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
4.
Kiai
Merupakan tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran.
Karena itu, kiai merupakan salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan
suatu pesantren. Gelar kiai diberikan oleh masyarakat kepada orang yang
mempunyai ilmu pengetahuan mendalam tentang agama Islam dan memiliki serta
memimpin pondok pesantren, serta mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para
santri. Dalam perkembangannya, kadang-kadang sebutan kiai juga diberikan kepada
mereka yang mempunyai keahlian yang mendalam di bidang agama Islam, dan tokoh
masyarakat, walaupun tidak memiliki atau memimpin serta memberikan pelajaran di
pesantren.
5.
Kitab-kitab
Islam klasik
Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga
pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik
yang dikarang para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan
agama Islam dan bahasa arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab tentang
berbagai macam ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya,
biasanya diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.
C.
Sistem Pendidikan Dan Pengajaran Pesantren
Pondok
pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu
model sistem pendidikan dengan menggunakan metode pengajaran sorogan dan
wetonan atau bandungan (menurut istilah dari Jawa Barat).
Sorogan disebut juga sebagai cara mengajar per-kepala, yaitu setiap santri
mendapat kesempatan tersendiri untuk memperoleh pelajaran secara langsung dari
kiai. Dengan cara sorogan ini, pelajaran diberikan oleh pembantu kiai yang
disebut badal.
Dengan metode bandungan
atau halaqah dan sering juga wetonan, para santri duduk di
sekitar kiai dengan membentuk lingkaran. Kiai maupun santri dalam halaqah tersebut
memegang kitab masing-masing. Kiai membacakan teks kitab kemudian
menterjemahkannya kata demi kata, dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak
kitab masing-masing dan mendengarkan dengan seksama terjemahan dan
penjelasan-penjelasan kiai, kemudian santri mengulang dan mempelajari kembali
secara sendiri-sendiri (Mahmud Yunus, 1985: 58).
Meskipun
pesantren tidak mengenal evaluasi secara formal, dengan pengjaran secara
halaqah ini, kemampuan para santri dapat diketahui.
D.
Keadaan Pesantren Pada Zaman Penjajahan
Pemerintah
kolonial khususnya Belanda, berusaha menekan dan mendiskreditkan pendidikan
Islam yang dikelola oleh pribumi, tak terkecuali pondok pesantren.
Penyelenggaraan
pendidikan di pesantren menurut pemerintah kolonial Belanda terlalu jelek dan
tidak memungkinkan untuk menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu,
mereka mengambil alternatif kedua, yaitu
mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubungannya dengan lembaga
pendidikan yang telah ada (Karel, 1986:
159).
Antara kedua
sistem pendidikan tersebut terdapat perbedaan yang cukup mencolok, dan bahkan
bisa dikatakan kontradiksi atau bertentangan. Perbedaan-perbedaan tersebut,
yaitu:
1)
Pendidian
yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah Belanda bersifat netral.
2)
Pendidikan
di madrasah dan di pondok pesantren tidak terlalu memikirkan bagimana cara
hidup harmonis di dunia, tetapi menekan kepada bagaimana memperoleh
pengehidupan.
3)
Sekolah-sekolah
yang dikelola Belanda diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok etnis
dalam masyarakat dan untuk mempertahankan perbedaan kelas dalam masyarakat
Indonesia, terutama di kalangan orang jawa.
4)
Sebagian
besar sekolah kolonial diarahkan pada pembentukan kelompok masyarakat etlit
yang biasa dipergunakan untuk mempertahankan supremasi politik dan ekonomi
Belanda di negeri jajahannya. Dengan demikian, sekolah-sekolah ini benar-benar
mencerminkan kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda (Selo, 1981: 278).
Dengan
didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan sebagian bangsa
Indonesia tersebut, terutama bagi golongan priyayi dan pejabat oleh pemerintah
kolonial, semenjak itulah terjadi persaingan antara lembaga pendidikan
pesantren dan lembaga pendidikan
pemerintah.
Persaingan yang
terjadi tersebut bukan hanya dalam segi-segi ideologis dan cita-cita pendidikan
saja, melainkan juga dalam bentuk perlawanan politis dan bahkan secara fisik. Hampir
semua perlawanan fisik (peperangan) melawan pemerintah kolonial Belanda pada
abad ke-19, bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari
pesantren. Perang-perang besar, seperti perang Diponegoro, perang Paderi,
perang Banjar, sampai perlawanan rakyat yang bersifat lokal yang tersebar di
mana-mana, tokoh-tokoh pesantren atau alumni-alumninya memgang pemeran utama (Sartono
Kartidirjo, 1977: 131).
Pada tahun 1882
didirikan Priesterreden (pengadilan agama) oleh pemerintah kolonial.
Tugas-tugasnya adalah mengadakan pengawasan terhadap pendidikan pesantren.
Tidak lama setelah itu, dikeluarkan ordonansi tahun 1905 yang berisi
ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap perguruan yang hanya mengajarkan agama
yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat (Amir Hamzah,
1989: 47).
Sebenarnya
kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan kaum muslimin dari bangsa-bangsa Barat,
telah timbul sejak awal abad ke-18 Masehi, yaitu sejak kekalahan-kekalahan yang
diderita oleh kerajaan Usmani dalam berbagai peperangan melawan bangsa-bangsa Eropa
masa itu. Namun, pendudukan Mesir oleh Napoleon Bonaparte tahun 1798 M dianggap
sebagai tonggak sejarah bagi umat Islam untuk mendapatkan kesadaran akan
kelemahan dan ketertinggalan mereka berhadapan dengan budaya dan peradaban
modern barat. Dengan kesadaran tersebut, timbul berbagai usaha pembaharuan
dalam berbagai aspek kehidupan sosial, budaya dan peradaban umat Islam,
termasuk usaha pembaharuan pendidikan Islam (Tadjab, 1994: 77).
Pada garis
besarnya, ide pembaharuan dalam bidang pendidikan yang berkembang di dunia
Islam bisa digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1)
Pembaharuan
pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di barat, yakni
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan.
2)
Pola
pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pemurnian kembali ajaran
Islam. Usaha pembaharuan pendidikannya harus kembali pada sumber ajaran Islam
yang murni, menurut Al-Qur'an dan As Sunnah yang tidak pernah membedakan antara
agama dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi
tidak terpisah dari Islam. Pendidikan harus mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagaimana dikembangkan oleh dunia barat.
3)
Pola
pembaharuan yang berorientasi pada kekuatan-kekuatan dan latar belakang
historis atau pengembangan sumber daya nasional atau bangsa masing-masing.
Dengan dikembangkannya sistem pendidikan nasionalnya sendiri-sendiri,
diharapkan akan timbul kemajuan bagi bangsa yang bersangkutan.
Tampaknya, ketiga
pandangan tersebut mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan pembaharuan dan
sistem pendidikan Islam di Indonesia menjelang dan awal abad ke-20.
Beberapa pesantren
mulai memperkenalkan sistem madrasah, sebagaimana sistem yang berlaku di
sekolah-sekolah umum, kendati mata pelajarannya masih di tekankan pada pelajara
agama saja. Pada perkembangan berikutnya, madrasah-madrasah mengajarkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan umum.
E.
Pertumbuhan Dan Perkembangan Pesantren Di Zaman Kemerdekaan Dan Pembangunan.
Setelah Indonesia
mencapai kemerdekaannya, pesantren masih mendapatkan tempat di hati masyarakat
Indonesia. Ki Hajar Dewantara, yang dikenal sebagai tokoh Pendidikan Nasional dan
sekaligus sebagai Menteri Pendidikan Dan Pengajaran Dan Kebudayaan R.I yang
pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional
karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia (Alamsyah,
1982: 41).
Pemerintah R.I pun
mengakui bahwa pesantren dan madrasah merupakan dasar dan sumber pendidikan
nasional sehingga harus dikembangkan, diberi bimbingan dan bantuan. Wewenang
dan pengembangan tersebut berada di bawah wewenang Kementrian Agama (Djamil Latif,
1983: 273).
Meskipun
demikian, pesantren juga tidak luput dari berbagai kritik. Hal ini terutama
terjadi di saat-saat menjelang kemerdekaan, ketika kondisi pondok pesantren
telah mencapai titik kritis sebagai lembaga pendidikan tradisional yang
tertutup dan statis. Islam yang diajarkan oleh pondok pesantren pada umumnya
adalah Islam yang mengalami teror dan intimidasi musuh Islam , yakni Islam yang
ritualistik dan sufistik, bahkan mengarah pada feodalisme (Fuad Amsyari, 1993:
111).
Akhir-akhir
ini, pondok pesantren mempunyai kecenderungan baru dalam rangka renovasi
terhadap sistem yang selama ini dipergunakan, yaitu:
a)
Mulai
akrab dengan metodologi ilmiah modern.
b)
Semakin
berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas perkembangan
di luar dirinya.
c)
Diversifikasi
program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun absolut dengan
kiai dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di
luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan
kerja.
d)
Berfungsi
sebagai pusat pengembangan masyarakat (Rusli Karim, 1991: 134).
Kendatipun demikian,
pesantren masih tetap mempertahankan sistem pengajaran tradisional yang menjadi
ciri khasnya. Sistem sorogan tampak dalam berbagai bentuk bimbingan individual,
sedangkan cara bandungan tampak dalam kegiatan ceramah-ceramah umum, yang sekarang
lebih dikenal dengan majlis taklim.
Secra garis
besar, pesantren sekarang dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:
a)
Pesantren
tradisional; pesantren yang masih mempertahankan sistem pengajaran tradisional
dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik yang sering disebut kitab kuning.
b)
Pesantren
modern; pesantren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal
dan sekolah ke dalam pondok pesantren. Semua santri yang masuk pondok terbagi
dalam tingkatan kelas. Pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol, bahkan
ada yang cuma sekedar pengelap, dan berubah menjadi mata pelajaran atau bidang
studi. Begitu juga dengan sistem yang diterapkan seperti cara sorogan dan
bandungan mulai berubah menjadi individual dalam hal belajar dan kuliah secara
umum, atau stadium general (Zuhairini, 1986: 65).
Dalam rangka
menjaga kelangsungan hidup pesantren, pemerintah telah memberikan bimbingan dan
bantuan sebagai motivasi agar tetap berkembang sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan masyarakat dan pembangunan arah pengembangan pesantren
dititikberatkan kepada:
1)
Peningkatan
tujuan intruksional pondok pesantren dalam kerangka pendidikan nasional dan
pengembangan potensinya sebagai lembaga sosial di pedasaan.
2)
Peningkatan
kurikulum dengan metode pendidikan agar efesiensi dan kreatifitas pengembangan
pondok pesantren terarah.
3)
Menggalakkan
pendidikan keterampilan di lingkungan pondok pesantren untuk mengembangkan
potensi pondok pesantren dalam bidang prasarana sosial dan taraf hidup
masyarakat.
4)
Menyempurnakan
bentuk pesantren dengan madrasah menurut surat keputusan bersama tiga Menteri (SKB
T3 Menteri tahun 1975) tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah (Alamsyah,
1982: 80).
Akhir-akhir ini
pondok pesantren mempunyai kecenderungan yang tampakkanya ditujukan untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan yang ada. Kecenderungan tersebut
bukan berarti tanpa masalah, tetapi justru menjadi masalah baru yang harus
dicari alternatif pemecahannya, diantaranya yaitu:
1)
Masalah
integrasi pondok pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional.
2)
Masalah
pengembangan wawasan sosial, budaya, dan masalah ekonomi.
3)
Masalah
pengalaman kekuatan dengan pihak-pihak lain untuk mencari tujuan membentuk
masyarakat ideal yang diinginkan.
4)
Masalah
yang berhubungan dengan keimanan dan keilmuan sepanjang yang dihayati pondok
pesantren.
KESIMPULAN
Pondok
pesantren adalah tempat belajar para santri yang berada di suatu pemondokan
berupa tempat tinggal sederhana.
Unsur-unsur
yang terdapat pada pondok pesantren adalah meliputi pondok, masjid, santri,
kiai dan kitab-kitab isl;am klasik.
Sedangkan
metode yang digunakan dalam sebuah pengajaran di pesantren adalah menggunakan
metode sorogan, bandungan, dan halaqah.
Pondok
pesantren di bagi atas dua kelompok, yaitu pesantren tradisional dan pesantren
modern.
DAFTAR PUSTAKA
Dra. Hj. Enung K. Rukiati, Dra.
Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Pustaka Setia,
Bandung: 2006.
pnya bukunya ga teh ?
BalasHapustrima ksih :)