Selasa, 15 Mei 2012

LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DIANTARANYA ADALAH PONDOK PESANTREN


LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
DIANTARANYA ADALAH PONDOK PESANTREN

A.    Asal-Usul Pondok Pesantren Dan Sejarah Perkembangannya.
Pesantren dilahirkan atas dasar kewajiban dakwah islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da’i. Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah “tempat belajar para santri”, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu, kata pondok juga berasal dari bahasa arab “funduq” yang berarti hotel atau asrama (zamakhsyari, 1983: 18).
Pengembangan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga pendidikan lanjutan. Namun demikian, faktor guru yang memenuhi persyaratan keilmuan yang diperlukan sangat menentukan tumbuhnya suatu pesantren. Pada umunya, berdirinya suatu pesantren ini diawali dari pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kiai. Karena keinginan menuntut ilmu dari guru tersebut, masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah datang kepadanya untuk belajar. Kemudian mereka membangun tempat tinggal yang sederhana di sekitar tempat tinggal guru tersebut.
B.     Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Mekanisme kerja pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang  diterapkan dalam pendidikan pada umumnya, yaitu:
1.      Memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah modern sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan kiai.
2.      Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka praktis bekerja sama mengatakan problema nonkurikuler mereka.
3.      Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu peroleh gelar ijazah karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut. Hal itu karena tujuan utama mereka hanya ingin mencari keridaan Allah SWT. semata.
4.      Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, penamaan rasa percaya diri, dan keberanian hidup.
5.      Alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka hamper tidak dapat dikuasai oleh pemerintah. (Amin Rais, 1989: 162).
Sementara itu, yang menjadi ciri khas pesantren dan sekaligus menunjukkan unsur-unsur pokoknya, yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu:
1.      Pondok
Merupakan tempat tinggal kiai bersama para santri dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan yang berlangsung di masjid atau langgar. Dalam perkembangannya, pondok lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut.
2.      Masjid
Sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar. Masjid yang merupakan unsur pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat melakukan shalat berjamaah tiap waktu shalat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Pada sebagian pesantren, masjid juga berfungsi sebagai i’tikaf dan melaksanakan latihan-latihan atau suluk dan dzikir, maupun amalan-amalan lainnya dalam kehidupan tarekat dan sufi (Zamakhsyari, 1982: 138).
3.      Santri
Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu:
1)      Santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
2)      Santri kalong ialah santri yang berasal dari daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka menetap dalam pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
4.      Kiai
Merupakan tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran. Karena itu, kiai merupakan salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren. Gelar kiai diberikan oleh masyarakat kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan mendalam tentang agama Islam dan memiliki serta memimpin pondok pesantren, serta mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santri. Dalam perkembangannya, kadang-kadang sebutan kiai juga diberikan kepada mereka yang mempunyai keahlian yang mendalam di bidang agama Islam, dan tokoh masyarakat, walaupun tidak memiliki atau memimpin serta memberikan pelajaran di pesantren.
5.      Kitab-kitab Islam klasik
Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab tentang berbagai macam ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.
C.    Sistem Pendidikan Dan Pengajaran Pesantren
Pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan menggunakan metode pengajaran sorogan dan wetonan atau bandungan (menurut istilah dari Jawa Barat).
Sorogan disebut juga sebagai cara mengajar per-kepala, yaitu setiap santri mendapat kesempatan tersendiri untuk memperoleh pelajaran secara langsung dari kiai. Dengan cara sorogan ini, pelajaran diberikan oleh pembantu kiai yang disebut badal.
Dengan metode bandungan atau halaqah dan sering juga wetonan, para santri duduk di sekitar kiai dengan membentuk lingkaran. Kiai maupun santri dalam halaqah tersebut memegang kitab masing-masing. Kiai membacakan teks kitab kemudian menterjemahkannya kata demi kata, dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak kitab masing-masing dan mendengarkan dengan seksama terjemahan dan penjelasan-penjelasan kiai, kemudian santri mengulang dan mempelajari kembali secara sendiri-sendiri (Mahmud Yunus, 1985: 58).
Meskipun pesantren tidak mengenal evaluasi secara formal, dengan pengjaran secara halaqah ini, kemampuan para santri dapat diketahui.
D.    Keadaan Pesantren Pada Zaman Penjajahan
Pemerintah kolonial khususnya Belanda, berusaha menekan dan mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh pribumi, tak terkecuali pondok pesantren.
Penyelenggaraan pendidikan di pesantren menurut pemerintah kolonial Belanda terlalu jelek dan tidak memungkinkan untuk menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu, mereka mengambil alternatif  kedua, yaitu mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubungannya dengan lembaga pendidikan  yang telah ada (Karel, 1986: 159).
Antara kedua sistem pendidikan tersebut terdapat perbedaan yang cukup mencolok, dan bahkan bisa dikatakan kontradiksi atau bertentangan. Perbedaan-perbedaan tersebut, yaitu:
1)      Pendidian yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah Belanda bersifat netral.
2)      Pendidikan di madrasah dan di pondok pesantren tidak terlalu memikirkan bagimana cara hidup harmonis di dunia, tetapi menekan kepada bagaimana memperoleh pengehidupan.
3)      Sekolah-sekolah yang dikelola Belanda diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok etnis dalam masyarakat dan untuk mempertahankan perbedaan kelas dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan orang jawa.
4)      Sebagian besar sekolah kolonial diarahkan pada pembentukan kelompok masyarakat etlit yang biasa dipergunakan untuk mempertahankan supremasi politik dan ekonomi Belanda di negeri jajahannya. Dengan demikian, sekolah-sekolah ini benar-benar mencerminkan kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda (Selo, 1981: 278).
Dengan didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan sebagian bangsa Indonesia tersebut, terutama bagi golongan priyayi dan pejabat oleh pemerintah kolonial, semenjak itulah terjadi persaingan antara lembaga pendidikan pesantren  dan lembaga pendidikan pemerintah.
Persaingan yang terjadi tersebut bukan hanya dalam segi-segi ideologis dan cita-cita pendidikan saja, melainkan juga dalam bentuk perlawanan politis dan bahkan secara fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan) melawan pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19, bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pesantren. Perang-perang besar, seperti perang Diponegoro, perang Paderi, perang Banjar, sampai perlawanan rakyat yang bersifat lokal yang tersebar di mana-mana, tokoh-tokoh pesantren atau alumni-alumninya memgang pemeran utama (Sartono Kartidirjo, 1977: 131).
Pada tahun 1882 didirikan Priesterreden (pengadilan agama) oleh pemerintah kolonial. Tugas-tugasnya adalah mengadakan pengawasan terhadap pendidikan pesantren. Tidak lama setelah itu, dikeluarkan ordonansi tahun 1905 yang berisi ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap perguruan yang hanya mengajarkan agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat (Amir Hamzah, 1989: 47).
Sebenarnya kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan kaum muslimin dari bangsa-bangsa Barat, telah timbul sejak awal abad ke-18 Masehi, yaitu sejak kekalahan-kekalahan yang diderita oleh kerajaan Usmani dalam berbagai peperangan melawan bangsa-bangsa Eropa masa itu. Namun, pendudukan Mesir oleh Napoleon Bonaparte tahun 1798 M dianggap sebagai tonggak sejarah bagi umat Islam untuk mendapatkan kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan mereka berhadapan dengan budaya dan peradaban modern barat. Dengan kesadaran tersebut, timbul berbagai usaha pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, budaya dan peradaban umat Islam, termasuk usaha pembaharuan pendidikan Islam (Tadjab, 1994: 77).
Pada garis besarnya, ide pembaharuan dalam bidang pendidikan yang berkembang di dunia Islam bisa digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1)     Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di barat, yakni mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan.
2)     Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pemurnian kembali ajaran Islam. Usaha pembaharuan pendidikannya harus kembali pada sumber ajaran Islam yang murni, menurut Al-Qur'an dan As Sunnah yang tidak pernah membedakan antara agama dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak terpisah dari Islam. Pendidikan harus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dikembangkan oleh dunia barat.
3)     Pola pembaharuan yang berorientasi pada kekuatan-kekuatan dan latar belakang historis atau pengembangan sumber daya nasional atau bangsa masing-masing. Dengan dikembangkannya sistem pendidikan nasionalnya sendiri-sendiri, diharapkan akan timbul kemajuan bagi bangsa yang bersangkutan.
Tampaknya, ketiga pandangan tersebut mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan pembaharuan dan sistem pendidikan Islam di Indonesia  menjelang dan awal abad ke-20.
Beberapa pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah, sebagaimana sistem yang berlaku di sekolah-sekolah umum, kendati mata pelajarannya masih di tekankan pada pelajara agama saja. Pada perkembangan berikutnya, madrasah-madrasah mengajarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan umum.
E.     Pertumbuhan Dan Perkembangan Pesantren Di Zaman Kemerdekaan Dan Pembangunan.
Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, pesantren masih mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Ki Hajar Dewantara, yang dikenal sebagai tokoh Pendidikan Nasional dan sekaligus sebagai Menteri Pendidikan Dan Pengajaran Dan Kebudayaan R.I yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia (Alamsyah, 1982: 41).
Pemerintah R.I pun mengakui bahwa pesantren dan madrasah merupakan dasar dan sumber pendidikan nasional sehingga harus dikembangkan, diberi bimbingan dan bantuan. Wewenang dan pengembangan tersebut berada di bawah wewenang Kementrian Agama (Djamil Latif, 1983: 273).
Meskipun demikian, pesantren juga tidak luput dari berbagai kritik. Hal ini terutama terjadi di saat-saat menjelang kemerdekaan, ketika kondisi pondok pesantren telah mencapai titik kritis sebagai lembaga pendidikan tradisional yang tertutup dan statis. Islam yang diajarkan oleh pondok pesantren pada umumnya adalah Islam yang mengalami teror dan intimidasi musuh Islam , yakni Islam yang ritualistik dan sufistik, bahkan mengarah pada feodalisme (Fuad Amsyari, 1993: 111).
Akhir-akhir ini, pondok pesantren mempunyai kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan, yaitu:
a)      Mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern.
b)      Semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya.
c)      Diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun absolut dengan kiai dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja.
d)     Berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Rusli Karim, 1991: 134).
Kendatipun demikian, pesantren masih tetap mempertahankan sistem pengajaran tradisional yang menjadi ciri khasnya. Sistem sorogan tampak dalam berbagai bentuk bimbingan individual, sedangkan cara bandungan tampak dalam kegiatan ceramah-ceramah umum, yang sekarang lebih dikenal dengan majlis taklim.
Secra garis besar, pesantren sekarang dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:
a)      Pesantren tradisional; pesantren yang masih mempertahankan sistem pengajaran tradisional dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik yang sering disebut kitab kuning.
b)      Pesantren modern; pesantren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan sekolah ke dalam pondok pesantren. Semua santri yang masuk pondok terbagi dalam tingkatan kelas. Pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol, bahkan ada yang cuma sekedar pengelap, dan berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi. Begitu juga dengan sistem yang diterapkan seperti cara sorogan dan bandungan mulai berubah menjadi individual dalam hal belajar dan kuliah secara umum, atau stadium general (Zuhairini, 1986: 65).

Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup pesantren, pemerintah telah memberikan bimbingan dan bantuan sebagai motivasi agar tetap berkembang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan pembangunan arah pengembangan pesantren dititikberatkan kepada:
1)      Peningkatan tujuan intruksional pondok pesantren dalam kerangka pendidikan nasional dan pengembangan potensinya sebagai lembaga sosial di pedasaan.
2)      Peningkatan kurikulum dengan metode pendidikan agar efesiensi dan kreatifitas pengembangan pondok pesantren terarah.
3)      Menggalakkan pendidikan keterampilan di lingkungan pondok pesantren untuk mengembangkan potensi pondok pesantren dalam bidang prasarana sosial dan taraf hidup masyarakat.
4)      Menyempurnakan bentuk pesantren dengan madrasah menurut surat keputusan bersama tiga Menteri (SKB T3 Menteri tahun 1975) tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah (Alamsyah, 1982: 80).
Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan yang tampakkanya ditujukan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan yang ada. Kecenderungan tersebut bukan berarti tanpa masalah, tetapi justru menjadi masalah baru yang harus dicari alternatif pemecahannya, diantaranya yaitu:
1)      Masalah integrasi pondok pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional.
2)      Masalah pengembangan wawasan sosial, budaya, dan masalah ekonomi.
3)      Masalah pengalaman kekuatan dengan pihak-pihak lain untuk mencari tujuan membentuk masyarakat ideal yang diinginkan.
4)      Masalah yang berhubungan dengan keimanan dan keilmuan sepanjang yang dihayati pondok pesantren.









KESIMPULAN

Pondok pesantren adalah tempat belajar para santri yang berada di suatu pemondokan berupa tempat tinggal sederhana.
Unsur-unsur yang terdapat pada pondok pesantren adalah meliputi pondok, masjid, santri, kiai dan kitab-kitab isl;am klasik.
Sedangkan metode yang digunakan dalam sebuah pengajaran di pesantren adalah menggunakan metode sorogan, bandungan, dan halaqah.
Pondok pesantren di bagi atas dua kelompok, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern.













DAFTAR PUSTAKA

Dra. Hj. Enung K. Rukiati, Dra. Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung: 2006.

1 komentar: