Tokoh-Tokoh Ilmuan Muslim:
1. AL BIRUNI, PENEMU GAYA GRAVITASI
Namanya tak diragukan lagi di pentas sains dan ilmu pengetahuan abad pertengahan. Dunia ilmu pengetahuan mengenalnya sebagai salah seorang putra Islam terbaik dalam bidang filsafat, astronomi, kedokteran, dan fisika. Wawasan pengetahuannya yang demikian luas, menempatkannya sebagai pakar dan ilmuwan Muslim terbesar awal abad pertengahan. Ilmuwan itu tak lain adalah Al Biruni.
Bernama lengkap Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al Biruni, ilmuwan besar ini dilahirkan pada 362 H atau bulan September 973 M, di desa Khath yang merupakan ibukota kerajaan Khawarizm, Turkmenistan (kini kota Kiva, wilayah Uzbekistan). Ia lebih dikenal dengan nama Al Biruni. Nama "Al Biruni" sendiri berarti 'asing', yang dinisbahkan kepada wilayah tempat tanah kelahirannya, yakni Turkmenistan. Kala itu, wilayah ini memang dikhususkan menjadi pemukiman bagi orang-orang asing.
Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, Al Biruni tumbuh dan besar dalam lingkungan yang mencintai ilmu pengetahuan. Meski tak banyak diketahui tentang masa mudanya, termasuk pendidikan formalnya, namun ulama yang tawadlu ini dikenal amat mencintai ilmu dan gemar membaca dan menulis sejak remaja. Tak heran bila kemudian masih di usia muda ia sudah tersohor sebagai seorang ahli di banyak bidang ilmu.
Sebagai ilmuwan ulung, Al Biruni tak henti-hentinya mengais ilmu, termasuk dalam setiap penjelajahannya ke beberapa negeri. Jamil Ahmed dalam Seratus Tokoh Muslim mengungkapkan, penjelajahan tokoh ini pertama kali ke daerah Jurjan, dekat Laut Kaspia (Asia Tengah). Penjelajahan itu sebenarnya tak disengaja.
Alkisah, setelah beberapa lamanya menetap di Jurjan, Al-Biruni memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Namun tak disangkanya, ia menyaksikan tanah kelahirannya itu penuh konflik antar etnis. Kenyataan ini dimanfaatkan oleh Sultan Mahmoud Al-Gezna, yang melakukan invasi dan menaklukkan Jurjan.
Keberhasilan penaklukkan ini membawa AlBiruni melanglang ke India bersama tim ekspedisi Sultan Mahmoud. Di sini, ia banyak menelorkan karya tulis, baik berupa buku maupun artikel ilmiah yang disampaikannya dalam beberapa pertemuan. Selain menghasilkan karya, penjelajahan bersama sang Sultan ini juga menghasilkan dibukanya kawasan India bagian timur ini sebagai basis baru dakwah Islam Al-Biruni.
Dalam rangkaian 'tur' nya di India ini, AlBiruni memanfaatkan waktu luang bagi penelitian sekitar adat istiadat dan perilaku masyarakat setempat. Dari penelitiannya inilah, beberapa karya berbobot lahir. Tak hanya itu, Al-Biruni pula yang pertama memperkenalkan permainan catur 'ala' India ke negeri-negeri Islam, serta menjelaskan problem-problem trigonometri lanjutan dalam karyanya, Tahqiq Al-Hind.
Dalam kaitan ini, ia berkata, "Saya telah menterjemahkan ke dalam bahasa Arab dua karya India, yakni Sankhya, yang mengupas tentang asal-usul dan kualitas benda-benda yang memiliki eksistensi, dan kedua berjudul Patanial (Yoga Sutra), yang berhubungan dengan pembebasan jiwa." Kedua buku India ini juga memuat secara otentik sejarah akurat invasi Sultan Mahmoud ke India.
Kepiawaian dan kecerdasan Al-Biruni merangsang dirinya mendalami sekitar ilmu astronomi. Ia misalnya memberikan perhatian yang besar terhadap kemungkinan gerak bumi mengitari matahari. Sayangnya, bukunya yang membicarakan soal ini hilang. Namun ia berpendapat, sepertipernah ia sampaikan dalam suratnya kepada Ibnu Sina, bahwa gerak eliptis lebih mungkin daripada gerak melingkar pada planet. Al-Biruni konsisten mempertahankan pendapatnya tersebut, dan ternyata di kemudian hari terbukti kebenarannya menurut ilmu astronomi modern.
Prestasi paling menonjol di bidang fisika ilmuwan Muslim yang pertama kali memperkenalkan permainan catur ke negeri-negeri Islam ini adalah tentang penghitungan akurat mengenai timbangan 18 batu. Selain itu, ia juga menemukan konsep bahwa cahaya lebih cepat dari suara. Dalam kaitan ini, Al-Biruni membantah beberapa prinsip fisika Aristotelian seperti tentang gerak gravitasi langit, gerak edar langit, tempat alamiah benda serta masalah kontinuitas dan diskontinuitas materi dan ruang.
Dalam membantah dalil kontinuitas materi yang menyatakan, benda dapat terus-menerus dibagi secara tak terhingga, Al-Biruni menjelaskan bahwa jika dalil itu benar tentu benda yang bergerak cepat tidak akan pernah menyusul benda yang mendahuluinya, namun bergerak lambat.
Kenyataannya, urai Al-Biruni, dalam pengamatan kita, benda yang bergerak cepat dapat menyusul benda yang mendahuluinya seperti bulan yang mendahului matahari karena gerak bulan jauh lebih cepat daripada matahari. Lalu Al-Biruni menjelaskan bahwa alangkah hinanya jika kita menafikan pengamatan atas kenyataan itu.
Sebagai seorang fisikawan, A1-Biruni memberikan sumbangan penting bagi pengukuran jenis berat (specific gravity) berbagai zat dengan hasil perhitungan yang cermat dan akurat. Konsep ini sesuai dengan prinsip dasar yang ia yakini bahwa seluruh benda tertarik oleh gaya gravitasi bumi.
Teori ini merupakan pintu gerbang menuju hukum-hukum Newton 500 tahun kemudian. Al Biruni juga mengajukan hipotesa tentang rotasi bumi di sekeliling sumbunya. Konsep ini lalu dimatangkan dan diformulasikan oleh Galileo Galilei 600 tahun setelah wafatnya Al Biruni.
Sebagai sosok yang gemar membaca dan menulis, kepakaran Al-Biruni tak hanya di bidang ilmu eksakta. Ia juga mahir dalam disiplin filsafat. Karena itu, ia dikenal sebagai salah seorang filsuf Muslim yang amat berpengaruh.
Pemikiran filsafat Al-Biruni banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Al-Farabi, A1-Kindi, dan Al-Mas'udi (w. 956 M). Hidup sezaman dengan filsuf besar dan pakar kedokteran Muslim, Ibnu Sina, Al-Biruni banyak berdiskusi dengan Ibnu Sina, baik secara langsung maupun melalui surat menyurat. Keduanya tak jarang terlibat debat sekitar pemikiran filsafat.
Ia misalnya menentang aliran paripatetik yang dianut oleh Ibnu Sina dalam banyak aspek. AlBiruni memperlihatkan ketidaktergantungan yang agak besar terhadap filsafat Aristoteles dan kritis terhadap beberapa hal dalam -fisika paripatetik, seperti dalam masalah gerak dan tempat.
Semua yang dilakukannya itu selalu ia landaskan pada prinsip-prinsip Islam, serta meletakkan sains sebagai sarana untuk menyingkap rahasia alam. Hasil eksperimen dan penelitiannya selalu bermuara pada pengakuan keberadaan Sang Pencipta (Allah).
Ketika seorang ilmuwan, kata Al-Biruni, akan memutuskan untuk membedakan kebenaran dan kepalsuan, dia harus menyelidiki dan mempelajari alam. Kalau pun ia tidak membutuhkan hal ini, maka ia perlu berpikir tentang hukum alam yang mengatur cara-cara kerja alam semesta. Ini akan dapat mengarahkannya untuk mengetahui kebenaran dan membuka jalan baginya untuk mengetahui Wujud' yang mengaturnya.
Dalam bukunya, A1-Jamahir, Al-Biruni juga menegaskan, "penglihatan menghubungkan apa yang kita lihat dengan tanda-tanda kebijaksanaan Allah dalam ciptaan-Nya. Dari penciptaan alam tersebut kita menyimpulkan eksistensi Allah." Prinsip ini dipegang teguh dalam setiap penyelidikannya. Ia tetap kritis dan tidak memutlakkan metodologi dan hasil penelitiannya.
Pandangan Al-Biruni ini berbeda sekali dengan pandangan saintis Barat modern yang melepaskan sains dari agama. Pandangan mereka tentang alam berusaha menafikan keberadaan Allah sebagai pencipta.
Keberhasilan Al-Biruni di bidang sains dan ilmu pengetahuan ini membuat decak kagum kalangan Barat. Max Mayerhof misalnya mengatakan, "Abu Raihan Muhammad ibn Al-Biruni dijuluki Master, dokter, astronom, matematikawan, ahli fisika, ahli geografi, dan sejarahwan. Dia mungkin sosok paling menonjol di seluruh bimasakti para ahli terpelajar sejagat, yang memacu zaman keemasan ilmu pengetahuan Islam." Pengakuan senada juga dilontarkan sejarahwan asal India, Si J.N. Sircar.
Seperti dikutip Jamal Ahmed, ia menulis, "Hanya sedikit yang memahami fisika dan matematika. Di antara yang sedikit itu yang terbesar di Asia adalah Al Biruni, sekaligus filsuf dan ilmuwan. Ia unggul sekaligus di kedua bidang tersebut." Tokoh dan ilmuwan besar ini akhirnya menghadap Sang Ilahi Rabbi pada 1048 M, dalam usia 75 tahun di Ghazna (kini wilayah Afganistan).
Karya - karya Al Biruni
Layaknya para ilmuwan Muslim generasi sebelum dan sesudahnya, Al-Biruni juga dikenal sebagai penulis dan pemikir yang produktif. Menariknya lagi, sebagian karya-karyanya tersebut dihasilkan ketika berpetualang ke beberapa negeri. Menurut sumber-sumber otentik, karya Al-Biruni lebih dari 200 buah, namun hanya sekitar 180 saja yang diketahui dan terlacak.
Beberapa diantara bukunya terbilang sebagai karya monumental. Seperti buku Al-Atsarul Baqiyah Qurunil Khaliyah(Peninggalan Bangsabangsa Kuno) yang ditulisnya pada 998 M ketika ia merantau ke Jurjan, daerah tenggara Laut Kaspia. Dalam karyanya tersebut, Al-Biruni antara lain mengupas sekitar upacara-upacara ritual, pesta, dan festival bangsa-bangsa kuno.
Masih dalam lingkup yang sama, Al-Biruni tak menyia-nyiakan kesempatan beberapa ekspedisi militer ke India bersama Sultan Mahmoud Gezna. Ia pergunakan lawatannya tersebut dengan melakukan penelitian seputar adat istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat India. Selain itu, ia juga belajar filsafat Hindu pada sarjana setempat.
Jerih payahnya inilah menghasilkan karya besar berjudul Tarikhul Al Hindy (Sejarah India) tahun 1030 M. Intelektual Iran, Sayyed Hossein Nasr, dalam Science and Civilization in Islam (1968), menyatakan, buku ini merupakan uraian paling lengkap dan terbaik mengenai agama Hindu, sains dan adat istiadat India.
A1-Biruni, dalam karyanya ini antara lain menulis analisis menarik, bahwa pada awalnya manusia mempunyai keyakinan monoteisme, penuh kebaikan dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tapi lantaran nafsu murka telah membawa mereka pada perbedaan agama, filsafat dan politik, sehingga mereka menyimpang dari monoteisme ini. Ia juga membahas tentang geografi India. A1-Biruni juga berpendapat, lembah Sungai Hindus dan India, mulanya terbenam dalam laut, namun perlahan menjadi penuh endapan yang dibawa air sungai.
Tak hanya menulis buku tentang sosiologi, Al Biruni juga banyak menulis tentang ilmu-ilmu eksakta seperti geometri, aritmatika, astronomi dan astrologi. Karya di bidang ini misalnya Tafhim li Awall Sina'atut Tanjim. Khusus disiplin ilmu astronomi, ia menulis buku berjudul Al Qanun Al Mas'udi fil Hai'ah wan Nujum (Teori tentang Perbintangan) yang dipersembahkan untuk Sultan Mas'ud dari Ghazna (tempat beliau menutup umur).
Buku ini bermula dari percakapan antar Sultan Mas'ud dan Al Biruni mengenai perbedaan malam dan mengapa terjadi. Al Biruni pun kemudian mengamati pergerakan bintang, planet dan referensi buku - buku yang telah ada dan ditulislah hasilnya dalam buku tersebut.
Di Barat, buku ini memperoleh penghargaan dan menjadi bacaan standar di berbagai universitas Barat selama beberapa abad. Ilmuwan Muslim ini juga dikenal sebagai pengamat pertambangan. Untuk masalah ini, ia menulis buku Al Jamahir fi Ma'rifati I Jawahir tahun 1041 M.
Karya lainnya, di bidang kedokteran berjudulAs-Saydala fit Thib (Farmasi dalam ilmu Kedokteran), Al Maqallid 'Ilm Al-Hai'ah(tentang perbintangan), serta buku Kitab Al Kusufwal Khusuf Ala Khayal Al-Hunud (Kitab tentang Pandangan Orangorang India terhadap Peristiwa Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan).
2. AL BUZJANI, PELETAK DASAR RUMUS TRIGONOMETRI
Masa kejayaan Islam tempo dulu antara lain ditandai dengan maraknya tradisi ilmu pengetahuan. Para sarjana Muslim, khususnya yang berada di Baghdad dan Andalusia, memainkan peran cukup penting bagi tumbuh berkembangnya ilmu kedokteran, matematika, kimia, dan bidang ilmu lain yang sekarang berkembang. Selama berabad-abad sarjana-sarjana Muslim tadi menuangkan buah pikiran dan hasil penelitian ke dalam kitab-kitab pengetahuan untuk kemudian menjadi rujukan ilmu pengetahuan modern. Kini, dunia telah dapat mengambil manfaat dari pengembangan ilmu yang dirintis oleh para ilmuwan serta sarjana Muslim.
Abul Wafa Muhammad Ibn Muhammad Ibn Yahya Ibn Ismail al Buzjani, merupakan satu di antara sekian banyak ilmuwan Muslim yang turut mewarnai khazanah pengetahuan masa lalu. Dia tercatat sebagai seorang ahli di bidang ilmu matematika dan astronomi. Kota kecil bernama Buzjan, Nishapur, adalah tempat kelahiran ilmuwan besar ini, tepatnya tahun 940 M. Sejak masih kecil, kecerdasannya sudah mulai nampak dan hal tersebut ditunjang dengan minatnya yang besar di bidang ilmu alam. Masa sekolahnya dihabiskan di kota kelahirannya itu.
Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah, Abul Wafa lantas memutuskan untuk meneruskan ke jenjang lebih tinggi di ibukota Baghdad tahun 959 M. Di sana, dia pun belajar ilmu matematika. Sejarah mencatat, di kota inilah Abul Wafa kemudian menghabiskan masa hidupnya. Tradisi dan iklim keilmuan Baghdad benar-benar amat kondusif bagi perkembangan pemikiran Abul Wafa. Berkat bimbingan sejumlah ilmuwan terkemuka masa itu, tak berapa lama dia pun menjelma menjadi seorang pemuda yang memiliki otak cemerlang.
Dia pun lantas banyak membantu para ilmuwan serta pula secara pribadi mengembangkan beberapa teori penting di bidang matematika, utamanya geometri dan trigonometri. Di bidang ilmu geometri, Abul Wafa memberikan kontribusi signifikan bagipemecahan soal-soal geometri dengan menggunakan kompas; konstruksi ekuivalen untuk semua bidang, polyhedral umum; konstruksi hexagon setengah sisi dari segitiga sama kaki; konstruksi parabola dari titik dan solusi geometri bagi persamaan.
Konstruksi bangunan trigonometri versi Abul Wafa hingga kini diakui sangat besar kemanfaatannya. Dia adalah yang pertama menunjukkan adanya teori relatif segitiga parabola. Tak hanya itu, dia juga mengembangkan metode baru tentang konstruksi segi empat serta perbaikan nilai sinus 30 dengan memakai delapan desimal. Abul Wafa pun mengembangkan hubungan sinus dan formula 2 sin2 (a/2) = 1 - cos a dan juga sin a = 2 sin (a/2) cos (a/2).
Di samping itu, Abul Wafa membuat studi khusus menyangkut teori tangen dan tabel penghitungan tangen. Dia memperkenalkan secan dan cosecan untuk pertama kalinya, berhasil mengetahui relasi antara garis-garis trigonometri yang mana berguna untuk memetakannya serta pula meletakkan dasar bagi keberlanjutan studi teori conic. Abul Wafa bukan cuma ahli matematika, namun juga piawai dalam bidang ilmu astronomi. Beberapa tahun dihabiskannya untuk mempelajari perbedaan pergerakan bulan dan menemukan "variasi". Dia pun tercatat sebagai salah satu dari penerjemah bahasa Arab dan komentator karya-karya Yunani.
Di samping itu, Abul Wafa membuat studi khusus menyangkut teori tangen dan tabel penghitungan tangen. Dia memperkenalkan secan dan cosecan untuk pertama kalinya, berhasil mengetahui relasi antara garis-garis trigonometri yang mana berguna untuk memetakannya serta pula meletakkan dasar bagi keberlanjutan studi teori conic. Abul Wafa bukan cuma ahli matematika, namun juga piawai dalam bidang ilmu astronomi. Beberapa tahun dihabiskannya untuk mempelajari perbedaan pergerakan bulan dan menemukan "variasi". Dia pun tercatat sebagai salah satu dari penerjemah bahasa Arab dan komentator karya-karya Yunani.
Banyak buku dan karya ilmiah telah dihasilkannya dan mencakup banyak bidang ilmu. Namun tak banyak karyanya yang tertinggal hingga saat ini. Sejumlah karyanya hilang, sedang yang masih ada, sudah dimodifikasi. Kontribusinya dalam bentuk karya ilmiah antara lain dalam bentuk kitab Ilm al-Hisab (Buku Praktis Aritmatika), Al-Kitab Al-Kamil (Buku Lengkap), dan Kitab al-Handsa (Geometri Terapan). Abul Wafa pun banyak menuangkan karya tulisnya di jurnal ilmiah Euclid, Diophantos dan al-Khawarizmi, tetapi sayangnya banyak yang telah hilang.
Kendati demikian, sumbangsihnya bagi teori trigonometri amatlah signifikan terutama pengembangan pada rumus tangen, penemuan awal terhadap rumus secan dan cosecan. Maka dari itu, sejumlah besar rumus trigomometri tak bisa dilepaskan dari nama Abul Wafa. Seperti disebutkan dalam Alquran maupun hadis, agama Islam menganjurkan kepada umatnya untuk senantiasa belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Inilah yang dihayati oleh sang ilmuwan Muslim, Abul Wafa Muhammad hingga segenap kehidupannya dia abdikan demi kemajuan ilmu. Dia meninggal di Baghdad tahun 997 M.
3. AL FARGHANI, RUJUKAN ASTRONOM EROPA
Astronomi merupakan ilmu yang telah lama menjadi objek kajian umat Islam. Melalui kajian ilmu ini umat Islam mampu mengurai misteri benda-benda langit dan memberikan sumbangan berharga di dalamnya. Tak heran pula jika banyak astronom Muslim dan menyumbangkan pemikirannya dalam karya yang dibukukukan.
Sebagian besar karya mereka pun menjadi rujukan. Tak hanya oleh ilmuwan semasanya yang juga Muslim namun juga oleh ilmuwan non-Muslim. Buku karya mereka telah melintasi batas wilayah. Karya mereka tak hanya dirujuk di negeri asalnya namun juga bangsa-bangsa lainnya, semisal di Eropa.
Salah satu astronom Muslim yang berhasil menorehkan prestasi gemilang itu adalah Abu'l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani. Pria yang karib disapa Al-Farghani ini lahir di Farghana. Ia adalah salah satu astronom yang hidup pada masa pemerintahan khalifah Al-Mamun pada abad kesembilan dan pewaris pemerintahan selanjutnya.
Pada masa itu pemerintah memang memberikan dukungan bagi berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk kajian astronomi. Bahkan khalifah membangun sebuah lembaga kajian yang sering disebut sebagai Akademi Al-Mamun. Al-Farghani merupakan salah satu ilmuwan yang direkrut untuk bergabung di dalam akademi tersebut.
Al-Farghani bersama astronom lainnya telah menggunakan peralatan kerja yang canggih pada masanya. Mereka mampu memanfaatkan fasilitas yang ada, hingga mampu menghitung ukuran bumi, meneropong bintang-bintang dan menerbitkan berbagai laporan ilmiah.
Dan kemudian Al-Farghani pun mampun menuliskan sebuah karya astronomi yang di kemudian hari menjadi rujukan banyak orang. Ia menuliskan Kitab fi al-Harakat al-Samawiya wa Jawami Ilm al-Nujum yang dalam dialihbahasakan menjadi The Elements of Astronomy. Buku ini isinya mengenai gerakan celestial dan kajian atas bintang.
Pada abad kedua belas buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan memberikan pengaruh besar bagi perkembangan astronomi di Eropa sebelum masa Regiomontanus. Al-Farghani memang mengadopsi teori-teori Ptolemaeus namun kemudian ia kembangkan lebih lanjut. Hingga akhirnya ia mampu membentuk teorinya sendiri.
Selain itu ia pun kemudian berhasil menentukan besarnya diameter bumi yang mencapai 6.500 mil. Al-Farggani menjabarkan pula jarak dan diameter planet lainnya. Ini merupakan pencapaian yang sangat luar biasa. Tak heran jika buku karya Al-Farghani tersebut mendapatkan respons yang positif tak hanya oleh kalangan Muslim juga ilmuwan non-Muslim.
Terkenalnya karya Al-Farghani ini disebabkan adanya upaya penerjamahan atas karyanya tersebut. Dua terjemahan The Elements of Astronomy dalam bahasa latin ditulis pada abad kedua belas. Salah satunya ditulis oleh John Seville pada 1135 yang kemudian direvisi oleh Regiomontanus pada 1460-an.
Sedangkan terjemahan lainnya ditulis oleh Gerard Cremona sebelum 1175. Karya selanjutnya disusun oleh Dante yang dilengkapi oleh pemahaman dirinya mengenai astronomi dan ia masukan dalam karyanya, La Vita Nuova. Seorang ilmuwan Yahudi, Jacob Anatoli menerjemahkannya pula ke dalam bahasa Yahudi.
Ini menjadi versi latin ketiga yang dibuat pada 1590. Dan pada 1669 Jacob Golius menerbitkan teks latin yang baru. Bersamaan dengan karya-karya tersebut, banyak ringkasan karya Al-Farghani yang beredar di kalangan saintis dan ini memberikan kontribusi bagi perkembangan pemikiran Al-Farghani di Eropa.
Kelak kemudian hari, The Elements of Astronomy diakui memang sebagai sebuah karya yang sangat berpengaruh. Seorang ilmuwan yang bernama Abd al-Aziz al-Qabisi memberikan komentar atas karya Al-Farghani tersebut, yang kemudian komentar Abd al-Aziz ini tersimpan di Istanbul sebagai manuskrip yang sangat berharga.
Manuskrip lainnya juga banyak bertebaran di berbagi perpustakaan yang ada di Eropa. Ini membuktikan pula bahwa pemikiran Al-Farghani menjadi acuan dalam perkembangan astronomi di Eropa. Aktivitas Al-Farghani tak melulu di bidang astronomi namun ia pun melebarkan aktivitasnya di bidang teknik.
Ini terbukti jika kita mengutip ucapan seorang ilmuwan yang bernama Ibn Tughri Birdi. Ia menyatakan, Al-Farghani pernah ikut dalam melakukan pengawasan pembangunan Great Nilometer, merupakan alat pengukur air, di Fustat atau Kairo Lama.
Bangunan tersebut rampung pada 861 bersamaan dengan meninggalnya Kalifah Al-Mutawwakil yang memerintahkan adanya pembangunan Nilometer tersebut. Tughri menyatakan bahwa semula Al-Farghani memang tak dilibatkan.
Namun ia akhirnya terlibat juga karena harus melanjutkan tugas yang dibebankan kepada putra khalifah yaitu Musa Ibn Shakir, Muhamad dan Ahmad.
Ia harus melakukan pengawasan atas penggalian kanal yang dinamakan Kanal Al-Ja'fari di kota baru Al-Ja'fariyya, yang letaknya berdekatakan dengan Samaran di daerah Tigris. Al-Farghani saat itu memerintahkan penggalian kanal dengan membuat hulu kanal digali lebih dalam dibandingkan bagian lainnya.
Maka tak ada air yang cukup mengalir pada kanal tersebut kecuali pada saat permukaan air Sungai Tigris sedang pasang. Kebijakan Al-Farghani ini kemudian didengar oleh sang khalifah dan membuatnya marah. Namun hitungan Al-Farghani kemudian dibenarkan oleh seorang pakar teknik lainnya yang berpengaruh pula, yaitu Sind Ibn Ali.
Sind membenarkan perhitungan yang dilakukan oleh Al-Farghani. Paling tidak ini membuat khalifah menerima kebijakan tersebut. Dalam bidang teknik, Al-Farghani juga menelurkan karya dalam bentuk buku yaitu Kitab al-Fusul, Ikhtiyar al-Majisti, dan Kitab 'Amal al-Rukhamat. ( fer/berbagai sumber ).
4. AL JAZARI, PENEMU KONSEP ROBOTIKA MODERN
Al Jazari mengembangkan prinsip hidrolik untuk menggerakkan mesin yang kemudian hari dikenal sebagai mesin robot.
”Tak mungkin mengabaikan hasil karya Al-Jazari yang begitu penting. Dalam bukunya, ia begitu detail memaparkan instruksi untuk mendesain, merakit, dan membuat sebuah mesin” (Donald Hill).
Kalimat di atas merupakan komentar Donald Hill, seorang ahli teknik asal Inggris yang tertarik dengan sejarah teknologi, atas buku karya ahli teknik Muslim yang ternama, Al-Jazari. Al Jazari merupakan seorang tokoh besar di bidang mekani dan industri. Lahir dai Al Jazira, yang terletak diantara sisi utara Irak dan timur laut Syiria, tepatnya antara Sungai tigris dan Efrat.Al-Jazari merupakan ahli teknik yang luar biasa pada masanya. Nama lengkapnya adalah Badi Al-Zaman Abullezz Ibn Alrazz Al-Jazari. Dia tinggal di Diyar Bakir, Turki, selama abad kedua belas. Ibnu Ismail Ibnu Al-Razzaz al-Jazari mendapat julukan sebagai Bapak Modern Engineering berkat temuan-temuannya yang banyak mempengaruhi rancangan mesin-mesin modern saat ini, diantaranya combustion engine, crankshaft, suction pump, programmable automation, dan banyak lagi.
Ia dipanggil Al-Jazari karena lahir di Al-Jazira, sebuah wilayah yang terletak di antara Tigris dan Efrat, Irak. Seperti ayahnya ia mengabdi pada raja-raja Urtuq atau Artuqid di Diyar Bakir dari 1174 sampai 1200 sebagai ahli teknik.
Donald Routledge dalam bukunya Studies in Medieval Islamic Technology, mengatakan bahwa hingga zaman modern ini, tidak satupun dari suatu kebudayaan yang dapat menandingi lengkapnya instruksi untuk merancang, memproduksi dan menyusun berbagai mesin sebagaimana yang disusun oleh Al-Jazari. Pada 1206 ia merampungkan sebuah karya dalam bentuk buku yang berkaitan dengan dunia teknik.Beliau mendokumentasikan lebih dari 50 karya temuannya, lengkap dengan rincian gambar-gambarnya dalam buku, “al-Jami Bain al-Ilm Wal ‘Aml al-Nafi Fi Sinat ‘at al-Hiyal” (The Book of Knowledge of Ingenious Mechanical Devices). Bukunya ini berisi tentang teori dan praktik mekanik. Karyanya ini sangat berbeda dengan karya ilmuwan lainnya, karena dengan piawainya Al-Jazari membeberkan secara detail hal yang terkait dengan mekanika. Dan merupakan kontribusi yang sangat berharga dalam sejarah teknik.
Keunggulan buku tersebut mengundang decak kagum dari ahli teknik asal Inggris, Donald Hill (1974). Donald berkomentar bahwa dalam sejarah, begitu pentingnya karya Al-Jazari tersebut. Pasalnya, kata dia, dalam buku Al-Jazari, terdapat instruksi untuk merancang, merakit, dan membuat mesin.
Di tahun yang sama juga 1206, al-Jazari membuat jam gajah yang bekerja dengan tenaga air dan berat benda untuk menggerakkan secara otomatis sistem mekanis, yang dalam interval tertentu akan memberikan suara simbal dan burung berkicau. Prinsip humanoid automation inilah yang mengilhami pengembangan robot masa sekarang. Kini replika jam gajah tersebut disusun kembali oleh London Science Museum, sebagai bentuk penghargaan atas karya besarnya.
Pada acara World of Islam Festival yang diselenggarakan di Inggris pada 1976, banyak orang yang berdecak kagum dengan hasil karya Al-Jazari. Pasalnya, Science Museum merekonstruksi kerja gemilang Al-Jazari, yaitu jam air.
Ketertarikan Donald Hill terhadap karya Al-Jazari membuatnya terdorong untuk menerjemahkan karya Al-Jazari pada 1974, atau enam abad dan enam puluh delapan tahun setelah pengarangnya menyelesaikan karyanya.
Tulisan Al-Jazari juga dianggap unik karena memberikan gambaran yang begitu detail dan jelas. Sebab ahli teknik lainnya lebih banyak mengetahui teori saja atau mereka menyembunyikan pengetahuannya dari orang lain. Bahkan ia pun menggambarkan metode rekonstruksi peralatan yang ia temukan.
Karyanya juga dianggap sebagai sebuah manuskrip terkenal di dunia, yang dianggap sebagai teks penting untuk mempelajari sejarah teknologi. Isinya diilustrasikan dengan miniatur yang menakjubkan. Hasil kerjanya ini kerap menarik perhatian bahkan dari dunia Barat.
Dengan karya gemilangnya, ilmuwan dan ahli teknik Muslim ini telah membawa masyarakat Islam pada abad ke-12 pada kejayaan. Ia hidup dan bekerja di Mesopotamia selama 25 tahun. Ia mengabdi di istana Artuqid, kala itu di bawah naungan Sultan Nasir al-Din Mahmoud.
Al-Jazari memberikan kontribusi yang pentng bagi dunia ilmu pengetahuan dan masyarakat. Mesin pemompa air yang dipaparkan dalam bukunya, menjadi salah satu karya yang inspiratif. Terutama bagi sarjana teknik dari belahan negari Barat.
Jika menilik sejarah, pasokan air untuk minum, keperluan rumah tangga, irigasi dan kepentingan industri merupakan hal vital di negara-negara Muslim. Namun demikian, yang sering menjadi masalah adalah terkait dengan alat yang efektif untuk memompa air dari sumber airnya.
Masyarakat zaman dulu memang telah memanfaatkan sejumlah peralatan untuk mendapatkan air. Yaitu, Shaduf maupun Saqiya. Shaduf dikenal pada masa kuno, baik di Mesir maupun Assyria. Alat ini terdiri dari balok panjang yang ditopang di antara dua pilar dengan balok kayu horizontal.
Sementara Saqiya merupakan mesin bertenaga hewan. Mekanisme sentralnya terdiri dari dua gigi. Tenaga binatang yang digunakan adalah keledai maupun unta dan Saqiya terkenal pada zaman Roma.
Para ilmuwan Muslim melakukan eksplorasi peralatan tersebut untuk mendapatkan hasil yang lebih memuaskan. Al-Jazari merintis jalan ke sana dengan menguraikan mesin yang mampu menghasilkan air dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dengan mesin yang pernah ada sebelumnya.
Al-Jazari, kala itu, memikul tanggung jawab untuk merancang lima mesin pada abad ketiga belas. Dua mesin pertamanya merupakan modifikasi terhadap Shaduf, mesin ketiganya adalah pengembangan dari Saqiya di mana tenaga air menggantikan tenaga binatang.
Satu mesin yang sejenis dengan Saqiya diletakkan di Sungai Yazid di Damaskus dan diperkirakan mampu memasok kebutuhan air di rumah sakit yang berada di dekat sungai tersebut.
Mesin keempat adalah mesin yang menggunakan balok dan tenaga binatang. Balok digerakkan secara naik turun oleh sebuah mekanisme yang melibatkan gigi gerigi dan sebuah engkol.
Mesin itu diketahui merupakan mesin pertama kalinya yang menggunakan engkol sebagai bagian dari sebuah mesin. Di Eropa hal ini baru terjadi pada abad 15. Dan hal itu dianggap sebagai pencapaian yang luar biasa.
Pasalnya, engkol mesin merupakan peralatan mekanis yang penting setelah roda. Ia menghasilkan gerakan berputar yang terus menerus. Pada masa sebelumnya memang telah ditemukan engkol mesin, namun digerakkan dengan tangan. Tetapi, engkol yang terhubung dengan sistem roda di sebuah mesin yang berputar ceritanya lain.
Penemuan engkol mesin sejenis itu oleh sejarawan teknologi dianggap sebagai peralatan mekanik yang paling penting bagi orang-orang Eropa yang hidup pada awal abad kelima belas. Bertrand Gille menyatakan bahwa sistem tersebut sebelumnya tak diketahui dan sangat terbatas penggunaannya.
Pada 1206 engkol mesin yang terhubung dengan sistem rod sepenuhnya dikembangkan pada mesin pemompa air yang dibuat Al-jazari. Ini dilakukan tiga abad sebelum Francesco di Giorgio Martini melakukannya.
Sedangkan mesin kelima, adalah mesin pompa yang digerakkan oleh air yang merupakan peralatan yang memperlihatkan kemajuan lebih radikal. Gerakan roda air yang ada dalam mesin itu menggerakan piston yang saling berhubungan.
Kemudian, silinder piston tersebut terhubung dengan pipa penyedot. Dan pipa penyedot selanjutnya menyedot air dari sumber air dan membagikannya ke sistem pasokan air. Pompa ini merupakan contoh awal dari double-acting principle. Taqi al-Din kemudian menjabarkannya kembali mesin kelima dalam bukunya pada abad keenam belas.
5. AL JAHIZ, PENULIS ENSIKLOPEDIA HEWAN
Al Jahiz ( الجاحظ), nama aslinya Abu Amr Usman bin Bahr al-Kinani al-Fuqaimi al-Bashri, adalah seorang ilmuwan terkenal keturunan Arab Negro dari Timur Afrika, dilahirkan pada lahir di Basra, c. 781 - 868 Desember atau Januari 869 M. Kakek beliau adalah seorang seorang budak Negro (Zanj). Al Jahiz dikenal sebagai penulis untuk :
· Prosa Arab
· Sastra Arab
· Biologi,
· Zoologi,
· Sejarah,
· Filsafat Islam awal,
· Psikologi Islam,
· Teologi (ajaran) Mu'tazilah dan
· Polemik dalam politik-agama.
Kehidupan awal Al Jahiz tidaklah banyak yang diketahui selain daripada informasi mengenai keluarganya yang sangat miskin. Al Jahiz pada awalnya dipekerjakan untuk menjual ikan di sepanjang salah satu kanal air di Basra untuk membantu keluarganya. Namun, meskipun keuangan keluarganya sulit tidak menghentikan semangat Al Jahiz untuk mencari pengetahuan sejak masa mudanya. Cara yang digunakannya untuk mencari Ilmu Pengetahuan diantaranya dengan rajin berkumpul dengan sekelompok pemuda di masjid utama Basra yang biasa mendiskusikan berbagai subyek ilmu pengetahuan. Dia juga rajin mengikuti berbagai kuliah yang dilakukan dari para ahli filologi, leksikografi, dan puisi.
Selama rentang dua puluh lima tahun melanjutkan studinya, Al Jahiz telah memperoleh pengetahuan besar tentang puisi Arab, Filologi Arab, sejarah Arab dan Persia sebelum Islam, dan ia mempelajari Alquran dan Hadis. Ia juga membaca buku-buku diterjemahkan dari para filsafat Yunani dan Helenistik, khususnya Aristoteles. Salah satu keberuntungan Al Jahiz dalam mencari ilmu ialah karena dizaman itu, Khalifah Abbasiyah sedang dalam fase kebangkitan budaya dan revolusi Intelektualitas, sehingga pendidikannya sangat difasilitasidiantaranya dengan banyaknya buku yang tersedia, sehingga belajar segala hal semakin mudah dilakukan.
Karir Al Jahiz
Di Basra, Al-Jahiz menulis artikel tentang institusi kekhalifahan. Hal ini kemudian menjadi awal karirnya sebagai penulis, yang akan menjadi satu-satunya sumber hidupnya. Dikatakan bahwa ibunya pernah menawarkan sebuah nampan penuh dengan buku catatan dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan mencari nafkah dari menulis. Sejak itu, ia telah menulis dua ratus buku sepanjang hidupnya yang membahas berbagai subyek termasuk tata bahasa Arab, zoologi, puisi, leksikografi, dan retorika. Dia menulis sejumlah buku luar biasa, yang dapat bertahan tiga puluh bertahan (ditinjau dari teknologi penulisan dizaman itu, hal ini merupakan sesuatu yang sangat fantastis dizamannya).
Pada tahun 816 M, Al Jahiz pindah ke Baghdad yang dikala itu merupakan ibukota kekhalifahan Islam Arab. hal ini awalnya didasarkan atas kebijaksanaan Khalifah Abbasiyah yang mengumpulkan para ilmuwan dengan mendirikan Rumah Kebijaksanaan sebagai pusat penelitian. Setelah ke Baghdad, bAl Jahiz kemudian pindah ke Samara dengan tujuan untuk mendapatkan pembaca yang lebih banyak dan agar dapat lebih mengembangkan dirinya. Di Kota inilah sejumlah besar buku-bukunya ditulis. Dikatakan bahwa Khalifah al-Ma'mun pernah meminta Al Jahiz untuk mengajar anak-anaknya, tapi kemudian beliau berubah pikiran ketika anak-anaknya takut akan kerusakan yang terjadi pada matanya (جاحظ العينين), dikatakan peristiwa inilah yang melatarbelakangi nama julukannya.
Karya - karya Al Jahiz
Kitab al-Hayawan (Buku tentang Hewan)
Kitab al-Hayawan adalah sebuah ensiklopedia dari tujuh volume dari tulisan bebas, penjelasan puitis dan peribahasa menggambarkan lebih dari 350 jenis binatang. Hal ini dianggap sebagai karya paling penting Al Jahiz.
Dalam Kitab Al Hayawan, al-Jahiz adalah orang pertama yang mengeluarkan ide bahwa habitat hewan mempengaruhi kehidupan dan bentuknya, yang mana dikemudian hari hal ini menjadi teori dasar dari pembentukan Teori Evolusi Darwin 9dan merupakan hal yang tidak dapat dijawab oleh Charles Darwin). Al-Jahiz menganggap bahwa dampak lingkungan berpengaruh terhadap kemungkinan seekor binatang untuk bertahan hidup, dan hal pertama yang dilakukan ialah menggambarkan perjuangan untuk keeksistensiannya dari keberlangsungan seleksi alam semenjak nenek moyang hewan tersebut.Kesimpulan dari teori Al Jahiz tentang perjuangan untuk eksistensi dalam Kitab Al Hayawan telah diringkas sebagai berikut:
"Hewan harus berjuang untuk eksistensinya (jenisnya), untuk sumber daya yang tersisa, untuk menghindari dimakan dan untuk berkembang biak. Faktor lingkungan turut mempengaruhi suatu organisme untuk mengembangkan karakteristik baru untuk memastikan kelangsungan hidup jenisnya akan berubah menjadi spesiaes yang baru. Hewan yang bertahan akan berkembang biak dan mewariskan karakteristik (hasil perjuangan) mereka kepada keturunan. " (Gary Dargan, Intelligent Design, Encounter, ABC)
Al-Jahiz juga yang pertama untuk membahas tentang rantai makanan, dan menulis contoh berikut dari rantai makanan: (Frank N. Egerton, "Sejarah dari Ilmu Ekologi, Bagian 6: Ilmu Bahasa Arab - Asal-Usul dan" Zoologi, Buletin Ecological Society of America, 2002 April: 142-146 [143] )
"Nyamuk akan pergi mencari makanan mereka, yang mereka tahu secara naluri alamiah (insting) bahwa darah adalah hal yang membuat mereka tetap hidup. Begitu mereka melihat gajah, kuda nil atau hewan lain, mereka tahu bahwa kulit telah dibentuk untuk melayani mereka sebagai makanan, dan jatuh di atasnya, mereka menusukan giginya sampai dia yakin bahwa kedalamannya telah cukup untuk menghisap darah. Begitu juga lalat, walaupun mereka hinggap pada berbagai jenis makanan, namaun pada prinsipnya melakukan hal yang sama dengan nyamuk. Dan pada kesimpulannya, semua hewan tidak bisa bertahan tanpa makanan, ada yang dengan berburu hewan dan ada yang diburu. "
Pada abad ke-11, al-Khatib al-Baghdadi menuduh Al-Jahiz telah menjiplak beberapa bagian dari Kitab Hewan karya Aristoteles, (Peters, F. E., Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam , New York University Press, NY, 1968.) tapi para ahli modern telah menemukan bahwa pengaruh Aristoteles sedikit sekali dalam hasil karya Al Jahiz (al-Baghdadi mungkin tidak begitu memahami dengan karya Aristoteles secara mmendalam) pada subjek. (Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam by FE Peters", Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London 34 (1), p.). Secara khusus, bahkan dikatakan bahwa Aristoteles tidak memilki pengaruh apapun dalam teori yang dikemukan Al Jahiz Ide mengenai seleksi alam, determinisme lingkungan dan rantai makanan.
Kitab al-Bukhala (Kitab Misers atau keserakahan & ketamakan)
Kumpulan cerita tentang serakah. Humoris dan menyindir, itu adalah contoh terbaik dari gaya prosa Al-Jahiz '. Kitab ini mencerminkan penelitian mendalam dari seorang manusia psikolog. Jahiz menertawakan guru-guru sekolah, pengemis, penyanyi dan ahli-ahli Taurat untuk perilaku serakah mereka. Banyak cerita dari buku ini yang terus dicetak ulang dalam majalah di seluruh dunia yang berbahasa Arab. Buku ini dianggap sebagai salah satu karya terbaik Al Jahiz.
Kitab al-Bayan wa al-Tabyin (Buku kefasihan dan Penjelasan)
Al Jahiz dianggap sebagai salah satu penulis yang paling terkenal sepanjang masa, karena ia diyakini telah menulis selama hidupnya sekitar 360 buku, dari seluruh lapisan pengetahuan dan hikmat waktunya, al bayan wa tabyeen yang secara harfiah berarti Fasih dan Penjelasan, adalah salah satu karya terakhirnya, di mana ia mendekati berbagai mata pelajaran, seperti pengalaman luar biasa, pidato retoris, pemimpin sektarian, pangeran, serta memberikan perlakuan sinis dan gila dari orang bodoh. Hal ini juga melahirkan sebuah buku di mana ia menyatukan keterampilan dan kefasihan bahasanya , seni keheningan dan seni puisi.
Buku ini dianggap salah satu karya teori sastra dan kritik sastra bahasa Arab paling awal dalam. ( van Gelder, G. J. H. (1982), Beyond the Line: Classical Arabic Literary Critics on the Coherence and Unity of the Poem , Brill Publishers , pp. 1-2, ISBN 9004068546)
Kitab al Jawari wal Moufakharat Ghilman (Kitab puji-pujian dari selir dan kasim)
Dalam bahasa Arab kata jawari adalah jamak dari jariya, berarti seorang hamba perempuan, yang dalam bahasa kita hari ini dikenal dipanggil "selir". Ada dua jenis hamba perempuan: jariya - salah satu yang mengelola rumah tangga dan menjalankan tugas sehari-hari, adalah tipe pertama. Tipe kedua dulu disebut qina (juga dieja qaena). Mereka adalah jariya yang memiliki kemampuan untuk bernyanyi, yang menempatkan dirinya di atas jariya biasa. Seringkali, gadis budak jenis itu mendapatkan banyak uang dan bermetafora menjadi putri-putri mewah dan pedagang kaya. Kata lain dalam judul, ghilman, adalah jamak dari ghoulam kata yang mungkin diterjemahkan kasim, castrato, atau pelayan pria. Bagi kebanyakan ahli kitab puji-pujian pada selir dan kasim adalah buku nakal dari sensualitas, dalam buku ini Al Jahiz menceritakan kita dengan cerita-cerita yang bersifat erotis yang berhubungan dengan persepsi seksualitas pada masanya.
Mufakharat Risalat al-sudan 'ala al-bidan (Keunggulan Si Hitam dari Si Putih)
Al-Jahiz menulis sebagai berikut pada orang kulit hitam:
"Kami (dalam cerita ini ialah Etiopia) telah menaklukkan negeri orang Arab sejauh Mekah dan memerintah mereka yang telah dikalahkan. Kami mengalahkan Dzhu Nowas (Seorang Raja Yahudi Yaman) dan membunuh semua Keluarga Kerajaan, tetapi Anda, Si Putih, tidak pernah menaklukkan negeri kami. Suku kami, Zenghs (Negro dari Pantai Timur Afrika) memberontak empat puluh kali di Eufrat, mendorong penduduk dari rumah mereka dan membuat Oballah mandi darah penting. Si Hitam kuat secara fisik tidak dan tidak ada suku lain yang mengalahkannya. Seorang Hitam bisa mengangkat batu berat dan membawa beban yang lebih besar daripada yang dapat dilakukan oleh beberapa orang Si Putih. Mereka berani, kuat, dan berbagai generasi telah menjadi saksi akan kehebatan dan kurangnya kelemahan mereka. Si Hitam berkata kepada orang Arab, 'Sebuah tanda kebiadaban Anda adalah bahwa ketika Anda kafir Anda menganggap kami sama dengan perempuan ras Anda. Setelah menganut Islam, Anda pikir kebalikannya. Meskipun ini segerombolan padang pasir dengan jumlah laki-laki kami yang menikah dengan wanita Anda dan yang menjadi pemimpin dan membela Anda melawan musuh Anda '".( Yosef AA Ben-Jochannan (1991), African Origins of Major Western Religions , p. 231, 238)
The Essays
Dalam risalah-Nya itu Essay, dia menulis sebuah bab berjudul "Pada" Zanj, di mana Zanj berarti orang kulit hitam, yang ia memuji dan menggunakan determinisme lingkungan untuk menjelaskan mengapa mereka hitam:[17]
"Semua orang setuju bahwa tidak ada orang di bumi yang kemurahan hati adalah sebagai universal juga dikembangkan sebagai Zanj. Orang-orang ini memiliki bakat alami untuk menari mengikuti irama rebana, tanpa perlu mempelajarinya. Tidak ada penyanyi yang lebih baik di mana saja di dunia, tidak ada orang yang lebih halus dan fasih, dan tidak ada orang yang kurang diberikan kepada bahasa menghina ketangguhan. lainnya No bangsa dapat melampaui tubuh mereka dalam kekuatan fisik dan. Salah satu dari mereka akan mengangkat blok besar dan membawa beban berat yang akan melebihi kekuatan Badui sebagian besar atau anggota ras lain.. Mereka berani, energik, dan murah hati, yang merupakan kebajikan bangsawan, dan juga baik-marah dan kecil dengan kecenderungan untuk jahat Mereka selalu ceria, tersenyum, dan tanpa niat jahat, yang tanda karakter yang mulia. "
"Para Zanj mengatakan bahwa Tuhan tidak membuat mereka hitam untuk menjelekkan mereka, melainkan mereka adalah lingkungan yang membuat mereka begitu. Bukti terbaik dari hal ini adalah bahwa ada di antara suku-suku Arab hitam, seperti Bani Sulaim bin Manshur, dan bahwa semua bangsa menetap di Harra, selain Bani Sulaim berwarna hitam. Ini suku mengambil budak dari antara mereka pikiran Ashban untuk ternak dan irigasi untuk pekerjaan manual, tenaga kerja, domestik dan pelayanan, dan istri dari antara Bizantium; dan namun memakan waktu kurang dari tiga generasi untuk Harra untuk memberi mereka semua kulit dari Bani Sulaim. Harra ini adalah seperti bahwa rusa, burung unta, serangga, serigala, rubah, domba, keledai, kuda dan burung yang tinggal di sana semua hitam dan. Putih hitam adalah hasil dari lingkungan, sifat alami dari air dan tanah, jarak dari matahari, dan intensitas panas. Tidak ada pertanyaan tentang metamorfosis, atau hukuman, pengrusakan atau mendukung dijatuhkan oleh Allah,. Selain tanah dari Bani Sulaim memiliki banyak kesamaan dengan negeri Turki, di mana unta, kuda beban, dan segala sesuatu milik orang-orang ini sangat mirip: segala sesuatu dari mereka memiliki tampilan Turki. "
Karya lain
Karya paling awal pada psikologi sosial dan psikologi hewan ditulis oleh al-Jahiz, yang menulis sejumlah karya berurusan dengan organisasi sosial dari semut dan dengan binatang komunikasi dan psikologi.(Amber Haque (2004), "Psikologi dari Perspektif Islam: Kontribusi Awal Cendekiawan Muslim dan Tantangan ke Psikolog Muslim Kontemporer", Jurnal Agama dan Kesehatan 43 (4): 357-377 [376])
Wafatnya Al Jahiz
Al-Jahiz kembali ke Basra setelah menghabiskan lebih dari lima puluh tahun di Baghdad. Dia meninggal di Basra pada 869 AD. Penyebab pasti kematian-Nya tidak jelas, tetapi kisah populer adalah bahwa sebuah kecelakaan, di mana tumpukan buku-buku di perpustakaanpribadinya, terguling dan menghimpitnya dia dan menyebabkan kematiannya. Ia meninggal pada usia 93. Versi lain mengatakan bahwa ia menderita sakit dan meninggal pada bulan Muharram (Al-Jahiz: INTRODUCTION." Classical and Medieval Literature Criticism . Ed. Daniel G. Marowski. Vol. 25. Gale Group, Inc., 1998. eNotes.com. 2006. 13 Sep, 2007).
6. AL KARAJI, SANG PELOPOR MESIN AIR
Al Karaji atau dikenal dunia sebagai al Karkhi merupakan ilmuwan Muslim yang hidup di awal abad 8M. Beliau merupakan seorang ilmuwan yang menguasai bidang hidrologi. Penguasaan di bidang ini meliputi masalah penyediaan berbagai sarana air bersih, pengendalian gerakan air, serta penemuan berbagai teknologi hidrologi. Teknologi pengeolaan yang dikenalkan al Karaji merupakan metode pengelolaan air yang canggih yang membuat pasokan air di kota-kota modern Islamtetap melimpah sehingga perkembangan kota tetap pesat.
Hal itu diungkapkan Mohammed Abattouy dalam karyanya bertajuk Muhammad Al-Karaji: A Mathematician Engineer from the Early 11th Century. Menurut Abattouy, pengusaan teknologi mesin air di dunia Islam telah melahirkan sebuah revolusi pertanian yang berbasis pada penguasaan di bidang hidrologi.
Abattouy mengungkapkan, salah seorang ilmuwan Muslim yang menjadi peristis di bidang mesin air adalah Muhammad al-Karaji. Ia adalah seorang ahli matematika dan juga ahli mesin. Menurut Abattouy, pada masa itu, al-Karaji sudah mampu menjelaskan tentang air bawah tanah dan segala perlengkapannya.
Dalam kitab yang berjudul Inbat al-miyah al-khafiya, al-Karaji menjelaskan beragam penemuannya mengenai aquifers, survei sumur gali dan membangun kanal bawah tanah. Buku itu ditulisnya sekitar tahun 1.000 M di Persia – sekarang antara Irak atau Iran.
"Buku itu adalah sebuah risalah teknis yang memberikan rincian baik dalam mencari tingkat air, instrumen untuk survei, pembangunan saluran, lapisannya, perlindungan terhadap kerusakan, dan pembersihan dan pemeliharaan," papar Abattouy mengutip penjelasan al-Karaji.
Donald R Hill dan Ahmad Y Al-Hassan dalam karyanya bertajuk Engineering in Arabic-Islamic Civilization, menjelaskan bahwa sebelum dan sesudah era Al-Karaji, banyak ilmuwan Muslim yang melakukan percobaan yang sama secara eksplisit. "Salah satunya Ibnu Sina (980-1037) dalam risalahnya fi aqsam al-'ulum al-'aqliya (risalah pada divisi rasional ilmu).''
Ibnu Sina menjadikan hidrolika sebagai disiplin ilmu independen yang setaraf dengan geometri dan astronomi. Hal ini mendorong para ahli matematika berbakat untuk bergabung dengan suatu wilayah praktis.
"Al-Karaji bukan satu-satunya ilmuwan yang tertarik pada mesin," papar Abattouy. Menurut dia, beberapa ilmuwan pendahulunya juga melakukan hal yang sama, seperti al-Farghani (wafat 860 M), Thabit ibnu Qurra (wafat 901 M), al-Kuhi (wafat 1000 M). Namun, sayangnya mereka gagal dalam penerapannya.
Sejatinya, ilmuwan bernama Abu Bakr Muhammad b al-Hasan (al-Husayn) itu adalah seorang ahli matematika dan ahli mesin terkemuka pada abad ke-10 M/4 H. Ia dikenal sebagai al-Hasib yang berarti penghitung, yang bisa juga dimaksudkan matematika.
Menurut Girogio Levi Della Vida dalam karyanya Appunti e Quesiti di Storia Letteraria Araba, al-Karaji adalah penduduk asli Karadj (di Iran) dan bukan dari Al-Karkh Kabupaten Baghad, seperti yang dinyatakan dalam tulisan-tulisan tertentu.
Di usianya yang masih muda, ia telah melanglangbuana ke Baghdad. Di pusat pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah, yang saat itu dikuasai Dinasti Buwaih, ia memegang posisi tinggi dalam bidang administrasi, sekitar tahun 402 H/1011-12 M. Setelah itu dia kembali ke tanah kelahirannya.
Tak ada sumber yang jelas mengenai tanggal kelahiran atau kematian al-Karaji. Sejumlah sejarawan meyakini, sang ilmuwan meninggal setelah tahun 406 H/1015 M. Sangat sedikit sekali sumber mengenai biografi sang ilmuwan. Namanya, muncul pada era modern dengan sebutan al-Karaji atau al-Karakhi.
Namun, para sejarawan sains paling sering menyebutnya dengan nama al-Karaji. Roshdi Rashed, mengungkapkan, sangat sedikit sekali informasi dalam sumber Arab klasik tentang al-Karaji. Apalagi, nama al-Karaji tidak disebutkan sejarawan Islam seperti Ibnu al-Nadim atau Ibnu Abi Usaybi'a dalam karya utama mereka.
Meski begitu, al-Karaji diyakini telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peradaban Islam dan umat manusia saat tinggal di Baghdad. Risalah pentingnya dalam aljabar telah didedikasikan kepada wazir Fakhr al-Mulk, menteri Baha'al-Dawla, penguasa Dinasti Buwaih di Baghdad (wafat 406 H/1015 M).
Al-Karaji meninggalkan pemerintah Abbasiyah untuk hidup dalam apa yang digambarkannya sebagai "mountain countries". Dia telah menyumbangkan pemikirannya dalam bidang hidrologi dan matematika. Bagaimana pun, keberhasilan dan pencapaian al-Karaji pada era kejayaan Islam layak untuk dihormati dan dihidupkan kembali oleh masyarakat Muslim di era modern.
Karya Sang Ilmuwan
Dedikasinya yang tinggi dalam bidang matematika dan mesin membuatnya banyak menghasilkan karya yang monumental. Carl Brockelman dalam karyanya Geschichte der Arabischen Litteratur, menyebutkan, al-Karaji berhasil menulis Kitab Inbat al-Miyah al-Khafiya (Book on the Extraction of Hidden Waters).
Selain itu, al-Karaji juga menulis sederet karya lainnya. Sayangnya beberapa karyanya yang penting itu telah hilang. Berikut ini adalah sederet karya yang pernah ditulisnya seperti; Nawadir al-Ashkal, 'Ilal Hisab al-Jabr wa-'I-Muqabala), Uqud al-Abniya, Kitab fi Hisab al-Hind, Kitab fi al - 'istiqra' bi-'l-takht, al-Madkhal ila 'Ilm al-Nujum, Kitab al-Muhit fi' l-Hisab, Kitab al-Ajdhar, Hawla Tasnif, Kitab al-Judhur, dan Risalat al-Khta'ayn 'Adil Anbuba.
Berikut ini empat judul buku tentang matematika dan mesin hidrolis yang menarik perhatian adalah Al-Fakhri fi 'l-jabr wa 'l-muqabala, tentang aljabar; al-Badi' fil-Hisab tentang aritmatika; al-Kafi fil-Hisab, tentang aritmatika; serta Inbat al-Miyah al-Khafiya,.
Bukunya bertajuk al-Fakhri fil-Jabr wal-Muqabala, begitu berpengaruh dan telah dipelajari oleh Franz Woepcke pada pertengahan ke-19 M. Franz Woepcken dalam karyanya Extraits du Fakhri Traite d'Algebre, mengungkapkan, dalam karyanya itu, al-Kajari menjelaskan tentang aritmatika dari Diophantu.
Sejarawan sains modern memandang al-Karaji sebagai ahli matematika berkaliber tertinggi. Karyanya yang kekal pada bidang matematika masih diakui hingga hari ini, yakni mengenai kanonik tabel koefisien binomium (dalam pembentukan hukum dan perluasan bentuk).
Al-Karaji dianggap sebagai ahli matematika terkemuka dan pandang sebagai orang pertama yang membebaskan aljabar dari operasi geometris yang merupakan produk aritmatika Yunani dan menggantinya dengan jenis operasi yang merupakan inti dari aljabar pada saat ini.
Karyanya pada aljabar dan polynomial memberikan aturan pada operasi aritmatika untuk memanipulasi polynomial. Dalam karya pertamanya di Prancis, sejarawan matematika Franz Woepcke (dalam Extrait du Fakhri, traite d'Algèbre par abou Bekr Mohammed Ben Alhacan Alkarkhi, Paris, 1853), memuji Al-Karaji sebagai ahli matematika pertama di dunia yang memperkenalkan teori aljabar kalkulus
Al-Karaji menginvestigasikan koefisien binomium segitiga Pascal. Dia juga yang pertama menggunakan metode pembuktian dengan induksi matematika untuk membuktikan hasilnya, ia berhasil membuktikan kebenaran rumus jumlah integral kubus, yang sangat penting hasilnya dalam integral kalkulus.
"Ia juga mengunakan sebuah bukti induksi matematika untuk membuktikan theorem binomial (suku dua) dan segitiga Pascal," jelas Victor J Katz, dalam karyanya History of Mathematics: An Introduction, Reading.
JJ O'Connor dan EF Robertson, dalam karyanya Abu Bekr ibn Muhammad ibn al-Husayn Al-Karaji, mengatakan, bahwa karya al-Karaji memegang tempat penting dalam sejarah matematika. Ia banyak terpengaruh dan terinspirasi karya-karya aritmatika Diophantus, dalam konsepsi aljabar.
7. AL-KHAWARIZMI, PENEMU ALGORITMA
Istilah algoritma, mungkin bukan sesuatu yang asing bagi kita. Ditinjau dari asal-usul katanya, kata ‘Algoritma’ mempunyai sejarah yang agak aneh. Orang hanya menemukan kata Algorism yang berarti proses menghitung dengan angka Arab. Seseorang dikatakan ‘Algorist’ jika menghitung menggunakan angka Arab. Para ahli bahasa berusaha menemukan asal kata ini namun hasilnya kurang memuaskan. Akhirnya para ahli sejarah matematika menemukan asal kata tersebut yang berasal dari nama penulis buku Arab terkenal, yaitu Abu Abdullah Muhammad Ibnu Musa Al-Khuwarizmi dibaca orang barat menjadi Algorism.
Definisi Algoritma adalah langkah-langkah logis penyelesaian masalah yang disusun secara sistematis dan logis. Contoh sederhana adalah penyusunan sebuah resep makanan, yang biasanya terdapat langkah-langkah cara memasak masakan tersebut. Tapi, algoritma umumnya digunakan untuk membuat diagram alur (flowchart) dalam ilmu komputer / informatika.
Penemu konsep Algoritma dan Aljabar
Penemunya adalah seorang ahli matematika dari uzbekistan yang bernama Abu Abdullah Muhammad Ibn Musa al-Khwarizmi. Di literatur barat, beliau lebih terkenal dengan sebutan Algorism. Panggilan inilah yang kemudian dipakai untuk menyebut konsep algoritma yang ditemukannya. Abu Abdullah Muhammad Ibn Musa al-Khwarizmi (770-840) lahir di Khwarizm (Kheva), kota di selatan sungai Oxus (sekarang Uzbekistan) tahun 770 masehi. Kedua orangtuanya kemudian pindah ke sebuah tempat di selatan kota Baghdad (Irak), ketika ia masih kecil. Khwarizm dikenal sebagai orang yang memperkenalkan konsep algoritma dalam matematika, konsep yang diambil dari nama belakangnya.
Al khwarizmi juga adalah penemu dari beberapa cabang ilmu matematika yang dikenal sebagai astronom dan geografer. Ia adalah salah satu ilmuwan matematika terbesar yang pernah hidup, dan tulisan-tulisannya sangat berpengaruh pada jamannya. Teori aljabar juga adalah penemuan dan buah pikiran Al khwarizmi. Nama aljabar diambil dari bukunya yang terkenal dengan judul Al Jabr Wa Al Muqabilah. Ia mengembangkan tabel rincian trigonometri yang memuat fungsi sinus, kosinus dan kotangen serta konsep diferensiasi.
Pengaruhnya dalam perkembangan matematika, astronomi dan geografi tidak diragukan lagi dalam catatan sejarah. Pendekatan yang dipakainya menggunakan pendekatan sistematis dan logis. Dia memadukan pengetahuan dari Yunani dengan Hindu ditambah idenya sendiri dalam mengembangkan matematika. Khwarizm mengadopsi penggunaan angka nol, dalam ilmu aritmetik dan sistem desimal. Beberapa bukunya banyak diterjemahkan kedalam bahasa latin pada awal abad ke-12, oleh dua orang penerjemah terkemuka yaitu Adelard Bath dan Gerard Cremona. Risalah-risalah aritmetikanya, seperti Kitab al-Jam’a wal-Tafreeq bil Hisab al-Hindi, Algebra, Al-Maqala fi Hisab-al Jabr wa-al-Muqabilah, hanya dikenal dari translasi berbahasa latin. Buku-buku itu terus dipakai hingga abad ke-16 sebagai buku pegangan dasar oleh universitas-universitas di Eropa.
Buku geografinya berjudul Kitab Surat-al-Ard yang memuat peta-peta dunia pun telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris. Buah pikir Khwarizmi di bidang geografi juga sangat mengagumkan. Dia tidak hanya merevisi pandangan Ptolemeus dalam geografi tapi malah memperbaiki beberapa bagiannya. Tujuh puluh orang geografer pernah bekerja dibawah kepemimpinan Al khwarizmi ketika membuat peta dunia pertama di tahun 830. Ia dikisahkan pernah pula menjalin kerjasama dengan Khalifah Mamun Al-Rashid ketika menjalankan proyek untuk mengetahui volume dan lingkar bumi.
8. AL MAWARDI, PENCETUS TEORI POLITIK ISLAM
Di masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, khazanah intelektualisme mengalami kemajuan yang sangat berarti. Bahkan sebagian kalangan menilai, zaman itu sebagai salah satu tonggak kebangkitan peradaban Islam dan keemasan keilmuan. Salah satu tokoh ilmuwan dan pelopor kemajuan itu adalah Al Mawardi.
Sejarah Islam mencatat Al Mawardi sebagai pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini juga menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). "Al Khatib of Baghdad" tulis seorang orientalis.
Ulama penganut Mazhab Syafi'i ini bernama lengkap Abu Al Hasan Ali bin Habib Al Mawardi. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M, Al Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota kelahirannya. Ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum Mazhab Syafi'i terkenal kala itu.
Kemudian, ia pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusasteraan dari Abdullah al Bafi dan Syekh Abdul Hamid al Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama, seperti hadis dan fiqh, juga politik, filsafat, etika, dan sastra.
Sebagai seorang penasihat politik, Al Mawardi menempati kedudukan yang penting di antara sarjana-sarjana Muslim. Dia diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Al Mawardi mengemukakan fiqh Mazhab Syafi'i dalam karya besarnya Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum Mazhab Syafi'i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang sangat memuji karya tersebut. Buku Al Mawardi ini terdiri 8.000 halaman, kemudian ia ringkas dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.
Pemikiran.
Menelaah pemikiran Al Mawardi, bisa dikatakan cukup dengan membaca karya besarnya, yakni Al Ahkaam Al Shultoniyah (Hukum dan Prinsip Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya. Meskipun ia juga menulis beberapa buku lainnya, namun dalam buku Al Ahkaam Al Shultoniyah inilah pokok pemikiran dan gagasannya menyatu.
Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsip-prinsip politik kontemporer dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran yang sangat maju, bahkan sampai kini sekalipun. Dalam buku ini misalnya, dibahas masalah pengangkatan imamah (kepala‘'negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana.
Selain itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, fa'i dan ghanimah (harta peninggalan dan pampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain sebagainya.
Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga.
Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, Al-Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqth). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model `Al Ikhtiar.'
Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar As Shiddiq.
Dalam pandangan Al-Mawardi, negara adalah sebuah kesatuan komunitas yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memiliki otoritas penuh, baik yang didapat lewat proses suksesi maupun proses pemilihan. Hubungan antara pemimpin negara (khalifah) dan warganya, dalam kaitan ini adalah, hubungan kontrak yang diikat dalam sebuah baiat. Baiat penguasa bisa dilakukan secara umum di hadapan seluruh rakyat maupun dilakukan di depan para majelis syura (wakil rakyat) yang juga dikenal sebagai lembaga pengangkat dan pembubar.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, A1-Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondite dirinya, dan karenanya ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan).
Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Berkaitan dengan masalah jihad, Al-Mawardi menegaskan, selain perintah jihad kepada orang kafir, jihad dibagi menjadi tiga bagian: jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para pemberontak (dikenal juga sebagai bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan. Bila kita cermati, pembagian versi Al-Mawardi ini selalu tersangkut-paut dengan politik kekuasaan, alias mengalami reduksi dari maknanya yang luas.
Dalam hubungannya jihad terhadap mereka yang murtad, Al-Mawardi membagi dua kondisi. Pertama, mereka berdomisili di negara Islam dan tidak memiliki wilayah otonom. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak berhak diperangi, melainkan perlu diteliti latar belakang keputusannya untuk kemudian diupayakan bertobat. Kedua, mereka memiliki wilayah otonom di luar wilayah Islam. Mereka wajib diperangi.
Soal jihad melawan pemberontak, ia menulis, "Jika salah satu kelompok dari kaum Muslimin memberontak, menentang pendapat (kebijakan) jamaah kaum Muslimin lainnya, dan menganut pendapat yang mereka ciptakan sendiri; jika dengan pendapatnya itu mereka masih taat kepada sang imam, tidak memiliki daerah otonom di mana mereka berdomisili di dalamnya, mereka terpencar yang memungkinkan untuk ditangkap, berada dalam jangkauan negara Islam, maka mereka dibiarkan, tidak diperangi, kewajiban dan hak mereka sama dengan kaum Muslimin lainnya."
Dalam banyak hal, khususnya dalam konteks demokrasi dan politik modern, sulit rasanya menerapkan konsep dan pemikiran Al-Mawardi secara penuh. Barangkali, hanya beberapa bagian, semisal dalam masalah kualifikasi dan pengangkatan seorang imam, juga masalah pembagian kekuasaan di bawahnya. Namun demikian, wacana yang dilontarkan Al-Mawardi ini sangat berbobot ketika diletakkan sebagai antitesis dari kegagalan teori demokrasi, dan sumbangan khazanah berharga bagi perkembangan politik Islam modern.
Bahkan, harus diakui pula bahwa pemikiran dan gagasannya memiliki pengaruh besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya, terutama di negeri-negeri Islam. Pengaruh ini misalnya, terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibnu Khaldun. Khaldun, yang diakui sebagai peletak dasar sosiologi, dan pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi telah melebihi A1-Mawardi dalam banyak hal.
Setelah seluruh hayatnya diabdikan untuk dunia ilmu dan kemaslahatan umat, Sang Khaliq akhirnya memanggil Al-Mawardi untuk selama-lamanya pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.
Pada tahun 1037 M, khalifah Al Qadir mengundang empat orang ahli hukum mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali). Mereka diminta menulis sebuah buku fikih. Al-Mawardi terpilih untuk menulis buku fikih Mazhab Syafi'i.
Setelah selesai, hanya dua orang yang memenuhi permintaan khalifah sesuai yang diharapkan, yakni Al Quduri dengan bukunya Al Mukhtashor (Ringkasan), dan Al Mawardi dengan kitabnya Kitab Al Igna'. Khalifah memuji karya Al-Mawardi sebagai yang terbaik, dan menyuruh para penulis kerajaan untuk menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke seluruh perpustakaan Islam di wilayah kekuasaannya.
Selain kedua karyanya itu, yakni IÚ'tab Al Igna', dan Al Ahkaam al Shultoniyah, Al-Mawardi yang sejak kecil bercita-cita menjadi pegawai negeri ini juga menulis buku Adab al Wazir (Etika Menteri), Siyasat al Malik (Politik Raja), Tahsil un Nasr wat Tajit uz Zafar (Memudahkan Penaklukan dan Mempercepat Kemenangan). Al Ahkam al Shultonlyah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia, Indonesia, dan Urdu.
Al Mawardi juga menulis buku tentang 'perumpamaan' dalam Al-Quran, yang menurut pendapat Imam As Suyuthi, merupakan buku pertama dalam soal ini. Menekankan pentingnya buku ini, Al-Mawardi menulis, "Salah satu dari ilmu Quran yang pokok adalah ilmu 'ibarat' atau 'umpama'."
9. AL-MUQADDASI, 'PENGGAMBAR' DUNIA
Gambaran detil mengenai sebuah negeri atau wilayah begitu penting bagi manusia saat peralatan komunikasi belum secanggih sekarang. Dan, Al-Muqaddasi, cendekiawan Muslim pada awal abad ini, menjadi tokoh yang banyak disebut dalam penyebaran informasi mengenai banyak negara ini. Dialah pionir dalam melukiskan dan memberikan gambaran secara mendetail mengenai tempat yang pernah ia kunjungi. Tak hanya terkait keadaan geografis.
Ia juga menulis mengenai adat istiadat, aktivitas perdagangan, maupun mata uang yang berlaku di sebuah negara. Ahsan al-Taqasim fi Ma'rifat al-Aqalim (The Best Divisions for Knowledge of the Regions), merupakan kumpulan tulisannya. Dari hasil perjalanannya ke berbagai negara, karya tulis tersebut diterbitkan pada 985 M. Pada awal paruh abad kesembilan belas orientalis dari Jerman, Aloys Sprenger, membawa manuskrip dari karya Al-Muqaddasi. Rupanya, karya ini telah menyedot perhatian ilmuwan Barat.
Mereka melontarkan pujian atasnya. Bahkan mereka pun menyatakan bahwa Ahsan al-Taqasim fi Ma'rifat al-Aqalim mencerminkan kepiawaian dan kecerdasan seorang ahli geografi. Dan kemampuan Muqaddasi itu, diklaim tak tertandingi sepanjang masa. Pandangannya masih terkait dengan aspek-aspek metode geografis pada masa sekarang. Misalnya, mengenai penggunaan peta. Ini terbukti sangat berguna dalam kehidupan modern sekarang. Al-Muqaddasi memang seorang ahli geografi yang mumpuni. Ia mencurahkan tenaga dan masa hidupnya untuk mengembangkan kemampuannya.
Pria kelahiran Al-Quds, Jerussalem pada 946 ini, tak hanya mengandalkan kemampuan diri. Ia tak pernah mengabaikan kekuatan yang menguasai dirinya. Allah Swt. Untuk menjaga ketajaman ingatannya, ia selalu berinteraksi dengan Tuhannya. Tak heran jika mendapatkan gelar sebagai saintis yang sesungguhnya. Ia melancong ke berbagai wilayah untuk melakukan observasi, penelitian, pengumpulan data. Kemudian menuliskannya dalam sebuah karya.
Pada sisi lain, muncul pandangan bahwa ia adalah agen pemerintahan Fatimiyah di Mesir memang tak dapat ditepiskan. Namun apapun alasanya, ia adalah orang yang memiliki kemampuan dan kecerdasan. Untuk melukiskan sebuah wilayah, ia membagi pekerjaanya menjadi dua bagian. Pertama melakukan pengamatan dan mendeskripsikan setiap tempat di wilayah ia amati. Biasanya, ia memfokuskan diri pada pusat kegiatan masyarakat di sebuah wilayah. Objek pengamatan yang tak luput adalah populasi, keberagaman etnik, kelompok sosial, mata pencaharian, sumber daya mineral, peninggalan arkeologi, maupun mata uang yang digunakan.
Pendekatan ini, oleh banyak ilmuwan sangat berbeda dengan para pendahulunya. Karena pendekatan yang dilakukannya mencakup hal yang lebih luas. Ia tak hanya merangkum beragam letak geografis dalam alam pikirannya. Namun ia pun, berkeinginan menyuguhkan penjelasan mengenai dasar-dasar dan fungsi masyarakat Islam dari sebuah wilayah yang ia kunjungi. Misalnya, dalam mengatasi berbagai hambatan alam. Pada akhirnya, mendorong masyarakat melakukan inovasi. Ia menceritakan secara detil mengenai pengelolaan air dan teknologi hidrolik.
Teknologi ini berguna bagi masyarakat Mesir kala itu, untuk mengelola air dan menjamin berjalannya sistem pertanian. Di Biyar, yang terdapat di wilayah Al-Daylam, Mesir, ia mencatat adanya kelangkaan air. Dan mencatat bahwa air tersebut didistribusikan dengan menggunakan water clock. Ini adalah satu-satunya cara untuk mengalirkan air. Ia pun mencatat di Ahwaz, sebuah tempat di Khuzistan, terdapat roda air yang disebut dengan na'ura, yang sangat berguna untuk mengalirkan air ke kanal.
Masalah fiskal, keuangan, dan mata uang serta fluktuasi yang terjadi juga menjadi perhatian Al-Muqaddasi. Pada saat mengunjungi Maghrib, Baghdad, Irak ia menyatakan bahwa semua provinsi di daerah tersebut hingga yang berbatasan dengan Damaskus menggunakan dinar. Ada pula rub yang bernilai seperempat dinar. Dirham juga digunakan sebagai alat tukar menukar di sana. Setengah dirham dinamai dengan Qirat. Terdapat pula Khurnaba yang bernilai seperempat, seperdelapan, seperenambelas bagian.Pergantian dari satu mata uang ke mata uang lainnya juga menjadi perhatian lainnya.
Ia bahkan mampu menggali berapa besarnya pendapatan di suatu wilayah yang ia kunjungi. Kala ia mengunjungi Provinsi Yaman, ia mencatat bahwa wilayah Hadramaut memiliki pendapatan sebesar seratus ribu dinar. Al-Yaman serta Al-Bayrayn masing-masing memiliki pendapatan enam ratus riby dinar dan lima ratus ribu dinar. Ia bahkan memberikan gambaran secara detail baik nama, luas wilayah dan perbandingan dengan wilayah lainnya. Dalam karyanya, ia pun menyuguhkan sejarah mengenai tempat yang ia kunjungi.
Kondisi masyarakat Islam urban, evolusinya, keberagaman, dan kompleksitasnya merupakan daya tarik bagi Al-Muqaddasi untuk menuliskannya. Hal ini memberikan gambaran yang begitu nyata bagi para pembaca karyanya. Tak heran jika kemudian A Miquel, sejarawan dari Prancis, merangkum karya Muqaddasi tersebut. Menurutnya Al-Muqaddasi dapat membedakan antara kota kecil dan besar melalui keberadaan masjid besar dan mimbarnya.
Terkait dengan hal ini, Miquel menyatakan bahwa Al-Muqaddasi mempelajari keadaan setiap kota yang ia lalui, misalnya keadaan masyarakat maupun jarak di antara kota tersebut, akeses keluar masuk, lokasinya berdasarkan topografi. Juga mengenai pasar, pasang surutnya, dan perdagangan di kota tersebut dengan kota lainnya. Berapa besar pendapatan dan bagaimana pula pendapatan tersebut didistrbusikan.
Dengan pertimbangan hubungan antara topografi dan ekspansi urban atau masyarakat kota, ia mencatat bahwa di tempat seperti Arab Saudi, laut yang ada di sana menjadi daya tarik bagi kedatangan banyak orang ke sana. Membuka batas antara laut hingga menimbulkan perdagangan. Al-Muqaddasi mencatat pula, kata A Miquel, bahwa Nabi Muhammad pada masa sebelumnya telah membuka pasar yang menghubungkan antara Adan dan Mina.
Al-Muqaddasi telah memberikan sumbangsih bagi dunia Islam. Kemampuannya, juga telah diakui oleh para ilmuwan dunia. Bahwa ia telah memantik perkembangan geografi di dunia barat. Selama 20 tahun ia habiskan waktunya untuk melancong dan menuliskannya dalam sebuah karya. Ia menghembuskan nafas terakhir di kota kelahirannya, beberapa tahun setelah Ahsan Al-Taqasim fi Ma'rifat Al-Qalim diterbitkan.
10. AL-RAZI, RUJUKAN ILMU BEDAH
Ketokohan ilmuwan Islam yang bernama lengkap Muhammad bin Zakaria ini memang sukar ditandingi dalam dunia pengobatan. Ia yang lebih populer dipanggil Al Razi ini adalah orang pertama membuat jahitan pada perut dengan benang dibuat dari serat. Dia juga orang pertama yang berhasil membedakan antara penyakit cacar dengan campak.
Sejarah mencatat, Al Razi dilahirkan di Ray, Parsi (Iran) pada tahun 240 Hijriah/854 Masehi. Tak lain, dia adalah guru dari ilmuwan di bidang kedokteran yang sangat terkenal, Ibnu Sina.
Ketika masih kecil, perhatiannya sudah begitu besar dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya bidang kedokteran. Al Razi pun belajar dengan tekun setiap waktu dan kegigihannya tersebut kemudian diganjar prestasi mengagumkan pada setiap tingkatan sekolah yang dilaluinya.
Beranjak dewasa kemampuan Al Razi kian bertambah hingga dipercaya menjadi tenaga pengajar dan peneliti pada sejumlah lembaga. Penghargaan satu per satu diperoleh. Dia pernah mendapat gelar Jalinus Arab (Galen of the Arab) kerana ketokohannya sebagai pengajar di Rumah Sakit Baghdad, Irak.
Tak hanya berkiprah sebagai pengajar saja, Al Razi juga mengisi waktunya dengan mengadakan serangkaian penelitian di bidang pengobatan serta tak lupa, menulis buku. Sebanyak 10 buku ilmu perobatannya dia hasilkan dan kini sudah terjemahkan ke dalam bahasa Latin. Buku karya Al Razi paling termasyhur berjudul Al-Hawi Fi Ilm Al-Tadawi yang terdiri dari 30 jilid dan dirangkum ke dalam 12 bagian.
Banyak hal baru yang dibahas dalam buku ini. Di antara yang berkaitan dengan penyembuhan penyakit serta jenis penyakit; upaya menjaga kesehatan; punggung dan tengkuk (yang patah); obat-obatan dan makanan; pembuatan ramuan obat-obatan; industri kedokteran; farmasi; tubuh; pembedahan; dan pengawetan anggota tubuh. Selain itu, juga ada mengenai pengkelasan bahan galian serta peralatan dan obat yang digunakan lengkap dengan arahan terperinci.
Sebuah buku lain karyanya, Al-Mansuri, berisi tentang pembedahan seluruh tubuh manusia. Buku-buku karya Al-Razi itu lantas diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa dan menjadi bahan rujukan serta panduan dokter di seluruh Eropa hingga abad ke-17.
Ilmunya yang amat mendalam berkaitan tatacara perobatan, terbukti bermanfaat dalam usaha pencarian ramuan obat dari bahan tumbuhan dan hewan serta cara yang tepat untuk digunakan dalam perawatan pasien. Salah satunya yang monumental, adalah bahan serat untuk menjahit luka terbuka.
Reaksi kimia tak luput dari pengamatannya. Termasuk pula di antaranya ilmu dan tatacara kimia yang menjelaskan pemrosesan air raksa, belerang (sulfur), arsenik, serta logam lain seperti emas, perak, tembaga, plumbum dan besi.
Sebagai seorang ilmuwan Islam dalam bidang perobatan, ketokohan al-Razi tidak terbatas dalam menimba ilmu dan mengarang buku semata-mata. Pada saat bersamaan, dia kerap mengemukakan pemikiran yang kritis dalam menyumbangkan rumusan keputusan oleh kerajaan.
Ketika, misalnya, penguasa kerajaan meminta Al Razi membangun sebuah rumah sakit di kota Baghdad, dia lantas menggunakan satu kaedah yang sangat baik untuk memilih lokasi rumah sakit tersebut. Al Razi meletakkan sepotong daging di tempat yang berlainan di Baghdad dan daging itu dibiarkan saja sehingga menjadi busuk.
Kemudian dia membangun rumah sakit di tempat yang dagingnya paling lambat busuk. Teorinya, tempat itu mempunyai udara bersih, sedikit pencemaran, dan lokasi sesuai untuk lokasi rumah sakit.
Sumbangan Al Razi dalam bidang filsafat juga tidak dapat dikesampingkan. Pada disiplin ilmu ini, hal yang menjadi pilihan ialah mengenai pencipta, jiwa manusia, hakikat, angkasa, dan masa.
Kini, sekitar 40 manuskrip karya Al Razi tersimpan di museum dan perpustakaan di beberapa negara, seperti di Iran, Perancis, dan Inggris. Sepanjang hidupnya, tokoh ilmuwan ini tercatat telah menghasilkan sebanyak 224 judul buku, 140 diantaranya adalah dalam bidang pengobatan. Al Razi meninggal dunia tahun 320 Hijrah/932 Masehi.
11. AL-ZAHRAWI, BAPAK ILMU BEDAH MODERN
Peletak dasar-dasar ilmu bedah modern itu bernama Al-Zahrawi (936 M-1013 M). Orang barat mengenalnya sebagai Abulcasis. Al-Zahrawi adalah seorang dokter bedah yang amat fenomenal. Karya dan hasil pemikirannya banyak diadopsi para dokter di dunia barat. “Prinsip-prinsip ilmu kedokteran yang diajarkan Al-Zahrawimenjadi kurikulum pendidikan kedokteran di Eropa,” ujar Dr. Campbell dalam History of Arab Medicine.
Ahli bedah yang termasyhur hingga ke abad 21 itu bernama lengkap Abu al-Qasim Khalaf ibn al-Abbas Al-Zahrawi. Ia terlahir pada tahun 936 M di kota Al-Zahra, sebuah kota berjarak 9,6 km dari Cordoba, Spanyol. Al-Zahrawi merupakan keturunan Arab Ansar yang menetap di Spanyol. Di kota Cordoba inilah dia menimba ilmu, mengajarkan ilmu kedokteran, mengobati masyarakat, serta mengembangkan ilmu bedah bahkan hingga wafat.
Kisah masa kecilnya tak banyak terungkap. Sebab, tanah kelahirannya Al-Zahra dijarah dan dihancurkan. Sosok dan kiprah Al-Zahrawi baru terungkap ke permukaan, setelah ilmuwan Andalusia Abu Muhammad bin Hazm (993M-1064M) menempatkannya sebagai salah seorang dokter bedah terkemuka di Spanyol. Sejarah hidup alias biografinya baru muncul dalam Al-Humaydi’s Jadhwat al Muqtabis yang baru rampung setelah enam dasa warsa kematiannya.
Al-Zahrawi mendedikasikan separuh abad masa hidupnya untuk praktik dan mengajarkan ilmu kedokteran. Sebagai seorang dokter termasyhur, Al-Zahrawi pun diangkat menjadi dokter istana pada era kekhalifahan Al-Hakam II di Andalusia. Berbeda dengan ilmuwan muslim kebanyakan, Al-Zahrawi tak terlalu banyak melakukan perjalanan. Ia lebih banyak mendedikasikan hidupnya untuk merawat korban kecelakaan serta korban perang.
Para dokter di zamannya mengakui bahwa Al-Zahrawi adalah seorang dokter yang jenius terutama di bidang bedah. Jasanya dalam mengembangkan ilmu kedokteran sungguh sangat besar. Al-Zahrawi meninggalkan sebuah ‘harta karun’ yang tak ternilai harganya bagi ilmu kedokteran yakni berupa kitab Al-Tasrif li man ajaz an-il-talil—sebuah ensiklopedia kedokteran. Kitab yang dijadikan materi sekolah kedokteran di Eropa itu terdiri dari 30 volume.
Dalam kitab yang diwariskannya bagi peradaban dunia itu, Al-Zahrawi secara rinci dan lugas mengupas tentang ilmu bedah, orthopedic, opththalmologi, farmakologi, serta ilmu kedokteran secara umum. Ia juga mengupas tentang kosmetika. Al-Zahrawi pun ternyata begitu berjasa dalam bidang kosmetika. Sederet produk kosmetika seperti deodorant, hand lotion, pewarna rambut yang berkembang hingga kini merupakan hasil pengembangan dari karya Al-Zahrawi.
Popularitas Al-Zahrawi sebagai dokter bedah yang andal menyebar hingga ke seantero Eropa. Tak heran, bila kemudian pasien dan anak muda yang ingin belajar ilmu kedokteran dari Abulcasis berdatangan dari berbagai penjuru Eropa. Menurut Will Durant, pada masa itu Cordoba menjadi tempat favorit bagi orang-orang Eropa yang ingin menjalani operasi bedah. Di puncak kejayaannya, Cordoba memiliki tak kurang dari 50 rumah sakit yang memberikan pelayanan prima.
Sebagai seorang guru ilmu kedokteran, Al-Zahrawi begitu mencintai murid-muridnya. Dalam Al-Tasrif, dia mengungkapkan kepedulian terhadap kesejahteraan siswanya. Al-Zahrawi pun mengingatkan kepada para muridnya tentang pentingnya membangun hubungan yang baik dengan pasien. Menurut Al-Zahrawi, seorang dokter yang baik haruslah melayani pasiennya sebaik mungkin tanpa membedakan status sosialnya.
Dalam menjalankan praktik kedokterannya, Al-Zahrawi menanamkan pentingnya observasi tertutup dalam kasus-kasus individual. Hal itu dilakukan untuk tercapainya diagnosis yang akurat serta kemungkinan pelayanan yang terbaik. Al-Zahrawi pun selalu mengingatkan agar para dokter berpegang pada norma dan kode etik kedokteran, yakni tak menggunakan profesi dokter hanya untuk meraup keuntungan materi.
Menurut Al-Zahrawi profesi dokter bedah tak bisa dilakukan sembarang orang. Pada masa itu, dia kerap mengingatkan agar masyarakat tak melakukan operasi bedah kepada dokter atau dukun yang mengaku-ngaku memiliki keahlian operasi bedah. Hanya dokter yang memiliki keahlian dan bersertifikat saja yang boleh melakukan operasi bedah. Mungkin karena itulah di era modern ini muncul istilah dokter spesialis bedah (surgeon).
Kehebatan dan profesionalitas Al-Zahrawi sebagai seorang ahli bedah diakui para dokter di Eropa. “Tak diragukan lagi, Al-Zahrawi adalah kepala dari seluruh ahli bedah.” Ucap Pietro Argallata. Kitab Al-Tasrif yang ditulisnya lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard of Cremona pada abad ke-12 M. Kitab itu juga dilengkapi dengan ilustrasi. Kitab itu menjadi rujukan dan buku resmi sekolah kedokteran dan para dokter serta ahli bedah Eropa selama lima abad lamanya pada periode abad pertengahan.
Sosok dan pemikiran Al-Zahrawi begitu dikagumi para dokter serta mahasiswa kedokteran di Eropa. Pada abad ke-14, seorang ahli bedah Perancis bernama Guy de Chauliac mengutip Al-Tasrif hampir lebih dari 200 kali. Kitab Al-Tasrif terus menjadi pegangan para dokter di Eropa hingga terciptanya era Renaissance. Hingga abad ke-16, ahli bedah berkebangsaan Prancis, Jaques Delechamps (1513M-1588M) masih menjadikan Al-Tasrif sebagai rujukan.
Al-Zahrawi tutup usia di kota Cordoba pada tahun 1013M—dua tahun setelah tanah kelahirannya dijarah dan dihancurkan. Meski Cordoba kini bukan lagi menjadi kota bagi umat Islam, namun namanya masih diabadikan menjadi nama jalan kehormatan yakni ‘Calle Albucasis’. Di jalan itu terdapat rumah nomor 6 –yakni rumah tempat Al-Zahrawi pernah tinggal . Kini rumah itu menjadi cagar budaya yang dilindungi Badan Kepariwisataan Spanyol.
Sang penemu puluhan alat bedah modern
Selama separuh abad mendedikasikan dirinya untuk pengembangan ilmu kedokteran khususnya bedah, Al-Zahrawi telah menemukan puluhan alat bedah modern.
Dalam kitab Al-Tasrif, ‘bapak ilmu bedah’ itu memperkenalkan lebih dari 200 alat bedah yang dimilikinya. Di antara ratusan koleksi alat bedah yang dipunyainya, ternyata banyak peralatan yang tak pernah digunakan ahli bedah sebelumnya.
Menurut catatan, selama karirnya Al-Zahrawi telah menemukan 26 peralatan bedah. Salah satu alat bedah yang ditemukan dan digunakan Al-Zahrawi adalah catgut. Alat yang digunakan untuk menjahit bagian dalam itu hingga kini masih digunakan ilmu bedah modern. Selain itu, juga menemukan forceps untuk mengangkat janin yang meninggal. Alat itu digambarkan dalam kitab Al-tasrif.
Dalam Al-Tasrif, Al-Zahrawi juga memperkenalkan penggunaan ligature (benang pengikat luka) untuk mengontrol pendarahan arteri. Jarum bedah ternyata juga ditemukan dan dipaparkan secara jelas dalam Al-Tasrif. Selain itu, Al-Zahrawi juga memperkenalkan sederet alat bedah lain hasil penemuannya.
Peralatan penting untuk bedah yang ditemukannya itu antara lain, pisau bedah (scalpel), curette, retractor, sendok bedah (surgical spoon), sound, pengait bedah (surgical hook), surgical rod, dan specula. Tak cuma itu, Al-Zahrawi juga menemukan peralatan bedah yang digunakan untuk memeriksa dalam uretra, alat untuk memindahkan benda asing dari tenggorokan serta alat untuk memeriksa telinga. Kontribusi Al-Zahrawi bagi dunia kedokteran khususnya bedah hingga kini tetap dikenang dunia.
12. AS-SHAKAWI, PELETAK DASAR ILMU SEJARAH ISLAM
Nama lengkapnya adalah Abu al-Khair Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakr bin Usman asy-Syakhawi al-Qahiri asy-Syafi'i dan lahir sekitar tahun 1427 di Kairo. Kakeknya seorang miskin dan hidup dari berdagang barang tenunan secara kecil-kecilan. Meski serba kekurangan, namun tidak mengurangi semangat sang kakek untuk tetap beribadah kepada Allah SWT.
Kepakarannya mulai diakui publik pada pertengahan 1400-an. Bahkan, seorang sultan pada Dinasti Mamluk 'melamar' menjadi muridnya. Ulama ini dikenal sebagai seorang ahli hadis, sejarawan besar pada zamannya serta penulis yang produktif. Dia berasal dari keluarga miskin yang tinggal di As-Sakha, sebuah perkampungan di Kairo, Mesir.
Sementara ayahnya yang bernama Abdurrahman adalah seorang pedagang kecil tetapi kuat ibadahnya. Dia kerap menghadiri majelis taklim dan punya hubungan luas dengan sejumlah ulama di wilayahnya. Di antara para ulama itu yakni Ibnu Hajar al-Asqalani, ahli hadis yang juga sejarawan terkemuka. Dari kakeknya, ayah dan Ibnu Hajar itulah, As-Shakawi memperoleh bekal ilmu pendidikan. Terutama Ibnu Hajar yang sangat mencintainya, dengan penuh kasih sayang senantiasa menurunkan ilmunya kepada sang murid.
Ketika menimba ilmu dari Ibnu Hajar, As-Shakawi mengkaji tulisan dalam berbagai bidang ilmu semisal hadis, sejarah maupun biografi. Dan sebagaimana gurunya itu, di kemudian hari dia banyak menuliskan biografi para tokoh, utamanya untuk kepentingan seleksi hadis. Di samping dia pun terbilang gemar menulis kritik tentang hadis yang diriwayatkan oleh para tokoh tersebut.
Dalam bidang yang satu ini, dia memang banyak belajar pada Ibnu Hajar yang tak pernah lupa mengirimkan pembantunya untuk membacakan karyanya pada as-Shakawi bila dia sendiri berhalangan. Oleh sebab itu, Ibnu Hajar lantas memberikan pujian bagi muridnya tersebut. "Dia, yang masih muda ini, karena kesungguhan, ketekunan, kehati-hatian dan daya kritiknya, mengungguli murid-murid yang lebih senior," begitu komentarnya. Sehingga tidaklah mengherankan bila di masa tuanya, Ibnu Hajar mengangkat muridnya yang cerdas ini untuk menjadi asistennya dalam memberi pelajaran hadis.
Tahun 1449 Ibnu Hajar al-Asqalani meninggal dunia dan itu sangat memukul as-Shakawi. Saking tak kuat menahan sedih, dia bermaksud meninggalkan Mesir dan pindah ke Suriah dengan niat ingin menimba pengetahuan pada guru yang terkenal di sana. Namun harapannya ini tidak kesampaian lantaran tidak mendapat izin dari orangtuanya.
Oleh karenanya, dia pun terpaksa tetap tinggal di Mesir serta melanjutkan pendidikannya pada bidang ilmu hadis. Dia kemudian banyak mengembara dari satu kota ke kota lain demi menemukan guru pembimbing yang mumpuni. Kota-kota besar semisal Dimyath, Manuf dan Iskandariyah pernah disinggahinya. Sekaligus pada waktu bersamaan, dia berupaya mendapatkan tugas dalam pengajaran hadis di Kairo dengan meminta bantuan dari kawan-kawan Ibnu Hajar.
Sekitar tahun 1452 pergilah ia ke tanah suci Makkah guna menunaikan ibadah haji. Namun setelah itu as-Shakawi memutuskan untuk menetap selama beberapa lama di sana serta menyempatkan diri berziarah ke Madinah. Maka sejak tahun 1453, hidupnya berpindah-pindah antara Mesir, Suriah dan juga Hejaz. Tercatat sebanyak lima kali dia menunaikan ibadah haji dengan yang terakhir ialah tahun 1492. Dan setiap kali berhaji, tokoh ini selalu bermukim beberapa waktu di Makkah, sesudah itu kembali ke Mesir untuk mengajar hadis di beberapa madrasah di ibukota Kairo.
Pada masa-masa tersebut As-Shakawi mulai rajin menulis. Saat ditugaskan untuk memberi pelajaran sejarah pada Sultan Dinasti Mamluk, Qait Bey (1468-1496), setiap dua malam dalam seminggu, ia menolak. Bahkan dia juga menyatakan dengan tegas keberatannya ketika sultan berharap agar As-Shakawi bersedia menerima sultan sebagai murid khusus yang akan hadir di kediamannya. Akan tetapi, beberapa anak sultan terus mengikuti pengajiannya.
Sebagai seorang penulis yang produktif, As-Shakawi meninggalkan banyak karya, antara lain Ad-Dau' al-Lami fi A'yan al-Qarn at-Tasi (Cahaya Gemerlap tentang Tokoh-tokoh abad ke-9 H), berisi 12 jilid. Buku ini merupakan kamus yang memuat tokoh-tokoh terkenal abad ke-9 H, disusun secara alfabetis Arab. Bukunya yang berjudul Al-I'lan bi at-Taubikh li Man Zamma Ahl at-Tawarikh pada intinya menerangkan pengertian ilmu tarikh dan kedudukan ilmu ini bagi masyarakat, adalah sebuah buku yang demikian terkenal dalam bidang historiografi. Melalui karya tersebut, dapat dikatakan bahwa as-Shakawi telah meletakkan monumen penting bagi historiografi Islam. Kitab ini juga merupakan makalah panjang tentang kritik sejarah.
Dengan segala kekurangannya, buku ini ia tulis setelah melakukan sejumlah penelitian mendalam berkenaan penulisan sejarah. Karya ini banyak memberikan informasi tentang karya-karya sejarah dan teologi serta sedikit tentang karya sejarah yang disebut sebagai sejarah umum.
13. IBN HAITHAM, BAPAK ILMU OPTIK
Sejarah optik mencatat, Ibn Haitham sebagai bapak ilmu optik yang mengurai bagaimana kerja mata 'mencerna' penampakan suatu obyek. Nama lengkap ilmuwan ini Abu Al Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham adalah seorang ilmuwan Islam yang ahli dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Ia banyak pula melakukan penyelidikan mengenai cahaya, dan telah memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler dalam menciptakan mikroskop serta teleskop.
Abu Ali Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham (Bahasa Arab:ابو علی، حسن بن حسن بن الهيثم) atau Ibnu Haitham (Basra,965 - Kairo 1039), dikenal dalam kalangan cerdik pandai di Barat, dengan nama Alhazen. Dia lahir di Basrah pada tahun 965 Masehi atau 354 Hijriah. Awal pendidikan didaparkan di Basrah sebelum dilantik menjadi pegawai pemerintah di kota kelahirannya itu. Namun ia tidak sreg dengan kehidupan birokrat. Ia pun memutuskan keluar untuk kemudian merantau ke Ahwaz dan Baghdad. Di perantauan, ia mengasah otaknya dengan beragam ilmu. Kecintaannya kepada ilmu membawanya berhijrah ke Mesir. Di negeri ini, ia melakukan penelitian mengenai aliran dan saluran Sungai Nil serta menyalin buku-buku tentang matematika dan ilmu falak.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan uang tambahan dalam meneruskan pendidikannya di Universitas al-Azhar. Belajar yang dilakukannya secara otodidak justru membuatnya menjadi seorang yang mahir dalam bidang ilmu pengetahuan, ilmu falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Tulisannya mengenai mata, telah menjadi salah satu rujukan penting dalam bidang penelitian sains di Barat. Malahan kajiannya mengenai pengobatan mata telah menjadi asas bagi kajian dunia modern mengenai pengobatan mata. enelitiannya mengenai cahaya telah memberikan ilham kepada ahli sains Barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler menciptakan mikroskop serta teleskop. Dialah orang pertama yang menulis dan menemukan pelbagai data penting mengenai cahaya.
Beberapa buah buku mengenai cahaya yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, antaranya adalah Light dan On Twilight Phenomena. Kajiannya banyak membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang dan gerhana. Menurut Ibnu Haitham, cahaya fajar bermula apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk timur. Warna merah pada senja akan hilang apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk barat. Dalam kajiannya, beliau juga berjaya menghasilkan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya.
Ibnu Haitham juga turut melakukan percobaan terhadap kaca yang dibakar dan dari situ tercetuslah teori lensa pembesar. Teori itu telah digunakan oleh para saintis di Itali untuk menghasilkan kaca pembesar pertama di dunia. Yang lebih menakjubkan ialah Ibnu Haitham telah menemukan prinsip isi padu udara sebelum seorang ilmuwan bernama Tricella mengetahui hal tersebut 500 tahun kemudian. Ibnu Haitham juga telah menengarai perihal gaya gravitasi bumi sebelum Issac Newton mengetahuinya. Selain itu, teori Ibnu Haitham mengenai jiwa manusia sebagai satu rentetan perasaan yang bersambung secara teratur telah memberikan ilham kepada ilmuwan Barat untuk menghasilkan tayangan gambar.
Teorinya telah membawa kepada penemuan film yang kemudiannya disambung-sambung dan dimainkan pada para penonton sebagaimana yang dapat kita tonton pada masa kini. Selain sains, Ibnu Haitham juga banyak menulis mengenai filsafat, logika, metafisika, dan persoalan yang berkaitan dengan keagamaan. Beliau turut menulis ulasan dan ringkasan terhadap karya-karya sarjana terdahulu. Penulisan filsafatnya banyak tertumpu kepada aspek kebenaran dalam masalah yang menjadi pertikaian. Padanya pertikaian mengenai sesuatu perkara bermula dari pendekatan yang digunakan dalam mengenalinya. Dia juga berpendapat bahwa kebenaran hanyalah satu. Oleh sebab itu semua dakwaan kebenaran wajar diragukan dalam menilai semua pandangan yang ada.
Pandangannya mengenai filsafat amat menarik untuk dikaji hingga saat ini. Bagi Ibnu Haitham, filsafat tidak dapat dipisahkan dari ilmu matematika, sains, dan ketuhanan. Ketiga bidang dan cabang ilmu ini harus dikuasai. Dan untuk menguasainya seseorang perlu menggunakan waktu mudanya dengan sepenuhnya. Apabila umur makin meningkat, kekuatan fisikal dan mental akan turut mengalami kemerosotan. Ibnu Haitham membuktikan dirinya begitu bergairah mencari dan mendalami ilmu pengetahuan pada usia mudanya. Banyak buku yang dihasilkannya dan masih menjadi rujukan hingga saat ini.
Di antara buku-bukunya itu adalah Al'Jami' fi Usul al'Hisab yang mengandung teori-teori ilmu matemetika dan matemetika penganalisaan;
1. Kitab al-Tahlil wa al'Tarkib mengenai ilmu geometri;
2. Kitab Tahlil ai'masa'il al 'Adadiyah tentang aljabar;
3. Maqalah fi Istikhraj Simat al'Qiblah yang mengupas tentang arah kiblat;
4. Maqalah fima Tad'u llaih mengenai penggunaan geometri dalam urusan hukum syarak; dan
5. Risalah fi Sina'at al-Syi'r mengenai teknik penulisan puisi.
Walaupun menjadi orang terkenal di zamannya, namun Ibnu Haitham tetap hidup dalam kesederhanaan. Ia dikenal sebagai orang yang miskin materi tapi kaya ilmu pengetahuan.
14. IBNU SINA, BAPAK KEDOKTERAN MODERN
Abu 'Ali al-Husain bin' Abd Allāh bin Sīnā ', yang dikenal sebagai Abu Ali Sina(Arab : ابوعلی سینا) atau Ibnu Sina (Arab : ابن سینا) atau barat mengenalnya dengan nama Latin Avicenna (Yunani: Aβιτζιανός), (lahir c. 980 dekat Bukhara (kini wilayah Uzbekistan) meninggal 1037 di Hamedan (kini wilayah Iran). Beliau adalah seorang kebangsaan Persia yang ahli matematikawan, dokter, ensiklopedis dan filsuf yang tekenal dizamannya. Beliau juga seorang astronomi, apoteker, ahli geologi, logician, paleontologist, fisika, penyair, psikolog, ilmuwan, tentara, negarawan, dan guru.
Ibnu Sīnā telah menulis hampir 450 karya dengan berbagai disiplin ilmu, namun hanya sekitar 240 yang masih bertahan hingga kini. Secara khusus, dari 150 karyanya yang masih ada berkonsentrasi pada falsafah dan 40 diantaranya berkonsentrasi pada kedokteran. Karyanya paling terkenal adalah Buku Penyembuhan, yang memuat ensiklopedi luas dan filosofis ilmiah (Al Qanun Al Tibb) The Canon of Medicine, yang merupakan standar medis di banyak perguruan tinggi zaman modern. The Canon of Medicine telah digunakan sebagai buku teks di perguruan tinggi dari Montpellier dan Louvain pada akhir 1650.
Ibnu Sīnā mengembangkan sistem medis yang menkombinasikan antara pengalaman pribadi dalam pengobatan Islam, sistem pengobatan Yunani dokter Galen, metafisika Aristoteles serta berbagai sistem pengobatan kuno dari Persia, Mesopotamian dan India. Dia juga penemu dari logika Avicennian dan pendiri sekolah filosofis Avicinna, yang memiliki pengaruh dalam dunia Muslim dan Ilmuwan Modern.
Ibnu Sīnā dianggap sebagai Bapak dari pengobatan modern, dan pharmacology khususnya untuk pengenalan sistematis eksperimen dan hitungan ke dalam studi fisiologi, penemuan itu menular dari sifat infeksius penyakit, pengenalan karantina untuk membatasi penyebaran penyakit menular, pengenalan percobaan obat-obatan, berdasarkan bukti-obat, uji klinis,
Riwayat Ibnu Sina
Kehidupan Ibnu Sina dikenal lewat sumber - sumber berkuasa dimana sebuah autobiografi membahas tiga puluh tahun pertama kehidupannya, dan sisanya didokumentasikan oleh muridnya al-Juzajani, yang juga sekretarisnya dan temannya.
Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di rumah ibunya Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afganistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara.
Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili, pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa, yang mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun.
Ibnu Sina dididik dibawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi kekaguman diantara para tetangganya; dia menampilkan suatu pengecualian sikap intellectual dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya / Child prodigy yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagan sayur dia mempelajari aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda.
Meskipun bermasalah besar pada masalah - masalah metafisika dan pada beberapa tulisanAristoteles. Sehingga, untuk satu setengah tahun berikutnya, dia juga mempelajari filosofi, dimana dia menghadapi banyak rintangan. pada beberapa penyelidikan yang membingungkan, dia akan meninggalkan buku - bukunya, mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus sholat sampai hidayah menyelesaikan kesulitan - kesulitannya. Pada larut malam dia akan melanjutkan kegiatan belajarnya, menstimulasi perasaannya dengan kadangkala segelas susu kambing, dan meskipun dalam mimpinya masalah akan mengikutinya dan memberikan solusinya. Empat puluh kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata - katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai suatu hari mereka menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh Farabi, yang dibelinya di suatu bookstall seharga tiga dirham. Yang sangat mengagumkan adalah kesenangannya pada penemuan, yang dibuat dengan bantuan yang dia harapkan hanya misteri, yang mempercepat untuk berterima kasih kepada Allah SWT, dan memberikan sedekah atas orang miskin.
Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui perhitungannya sendiri, menemukan metode - metode baru dari perawatan. Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa "Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat - obat yang sesuai." Kemasyuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.
Pada usia 17 tahun, Ibnu Sina berhasil menyembuhkan seorang raja di Bukhara, yaitu Nooh Ibnu Mansoor, setelah semua tabib terkenal yang diundang gagal menyembuhkan sang raja tersebut. Dan sebagai balasannya, Ibnu Sina diizinkan untuk membaca smeua buku-buku di perpustakaan setelah dia menolak pemberian hadiah sang Raja.
Pekerjaan pertamanya menjadi fisikawan untuk emir, yang diobatinya dari suatu penyakit yang berbahaya. Majikan Ibnu Sina memberinya hadiah atas hal tersebut dengan memberinya akses ke perpustakaan raja Samanids, pendukung pendidikan dan ilmu. Ketika perpustakaan dihancurkan oleh api tidak lama kemudian, musuh - musuh Ibnu Sina menuduh din oa yang membakarnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan sumber pengetahuannya. Sementara itu, Ibnu Sina membantu ayahnya dalam pekerjaannya, tetapi tetap meluangkan waktu untuk menulis beberapa karya paling awalnya.
Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal.Samanid dynasty menuju keruntuhannya pada Desember 1004. Ibnu Sina menolak pemberian Mahmud of Ghazni, dan menuju kearah Barat ke Urgench di Uzbekistan modern, dimana vizier, dianggap sebagai teman seperguruan, memberinya gaji kecil bulanan. Tetapi gajinya kecil, sehingga Ibnu Sina mengembara dari satu tempat ke tempat lain melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan Khorasan, mencari suatu opening untuk bakat - bakatnya. Shams al-Ma'äli Qäbtis, sang dermawan pengatur Dailam, seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibn Sina mengharapkan menemukan tempat berlindung, dimana sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh oleh pasukannya yang memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat itu terkena penyakit yang sangat parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi, Ibnu Sina bertamu dengan seorang teman, yang membeli sebuah ruman didekat rumahnya sendiri idmana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi. Beberapa dari buku panduan Ibnu Sina ditulis untuk orang ini ; dan permulaan dari buku Canon of Medicine juga dikerjakan sewaktu dia tinggal di Hyrcania.
Ibnu Sina wafat pada tahun 1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Ia wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah.
Pemikiran Ibnu Sina
Di antara buku-buku dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Sina, kitab al-Syifa’ dalam filsafat dan Al-Qanun dalam ilmu kedokteran dikenal sepanjang massa. Al-Syifa’ ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu filsafat, mantiq, matematika, ilmu alam dan ilahiyyat. Mantiq al-Syifa’ saat ini dikenal sebagai buku yang paling otentik dalam ilmu mantiq islami, sementara pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat dari kitab al-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi bahan telaah.
Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Seiring dengan kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad ke-12 masehi, kitab Al-Qanun karya Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Kini buku tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Al-Qanun adalah kitab kumpulan metode pengobatan purba dan metode pengobatan Islam. Kitab ini pernah menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di universitas-universitas Eropa.
Ibnu juga memiliki peran besar dalam mengembangkan berbagai bidang keilmuan. Beliau menerjemahkan karya Aqlides dan menjalankan observatorium untuk ilmu perbintangan. Dalam masalah energi Ibnu Sina memberikan hasil penelitiannya akan masalah ruangan hampa, cahaya dan panas kepada khazanah keilmuan dunia.
Dikatakan bahwa Ibnu Sina memiliki karya tulis yang dalam bahasa latin berjudul De Conglutineation Lagibum. Dalam salah bab karya tulis ini, Ibnu Sina membahas tentang asal nama gunung-gunung. Pembahasan ini sungguh menarik. Di sana Ibnu Sina mengatakan, “Kemungkinan gunung tercipta karena dua penyebab. Pertama menggelembungnya kulit luar bumi dan ini terjadi lantaran goncangan hebat gempa. Kedua karena proses air yang mencari jalan untuk mengalir. Proses mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan penggelembungan pada permukaan bumi. Sebab sebagian permukaan bumi keras dan sebagian lagi lunak. Angin juga berperan dengan meniup sebagian dan meninggalkan sebagian pada tempatnya. Ini adalah penyebab munculnya gundukan di kulit luar bumi.”
Ibnu Sina dengan kekuatan logikanya -sehingga dalam banyak hal mengikuti teori matematika bahkan dalam kedokteran dan proses pengobatan- dikenal pula sebagai filosof tak tertandingi. Menurutnya, seseorang baru diakui sebagai ilmuan, jika ia menguasai filsafat secara sempurna. Ibnu Sina sangat cermat dalam mempelajari pandangan-pandangan Aristoteles di bidang filsafat. Ketika menceritakan pengalamannya mempelajari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku bahwa beliau membaca kitab Metafisika karya Aristoteles sebanyak 40 kali. Beliau menguasai maksud dari kitab itu secara sempurna setelah membaca syarah atau penjelasan ‘metafisika Aristoteles’ yang ditulis oleh Farabi, filosof muslim sebelumnya.
Dalam filsafat, kehidupan Abu Ali Ibnu Sina mengalami dua periode yang penting. Periode pertama adalah periode ketika beliau mengikuti faham filsafat paripatetik. Pada periode ini, Ibnu Sina dikenal sebagai penerjemah pemikiran Aristoteles. Periode kedua adalah periode ketika Ibnu Sina menarik diri dari faham paripatetik dan seperti yang dikatakannya sendiri cenderung kepada pemikiran iluminasi.
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filosof sebelumnya semisal Al-Kindi dan Farabi, Ibnu Sina berhasil menyusun sistem filsafat islam yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan besar yang dilakukan Ibnu Sina adalah menjawab berbagai persoalan filsafat yang tak terjawab sebelumnya.
Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Albertos Magnus, ilmuan asal Jerman dari aliran Dominique yang hidup antara tahun 1200-1280 Masehi adalah orang Eropa pertama yang menulis penjelasan lengkap tentang filsafat Aristoteles. Ia dikenal sebagai perintis utama pemikiran Aristoteles Kristen. Dia lah yang mengawinkan dunia Kristen dengan pemikiran Aristoteles. Dia mengenal pandangan dan pemikiran filosof besar Yunani itu dari buku-buku Ibnu Sina. Filsafat metafisika Ibnu Sina adalah ringkasan dari tema-tema filosofis yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat.
Ibnu Sina merupakan seorang ahli geografi yang mampu menerangkan bagaimana sungai-sungai berhubungan dan berasal dari gunung-ganang dan lembah-lembah. Malahan ia mampu mengemukakan suatu hipotesis atau teori pada waktu itu di mana gagal dilakukan oleh ahli Yunani dan Romani sejak dari Heredotus, Aristoteles sehinggalah Protolemaious. Menurut Ibnu Sina " gunung-ganang yang memang letaknya tinggi iaitu lingkungan mahupun lapisannya dari kulit bumi, maka apabila ia diterajang lalu berganti rupa dikarenkan oleh sungai-sungai yang meruntuhkan pinggiran-pinggirannya. Akibat proses seperti ini, maka terjadilah apa yang disebut sebagai lembah-lembah."
Ibnu Sina juga telah memperkembangkan ilmu psikologi dalam perubatan dan membuat beberapa perjumpaan dalam ilmu yang dikenali hari ini sebagai ilmu perubatan psikosomatics "psychosomatic medicine". Beliau memperkembangkan ilmu diagnosis melalui denyutan jantung (pulse diagnosis) untuk mengenal pasti dalam masa beberapa detik sahaja ketidak - seimbangan humor yang berkenaan . Diagnosis melalui denyutan jantung ini masih dipratikkan oleh para hakim (doktor-doktor muslim) di Pakistan, Afghanistan dan Parsi yang menggunakan ilmu perubatan Yunani. Seorang doktor tabii dari Amerika (1981) melapurkan bahawa para hakim di Afghanistan, China, India dan Parsi sanggat berkebolehan dalam denyutan jantung di tempat yang dirasai tetapi mutunya yang pelbagai .Ini merangkumi :
· Kuat atau denyutan yang lemah.
· Masa antara denyutan.
· Kandungannya lembap di paras kulit dekat denyutan itu dan lain-lain lagi.
Dari ukuran-ukuran denyutan jantung seseorang hakim mungkin mengetahui dengan tepat penyakit yang dihinggapi di dalam tubuh si pesakit. Ibnu Sina menyedari kepentingan emosi dalam pemulihan. Apabila pesakit mempunyai sakit jiwa disebabkan oleh pemisahan daripada kekasihnya , beliau boleh mendapati nama dan alamat kekasihnya itu melalui cara berikut:
Caranya adalah untuk menyebut banyak nama dan mengulanginya dan semasa itu jarinya diletakkan atas denyutan (pulse) apabila denyutan itu terjadi tidak teratur atau hampir-hampir berhenti , seseorang itu hendaklah mengulang proses tersebut. Dengan cara yang sedemikan , nama jalan , rumah dan keluarga disebutkan. Selepas itu , kata Ibnu Sina "Jika anda tidak dapat mengubat penyakitnya maka temukanlah si pesakit dengan kekasihnya , menurut peraturan syariah maka buatlah".(Terjemahan). Ibnu Sina adalah doktor perubatan yang pertama mencatatkan bahawa penyakit paru-paru (plumonary tuberculosis) adalah suatu penyakit yang boleh menjangkit (contagious) dan dia menceritakan dengan tepat tanda-tanda penyakit kencing manis dan masalah yang timbul darinya. Beliau sangat berminat dalam bidang mengenai kesan akal (mind) atas jasad dan telah banyak menulis berkenaan gangguan psikologi.
Karya Ibnu Sina
Buku-buku yang pernah dikarang oleh Ibnu Sina, dihimpun dalam buku besar Essai de Bibliographie Avicenna yang ditulis oleh Pater Dominician di Kairo dan diantara beberapa karya Ibnu Sina ialah :
1. Qanun fi Thib (Canon of Medicine) (Terjemahan bebas : Aturan Pengobatan)
2. Asy Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan)
3. An Nayyat (Book of Deliverence) buku tentang kebahagiaan jiwa.
4. Al-Majmu : berbagai ilmu pengetahuan yang lengkap, di tulis saat berusia 21 tahun di Kawarazm
5. Isaguji (The Isagoge) ilmu logika Isagoge : Bidang logika
6. Fi Aqsam al-Ulum al-Aqliyah (On the Divisions of the Rational Sciences) tentang pembahagian ilmu-ilmu rasional.
7. Ilahiyyat (Ilmu ketuhanan) : Bidang metafizika
8. Fiad-Din yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi "Liber de Mineralibus" yakni tentang pemilikan (mimeral).
9. Risalah fi Asab Huduts al-Huruf : risalah tentang sebab-sebab terjadinya huruf - Bidang sastera arab
10. Al-Qasidah al- Aniyyah : syair-syair tentang jiwa manusia - Bidang syair dan prosa
11. Risalah ath-Thayr : cerita seekor burung. - Cerita-cerita roman fiktif
12. Risalah as-Siyasah : (Book on Politics) – Buku tentang politik - Bidang politik
13. Al Mantiq, tentang logika. Buku ini dipersembahkan untuk Abu Hasan Sahil.
14. Uyun Al Hikmah (10 jilid) tentang filsafat. Ensiklopedi Britanica menyebutkan bahwa kemungkinan besar buku ini telah hilang.
15. Al Hikmah El Masyriqiyyin, tentang filsafat timur.
16. Al Insyaf tentang keadilan sejati.
17. Al Isyarat Wat Tanbihat, tentang prinsip ketuhanan dan kegamaan.
18. Sadidiya, tentang kedokteran.
19. Danesh Nameh, tentang filsafat.
20. Mujir. Kabir Wa Saghir, tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap.
21. Salama wa Absal, Hayy ibn Yaqzan, al-Ghurfatul Gharabiyyah (Pengasingan di Barat)
15. IBNU KHALDUN, BAPAK SOSIAL POLITIK
Ia memetakan masyarakat dengan interaksi sosial, politik, ekonomi, dan geografiyang melingkupinya. Pendekatan ini dianggap menjadi terobosan yang sangat signifikan.
Pemikiran dan teori-teori politiknya yang sangat maju telah mempengaruhi karya-karya para pemikir politik terkemuka sesudahnya, seperti Machiavelli dan Vico. "Ia mampu menembus ke dalam fenomena sosial sebagai filsuf dan ahli ekonomi yang dalam ilmunya. Fakta inilah yang mendorong kita untuk melihat karya-karyanya sebagai seni, yang berpandangan jauh dan kritis, sesuatu yang sama sekali tidak pernah dikenal pada masa hidupnya," tulis Colosia, ahli sejarah Barat kontemporer.
Tapi, siapa sejatinya pemikir dan ulama peletak dasar ilmu sosiologi dan politik melalui karya magnum opus-nya, Al Muqaddimah. Lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/27 Mei 1332 dengan nama Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Ibnu Khaldun. Moyangnya berasal dari Hadramaut, Yaman, yang berimigrasi ke Sevilla, Andalusia (Spanyol). Namun keluarganya harus pindah ketika Sevilla dikuasai oleh Kristen.
Khaldun berasal dari keluarga intelektual, yang sedikit tertarik dengan persoalan politik. Ia biasa berjumpa dengan tokoh intelektual dari Afrika Utara dan Spanyol yang sebagian besar adalah pengungsi dari kekhalifahan timur.
Pendidikannya dilalui di Tunisia dan Fez (Maroko) dengan mempelajari berbagai ilmu: menghafal Al-Quran, mempelajari tata bahasa, hukum Islam (syariah), hadis, retorika, filologi, dan puisi. Selain itu, ia mempelajari sastra Arab, filsafat, matematika dan astronomi. Khaldun sangat terlibat dengan politik. Ismail Faruqi mencatat, "Ibnu Khaldun tepat sekali masuk ke dalam lingkungan ini, seakan-akan tidak hanya dilahirkan dalam lingkungan ini, namun juga untuk lingkungan ini."
Kariernya di bidang politik membawanya keluar masuk istana, baik sebagai pemenang maupun pecundang. Usia mudanya dihabiskan sebagai pendamping, penasihat sultan serta menduduki aneka jabatan. Pada umur 19 tahun, ia mulai mengabdi pada Ibnu Tafrakin, penguasa Tunis. Ketika Abu Ziad, penguasa Constantine menyerang dan mengalahkan Tunisia, Khaldun melepaskan diri ke Aba, lalu berpindah ke Aljazair dan menetap di Biskra.
Kariernya menanjak saat ia membantu Sultan Abu Salem dalam menjatuhkan Al-Mansur, musuh politiknya. Ia diberi jabatan sekretaris selama lebih dari dua tahun, lalu ditugaskan sebagai kadi (hakim). Sultan Abu Salim tak lama kemudian dijatuhkan oleh Wazir Omar. Gagal mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan yang baru, Ibnu Khaldun meninggalkan Fez dan pergi ke Andalusia.
Kemelut untuk kesekian kalinya membawa Ibnu Khaldun berpindah ke Mesir. Ia datang ke Aleksandria pada Oktober 1382 dalam usia 50 tahun, setelah gagal dalam perjalanannya menuju tanah suci. Ia bahkan sempat mengajar di Al Azhar dan sekolah lainnya sampai kemudian diangkat sebagai hakim.
Penguasa Mesir Sultan Faraj, menugaskannya untuk berunding dengan Timurlane, penguasa Mongol yang hendak menginvasi Damaskus. Misi berbahaya ini diselesaikannya dengan sukses sehingga dia mendapatkan banyak penghargaan.
Ibnu Khaldun Dalam Karya
Sebagai seorang politisi, Ismail Al Faruqi mengakui kecemerlangan dan penilaiannya yang jitu atas berbagai konflik yang harus diselesaikannya. Itu karena Ibnu Khaldun menopang dirinya lewat analisis sosial yang cemerlang. Metode penulisannya dikaji oleh Al Faruqi sebagai 'mengikuti kaum Hellenis Muslim' seperti Al Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Ibnu Khaldun memetakan masyarakat dengan interaksi sosial, politik, ekonomi, dan geografi yang melingkupinya. Pendekatan ini dianggap menjadi terobosan yang sangat signifikan. Menurutnya, organisme dapat tumbuh dan matang, karena sebab-sebab nyata yang mempengaruhinya.
Pengaruh itu universal dan pasti. Tak ada kebetulan dalam sejarah sosial kecuali sebab dan akibatnya semata, sebagian jelas dan diketahui, sebagian lagi tidak. Formasi masyarakat, pikiran yang dituangkan dalam karya besarnya, Muqaddimah, misalnya, dikatakan sebagai hasrat manusia untuk berkumpul, bersaing, lalu memperebutkan kepemimpinan. Mereka diikat dengan solidaritas ashabiyah (ungkapan pra-Islam) yang diarahkan oleh para pimpinannya. Ia memperkirakan bahwa solidaritas itu berlangsung empat generasi.
Model ini menempatkan Ibnu Khaldun sebagai penganut teori siklus sejarah. Masyarakat lahir, tumbuh, berkembang, lalu mati untuk diganti dengan yang lain. Demikian seterusnya. Karyamonumentalnya itu juga berisi klasifikasi ilmu pengetahuan yang coba disusunnya. Ia membedakan ilmu yang dipelajari; pertama ilmu filsafat dan intelektual (bisa dipelajari melalui akal dan intelejensi); kedua, ilmu yang ditransmisikan (disampaikan, hanya bisa disampaikan lewat mata rantainya yang berakhir pada pendirinya, biasanya ilmu agama dan Wahyu Illahi).
Dalam konteks ini ilmu filsafat masuk dalam ilmu-ilmu agama dan humanisme. Khaldun menegaskan bahwa ilmu filsafat dan intelektual terbagi ke dalam berbagai bidang: logika; ilmu alam atau fisika, ilmu metafisika, ilmu yang berkaitan dengan kuantitas (misal geometri, aritmetika, musik, astronomi).
Sementara ilmu yang ditransmisikan seperti: Al-Quran; hadis; syariah; teologi; sufisme; ilmu bahasa [linguistik seperti tata bahasa, leksikografi, dan kesusasteraan). Selain Muqaddimah, ia juga menulis kitab Al I'bar yang memuat sejarah Arab, penguasa Islam dan Eropa di zamannya, sejarah kuno Arab, Yahudi, Yunani, Romawi, Persia, sejarah Islam, sejarah Mesir dan Afrika Utara; khususnya suku Barber dan suku yang berdekatan lainnya. Kitab ini memuat tiga bab, pertama memuat karya monumentalnya, yakni Al Muqaddimah.
Secara singkat, bab ini membicarakan asal muasal suatu masyarakat, kedaulatan, lahirnya kota-kota dan desa, dan lain sebagainya. Sebelumnya memang pernah ada karya yang membicarakan hal ini, namun Khaldun mengupasnya secara logis, sistematis dan teoritis.
Bagian kedua memuat empat jilid, ya.ng secara spesifik membicarakan sejarah bangsa Arab, serta dinasti-dinasti saat itu, termasuk dinasti-dinasti Syria, Persia, 'rurki, Yahudi, Yunani, Romawi, dan Prancis. Sementara bagian ketiga, terdiri dari dua jilid, membahas bangsa Barber dan sejarahnya, dan berisi pula kitab Al Tashrif(otobiografinya; yang memuat perspektif analitis yang ditiru dari tradisi baru mengenai seni penulisan otobiografi). Bab yang juga mengenalkan riwayat hidup penulisnya ini sekaligus menutup bagian keseluruhan isi karya monumentalnya tersebut.
Menurut Khaldun, sebuah negara berbudaya (hadharah) terbentuk melalui pembangunan dan penaklukan kota-kota oleh masyarakat "primitif' yang memiliki ashablyyah yang kuat. Tujuan pembentukan negara adalah untuk mewujudkan keinginan-keinginan alamiah, dan mengaktualisasikan potensi-potensi dan kesempurnaan hidup mereka.
Seperti halnya pada aspek-aspek lain kebudayaan yang berperadaban ( civilized culture), begitu negara berbudaya tercipta, maka niscaya ia mengikuti hukum alam tentang pertumbuhan, kedewasaan, dan kemerosotan. Hukum alam yang juga berlaku bagi perkembangan negara ini sering diibaratkan Khaldun dengan siklus kehidupan manusia: bayi, kanak-kanak, dan remaja; dewasa, tua, renta, dan mati.
Di masa awal terbentuknya sebuah negara, bagaimanapun ashabiyyah tetap dianggap sebagai faktor esensial bagi kelanjutan negara. Pada masa pertumbuhan ini, masyarakat harus membangun lembaga-lembaga yang perlu bagi budaya peradaban, termasuk kelembagaan kelas penguasa baru. Hasilnya, kata Khaldun, adalah kemunculan hubungan-hubungan politik baru, selain berbagai aktifitas politik yang baru. Semua ini tak akan tercapai dengan baik, kecuali dengan ashabiyyah, yang akan semakin kuat dengan bantuan sentimen agama.
Karena itu, ia memandang pentinganya ashabiyyah dalam suatu masyarakat dan negara. Bila Ashabiyyah dibina dan dikelola dengan baik, ia akan menjaga dan terus menumbuhkan stabilitas politik dan keamanan. Teori yang dikemukakan Khaldun itu kemudian dikenal orang sebagai "Teori Dis-integrasi" (ancaman perpecahan suatu masyarakat/ bangsa) .
Ia menulis soal itu lantaran melihat, secara faktual ancaman di-sintegrasi akan membayangi dan mengintai umat manusia bila mereka mengabaikan dimensi stabilitas sosial dan politik dalam masyarakatnya. Pandangan ini juga sebenarnya didasarkan pada kondisi riil masyarakat di mana Khaldun hidup ketika itu. Tapi juga ia telah memprediksikan bahwa di masa depan, dis-integrasi tetap menjadi ancaman serius bila tak menjadi perhatian kolektif.
Kontribusi Ibnu Khaldun dalam ilmu pengetahuan memang tak sedikit. Setidaknya, berkatnyalah dasar-dasar ilmu sosiologi politik dan filsafat dibangun. Tak heran jika warisannya itu banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Seorang sejarawan Barat, Dr Boer, menulis, "Ibnu Khaldun tak pelak lagi, adalah orang pertama yang mencoba menerangkan dengan lengkap evolusi dan kemajuan suatu kemasyarakatan, dengan alasan adanya sebab-sebab dan faktor-faktor tertentu, iklim, alat, produksi, dan lain sebagainya, serta akibat-akibatnya pada pembentukan cara berpikir manusia, dan pembentukan masyarakatnya. Dalam derap majunya peradaban, dia mendapatkan keharmonisan yang terorganisasikan dalam dirinya sendiri."
16. JABIR IBNU HAYYAN, PENEMU ILMU KIMIA
Ilmu kimia di kemudian hari berkembang sangat pesat dan dikenal banyak orang. Tapi, hanya sedikit yang tahu siapa sejatinya orang pertama yang menemukan ilmu eksakta tersebut. Adalah Abu Musa Jabir Ibnu Hayyan (721-815 H), ilmuwan Muslim pertama yang menemukan dan mengenalkan disiplin ilmu kimia tadi.
Lahir di kota peradaban Islam klasik, Kuffah (Irak), ilmuwan Muslim ini lebih dikenal dengan namaIbnu Hayyan. Sementara di Barat ia dikenal dengan nama Ibnu Geber. Ayahnya, seorang penjual obat, meninggal sebagai 'syuhada' demi penyebaran ajaran Syi'ah. Jabir kecil menerima pendidikannya dari raja bani Umayyah, Khalid Ibnu Yazid Ibnu Muawiyah, dan imam terkenal, Jakfar Sadiq. Ia juga pernah berguru pada Barmaki Vizier pada masa kekhalifahan Abbasiyah pimpinan Harun Al Rasyid.
Ditemukannya kimia oleh Jabir ini membuktikan, bahwa ulama di masa lalu tidak melulu lihai dalam ilmu-ilmu agama, tapi sekaligus juga menguasai ilmu-ilmu umum. "Sesudah ilmu kedokteran, astronomi, dan matematika, bangsa Arab memberikan sumbangannya yang terbesar di bidang kimia," tulis sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam History of The Arabs. Berkat penemuannya ini pula, Jabir dijuluki sebagai Bapak Kimia Modern.
Dalam karirnya, ia pernah bekerja di laboratorium dekat Bawwabah di Damaskus. Pada masamasa inilah, ia banyak mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru di sekitar kimia. Berbekal pengalaman dan pengetahuannya itu, sempat beberapa kali ia mengadakan penelitian soal kimia. Namun, penyelidikan secara serius baru ia lakukan setelah umurnya menginjak dewasa.
Dalam penelitiannya itu, Jabir mendasari eksperimennya secara kuantitatif dan instrumen yang dibuatnya sendiri, menggunakan bahan berasal dari logam, tumbuhan, dan hewani. Jabir mempunyai kebiasaan yang cukup konstruktif mengakhiri uraiannya pada setiap eksperimen. Antara lain dengan penjelasan : “Saya pertamakali mengetahuinya dengan melalui tangan dan otak saya dan saya menelitinya hingga sebenar mungkin dan saya mencari kesalahan yang mungkin masih terpendam “.
Dari Damaskus ia kembali ke kota kelahirannya, Kuffah. Setelah 200 tahun kewafatannya, ketika penggalian tanah dilakukan untuk pembuatan jalan, laboratoriumnya yang telah punah, ditemukan. Di dalamnya didapati peralatan kimianya yang hingga kini masih mempesona, dan sebatang emas yang cukup berat.
Teori Jabir
Pada perkembangan berikutnya, Jabir Ibnu Hayyan membuat instrumen pemotong, peleburan dan pengkristalan. Ia menyempurnakan proses dasar sublimasi, penguapan, pencairan, kristalisasi, pembuatan kapur, penyulingan, pencelupan, pemurnian, sematan (fixation), amalgamasi, dan oksidasi-reduksi.
Semua ini telah ia siapkan tekniknya, praktis hampir semua 'technique' kimia modern. Ia membedakan antara penyulingan langsung yang memakai bejana basah dan tak langsung yang memakai bejana kering. Dialah yang pertama mengklaim bahwa air hanya dapat dimurnikan melalui proses penyulingan.
Khusus menyangkut fungsi dua ilmu dasar kimia, yakni kalsinasi dan reduksi, Jabir menjelaskan, bahwa untuk mengembangkan kedua dasar ilmu itu, pertama yang harus dilakukan adalah mendata kembali dengan metoda-metoda yang lebih sempurna, yakni metoda penguapan, sublimasi, destilasi, penglarutan, dan penghabluran.
Setelah itu, papar Jabir, memodifikasi dan mengoreksi teori Aristoteles mengenai dasar logam, yang tetap tidak berubah sejak awal abad ke 18 M. Dalam setiap karyanya, Jabir melaluinya dengan terlebih dahulu melakukan riset dan eksperimen. Metode inilah yang mengantarkannya menjadi ilmuwan besar Islam yang mewarnai renaissance dunia Barat.
Namun demikian, Jabir tetap saja seorang yang tawadlu' dan berkepribadian mengagumkan. "Dalam mempelajari kimia dan ilmu fisika lainnya, Jabir memperkenalkan eksperimen objektif, suatu keinginan memperbaiki ketidakjelasan spekulasi Yunani. Akurat dalam pengamatan gejala, dan tekun mengumpulkan fakta. Berkat dirinya, bangsa Arab tidak mengalami kesulitan dalam menyusun hipotesa yang wajar," tulis Robert Briffault.
Menurut Briffault, kimia, proses pertama penguraian logam yang dilakukan oleh para metalurg dan ahli permata Mesir, mengkombinasikan logam dengan berbagai campuran dan mewarnainya, sehingga mirip dengan proses pembuatan emas. Proses demikian, yang tadinya sangat dirahasiakan, dan menjadi monopoli perguruan tinggi, dan oleh para pendeta disamarkan ke dalam formula mistik biasa, di tangan Jabir bin Hayyan menjadi terbuka dan disebarluaskan melalui penyelidikan, dan diorganisasikan dengan bersemangat.
Terobosan Jabir lainnya dalam bidang kimia adalah preparasi asam sendawa, hidroklorik, asam sitrat dan asam tartar. Penekanan Jabir di bidang eksperimen sistematis ini dikenal tak ada duanya di dunia. Inilah sebabnya, mengapa Jabir diberi kehormatan sebagai 'Bapak Ilmu Kimia Modern' oleh sejawatnya di seluruh dunia. Dalam tulisan Max Mayerhaff, bahkan disebutkan, jika ingin mencari akar pengembangan ilmu kimia di daratan Eropa, maka carilah langsung ke karyakarya Jabir Ibnu Hayyan.
Puaskah Jabir? Tidak! Ia terus mengembangkan keilmuannya sampai batas tak tertentu. Dalam hal teori keseimbangan misalnya, diakui para ilmuwan modern sebagai terobosan baru dalam prinsip dan praktik alkemi dari masa sebelumnya. Sangat spekulatif, di mana Jabir berusaha mengkaji keseimbangan kimiawi yang ada di dalam suatu interaksi zat-zat berdasarkan sistem numerologi (studi mengenai arti klenik dari sesuatu dan pengaruhnya atas hidup manusia) yang diterapkannya dalam kaitan dengan alfabet 28 huruf Arab untuk memperkirakan proporsi alamiah dari produk sebagai hasil dari reaktan yang bereaksi. Sistem ini niscaya memiliki arti esoterik, karena kemudian telah menjadi pendahulu penulisan jalannya reaksi kimia.
Jelas dengan ditemukannya proses pembuatan asam anorganik oleh Jabir telah memberikan arti penting dalam sejarah kimia. Di antaranya adalah hasil penyulingan tawas, amonia khlorida, potasium nitrat dan asam sulferik. Pelbagai jenis asam diproduksi pada kurun waktu eksperimen kimia yang merupakan bahan material berharga untuk beberapa proses industrial. Penguraian beberapa asam terdapat di dalam salah satu manuskripnya berjudul Sandaqal-Hikmah (Rongga Dada Kearifan) .
Seluruh karya Jabir Ibnu Hayyan lebih dari 500 studi kimia, tetapi hanya beberapa yang sampai pada zaman Renaissance. Korpus studi kimia Jabir mencakup penguraian metode dan peralatan dari pelbagai pengoperasian kimiawi dan fisikawi yang diketahui pada zamannya. Di antara bukunya yang terkenal adalah Al Hikmah Al Falsafiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berjudul SummaPerfecdonis.
Suatu pernyataan dari buku ini mengenai reaksi kimia adalah: "Air raksa (merkuri) dan belerang (sulfur) bersatu membentuk satu produk tunggal, tetapi adalah salah menganggap bahwa produk ini sama sekali baru dan merkuri serta sulfur berubah keseluruhannya secara lengkap. Yang benar adalah bahwa, keduanya mempertahankan karakteristik alaminya, dan segala yang terjadi adalah sebagian dari kedua bahan itu berinteraksi dan bercampur, sedemikian rupa sehingga tidak mungkin membedakannya secara seksama. Jika dihendaki memisahkan bagianbagian terkecil dari dua kategori itu oleh instrumen khusus, maka akan tampak bahwa tiap elemen (unsur) mempertahankan karakteristik teoretisnya. Hasilnya adalah suatu kombinasi kimiawi antara unsur yang terdapat dalam keadaan keterkaitan permanen tanpa perubahan karakteristik dari masing-masing unsur."
Ide-ide eksperimen Jabir itu sekarang lebih dikenal/dipakai sebagai dasar untuk mengklasifikasikan unsur-unsur kimia, utamanya pada bahan metal, nonmetal dan penguraian zat kimia. Dalam bidang ini, ia merumuskan tiga tipe berbeda dari zat kimia berdasarkan unsur-unsurnya:
1. Air (spirits), yakni yang mempengaruhi penguapan pada proses pemanasan, seperti pada bahan camphor, arsenik dan amonium klorida,
2. Metal, seperti pada emas, perak, timah, tembaga, besi, dan
3. Bahan campuran, yang dapat dikonversi menjadi semacam bubuk.
Sampai abad pertengahan risalah-risalah Jabir di bidang ilmu kimia --termasuk kitabnya yang masyhur, yakni Kitab Al-Kimya dan Kitab Al Sab'een, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Terjemahan Kitab Al Kimya bahkan telah diterbitkan oleh ilmuwan Inggris, Robert Chester pada 1444, dengan judul The Book of the Composition of Alchemy. Sementara buku kedua Kitab Al Sab'een, diterjemahkan oleh Gerard Cremona.
Berikutnya di tahun 1678, ilmuwan Inggris lainnya, Richard Russel, mengalihbahasakan karya Jabir yang lain dengan judul Summa of Perfection. Berbeda dengan pengarang sebelumnya, Richard-lah yang pertama kali menyebut Jabir dengan sebutan Geber, dan memuji Jabir sebagai seorang pangeran Arab dan filsuf. Buku ini kemudian menjadi sangat populer di Eropa selama beberapa abad lamanya. Dan telah pula memberi pengaruh pada evolusi ilmu kimia modern.
Karya lainnya yang telah diterbitkan adalah; Kitab al Rahmah, Kitab al Tajmi, Al Zilaq al Sharqi, Book of The Kingdom, Book of Eastern Mercury, dan Book of Balance (ketiga buku terakhir diterjemahkan oleh Berthelot). "Di dalamnya kita menemukan pandangan yang sangat mendalam mengenai metode riset kimia," tulis George Sarton. Dengan prestasinya itu, dunia ilmu pengetahuan modern pantas 'berterima kasih' padanya.
17. IBNU AL BAITAR, AHLI TUMBUHAN OBAT
Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdallah Ibn Ahmad Ibn al-Baitar Dhiya al-Din al-Malaqi. Namun salah satu ilmuwan Muslim terbaik yang pernah ada ini lebih dikenal sebagai Ibnu Al-Baitar. Dia dikenal sebagai ahli botani (tetumbuhan) dan farmasi (obat-obatan) pada abad pertengahan. Dilahirkan pada akhir abad 12 di kota Malaga (Spanyol), Ibnu Al-Baitar menghabiskan masa kecilnya di tanah Andalusia tersebut.
Minatnya pada tumbuh-tumbuhan sudah tertanah semenjak kecil. Beranjak dewasa, dia pun belajar banyak mengenai ilmu botani kepada Abu al-Abbas al-Nabati yang pada masa itu merupakan ahli botani terkemuka. Dari sinilah, al-Baitar pun lantas banyak berkelana untuk mengumpulkan beraneka ragam jenis tumbuhan.
Tahun 1219 dia meninggalkan Spanyol untuk sebuah ekspedisi mencari ragam tumbuhan. Bersama beberapa pembantunya, al-Baitar menyusuri sepanjang pantai utara Afrika dan Asia Timur Jauh. Tidak diketahui apakah jalan darat atau laut yang dilalui, namun lokasi utama yang pernah disinggahi antara lain Bugia, Qastantunia (Konstantinopel), Tunisia, Tripoli, Barqa dan Adalia.
Setelah tahun 1224 al-Baitar bekerja untuk al-Kamil, gubernur Mesir, dan dipercaya menjadi kepala ahli tanaman obat. Tahun 1227, al-Kamil meluaskan kekuasaannya hingga Damaskus dan al-Baitar selalu menyertainya di setiap perjalanan. Ini sekaligus dimanfaatkan untuk banyak mengumpulkan tumbuhan. Ketika tinggal beberapa tahun di Suriah, Al-Baitar berkesempatan mengadakan penelitian tumbuhan di area yang sangat luas, termasuk Saudi Arabia dan Palestina, di mana dia sanggup mengumpulkan tanaman dari sejumlah lokasi di sana.
Sumbangsih utama Al-Baitar adalah Kitab al-Jami fi al-Adwiya al- Mufrada. Buku ini sangat populer dan merupakan kitab paling terkemuka mengenai tumbuhan dan kaitannya dengan ilmu pengobatan Arab. Kitab ini menjadi rujukan para ahli tumbuhan dan obat-obatan hingga abad 16. Ensiklopedia tumbuhan yang ada dalam kitab ini mencakup 1.400 item, terbanyak adalah tumbuhan obat dan sayur mayur termasuk 200 tumbuhan yang sebelumnya tidak diketahui jenisnya. Kitab tersebut pun dirujuk oleh 150 penulis, kebanyakan asal Arab, dan dikutip oleh lebih dari 20 ilmuwan Yunani sebelum diterjemahkan ke bahasa Latin serta dipublikasikan tahun 1758.
Karya fenomenal kedua Al-Baitar adalah Kitab al-Mughni fi al-Adwiya al-Mufrada yakni ensiklopedia obat-obatan. Obat bius masuk dalam daftar obat terapetik. Ditambah pula dengan 20 bab tentang beragam khasiat tanaman yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Pada masalah pembedahan yang dibahas dalam kitab ini, Al-Baitar banyak dikutip sebagai ahli bedah Muslim ternama, Abul Qasim Zahrawi. Selain bahasa Arab, Baitar pun kerap memberikan nama Latin dan Yunani kepada tumbuhan, serta memberikan transfer pengetahuan.
Kontribusi Al-Baitar tersebut merupakan hasil observasi, penelitian serta pengklasifikasian selama bertahun-tahun. Dan karyanya tersebut di kemudian hari amat mempengaruhi perkembangan ilmu botani dan kedokteran baik di Eropa maupun Asia. Meski karyanya yang lain yakni kitab Al-Jami baru diterjemahkan dan dipublikasikan ke dalam bahasa asing, namun banyak ilmuwan telah lama mempelajari bahasan-bahasan dalam kitab ini dan memanfaatkannya bagi kepentingan umat manusia.
18. YAQUT AL HIMAWI , AHLI SEJARAH DAN GEORAFI
Yaqut ibn-'Abdullah al-Rumi al-Hamawi - ياقوت الحموي الرومي (1179-1229 M) adalah seorang biografer dan ahli geografis erkebangsaan syria yang hidup antara 1179 hingga 1229 M. Kata "al-Rumi" ("from Rûm") dalam namanua ialah mengacu pada Yunani (Byzantium - Rumawi Timur) karena beliau berdarah Yunani. Sedang "al-Hamawi" berarti Hama - Syria, kota yang membuatnya terkenal. Dan Yaqut sendiri berarti batu permata.
Yaqut pernah menja lani kehidupan sebagai seorang budak. Saat itu, berkecamuk perebutan kekuasaan antara Kerajaan Seljuk dan Byzantium. Banyak orang yang kemudian ditangkap dan dijual kepada orang kaya sebagai budak.
Saat itu, Yaqut jatuh ke tangan seorang pedagang buku dari Baghdad. Namun, pedagang tersebut akhirnya membebaskan Yaqut dan memberinya pendidikan yang memadai. Namun, ia juga masih terus ikut bersama pedagang tersebut, ia menjadi sekretaris mantan tuannya.
Bahkan, Yaqut juga ikut berkeliling ke sejumlah wilayah bersama pedagang buku tersebut. Ia pun kemudian menjadi penulis. Bahkan, ia menguasai bahasa Arab. Ia tertarik pula dengan geografi. Pengalamannya dalam mengunjungi sejumlah tempat membuatnya tertarik menuliskannya.
Yaqut akhirnya sampai ke Kota Merv, Turkmenistan, sebuah kota yang dikenal sebagai gudangnya ilmu pengetahuan dan ilmuwan. Ia sangat menyukai kota tersebut dan tinggal di sana selama dua tahun. Ia senang mengunjungi perpustakaan yang ada di masjid dan madrasah.
Menurut Yaqut, di satu perpustakaan yang ada di masjid agung di Merv, terdapat 12 ribu judul buku. Ia betah berkutat di perpustakaan itu. Ia bahkan diizinkan petugas perpustakaan membawa 200 buku dalam satu waktu ke dalam sebuah ruangan di perpustakaan itu.
Pada 1218, Yaqut pindah ke Khiva dan Balkh. Namun, ini merupakan saat yang salah baginya untuk pindah. Sebab, pada awal 1220-an, tentara Mongol bergerak ke wilayah barat. Seluruh wilayah timur Islam dihancurkan.
Hanya dalam kurun waktu satu tahun, Mongol berhasil menguasai bagian-bagian wilayah Islam yang subur dan makmur. Kemudian, mereka menghancurkan semua yang berharga. Anak lelaki Jengiz Khan, Jagtai, menguasai dan menghancurkan Otrar.
Sedangkan, tentara Jengiz Khan menyerang Bukhara, Samarkand, dan Balkh. Mereka juga bergerak menuju Khurasan. Merv dan Nishapur akhirnya takluk juga. Dalam penyerangan itu, Yaqut hampir tertangkap. Namun, akhirnya, ia berhasil lolos dengan pakaian yang melekat di tubuhnya.
Beruntung, Yaqut juga berhasil membawa manuskrip-manuskrip yang dimilikinya. Ia bergerak menyeberangi Persia ke Mosul. Dari Mosul, ia ke Aleppo, Suriah, di mana ia tinggal di sana. Selama tinggal di sana, ia sempat melancong ke beberapa tempat, seperti Irak.
Yaqut berujar, jika ilmuwan tak memikirkan sebuah karya dan manfaat bagi orang lain, ini menjadi awal bagi manipulasi ilmu pengetahuan.
Misteri sebuah tempat, memikat hati Yaqut ibn-‘Abdullah al-Rumi al-Hamawi. Ilmuwan yang lahir di Asia Kecil ini, kemudian menelusuri dan menyingkap beragam tempat yang ia kun jungi dan dikisahkan oleh orang-orang yang ia jumpai setelah melakukan sebuah perjalanan.
Ketertarikan Yaqut, demikian ia sering dipanggil, membuahkan sejumlah karya dalam bidang yang kemudian akrab disebut geografi. Paling tidak ada dua karya yang melambungkan namanya, yaitu Mu’jam al-Udaba atau Kamus Orang-orang Terpelajar.
Sedangkan buku lainnya yang secara khusus membicarakan tentang bidang yang ia kuasai, geografi, berjudul Mu’ajam al-Buldan atau Kamus Negara-negara. Dua karya tersebut memiliki ketebalan hingga 33.180 halaman.
Mu’jam al-Buldan, merupakan sebuah ensiklopedia geografi yang lengkap, yang memuat hampir seluruh wilayah yang ada di abad pertengahan dan kejayaan Islam. Dalam menjelaskan sebuah tempat, Yaqut memasukkan hampir seluruh aspek yang terkait tempat tersebut.
Yaqut menguraikan mengenai aspek arkeologi, etnografi, antropologi, ilmu alam, geografi, dan koordinat dari setiap tempat yang ia jelaskan dalam ensiklopedianya itu. Bahkan, ia juga memberikan nama untuk setiap kota, menginformasikan monumen dan bangunan megah di kota itu.
Tak lupa pula, Yaqut mengisahkan tentang sejarah sebuah tempat, populasi, hingga figur atau sosok ternama dari tempat atau kota yang ia jelaskan. Untuk mendapatkan informasi perinci yang ia gunakan dalam ensiklopedianya itu, ia melangkahkan kakinya ke sejumlah wilayah.
Yaqut bepergian ke Persia, Arabia, Irak, dan Mesir. Ia sendiri saat itu menetap di Allepo, Suriah. Ia membangun relasi dan pertemanan dengan para ahli geografi dan sejarawan. Ia mengorek kumpulan fakta dari mereka dan juga para pelancong.
Namun, hal yang paling penting dan ini menjadi ruh dalam ensiklopedianya itu, ia menuliskan fakta-fakta yang dikumpulkan dari perjalanan-perjalanan yang ia lakukan sendiri dan dari orang yang ia temui saat ia melakukan sebuah perjalanan.
Selain itu, Yaqut juga sepenuhnya memahami dengan beragam konsep para ahli geografi Muslim sebelumnya bahwa mereka tak hanya menguasai geografi, tetapi juga mengaitkannya dengan sejumlah bidang ilmu lainnya. Seperti, matematika dan fisika.
Semua itu, Yaqut tuangkan pula dalam karyanya. Bahkan, dalam bab pendahuluan di dalam ensiklopedianya itu, ia terlebih dahulu membahas mengenai istilah yang ia gunakan dalam karyanya itu dan istilah-istilah geografi yang tersebar di dalamnya.
Untuk melengkapi dan memperkaya data, Yaqut memanfaatkan hasil kerja dari ilmuwan-ilmuwan sebelumnya. Namun, ia bersikap kritis terhadap data-data yang ia gunakan. Ia melakukan koreksi atas data yang ingin ia gunakan jika memang diperlukan.
Bahkan, Yaqut dikenal sebagai ilmuwan yang sangat ketat dengan data dan fakta yang ingin ia gunakan dalam karyanya. Hasil kerjanya, merupakan akhir dari sebuah proses ketat yang ia lakukan. Semua data dan fakta ia teliti. Fakta yang dinilai tak valid, ia buang.
Yaqut sangat berpegang pada akurasi dan ketelitian informasi. Tak heran jika dalam laman Muslimheritage, disebutkan bahwa Mu’jam al-Buldan hingga sekarang dianggap sebagai sumber referensi yang sangat bagus.
Dalam karyanya itu, Yaqut juga melihat adanya hubungan erat antara geografi dan sejarah. Ia menekankan pula peran ortografi atau sistem penulisan dari tempat-tempat yang ia gambarkan dalam karya ensiklopedianya itu.
Selain itu, pengaturan alfabet dalam karyanya, merupakan upaya untuk memberikan ejaan yang tepat mengenai nama-nama tempat, posisi geografisnya, batas, pegunungan, padang pasir, laut, dan pulau-pulau yang ada di suatu tempat.
Yaqut juga menyematkan nama pada setiap tempat, nama aslinya, termasuk anekdot, dan fakta-fakta penting lainnya yang terkait tempat yang ia jelaskan itu. Ia memberikan catatan pula, para penulis terdahulu tak memiliki perhatian memadai soal ketepatan ejaan sebuah tempat.
Tak hanya itu, Yaqut juga menilai mereka menyebutkan lokasi yang tepat mengenai sejumlah tempat. Ini membuat banyak ilmuwan salah mendapatkan informasi dari catatan-catatan yang dihasilkan oleh sejumlah ilmuwan terdahulu.
Yaqut juga menegaskan, karya ensiklopedianya itu tak hanya bermanfaat bagi Muslim dalam bepergian. Apa yang ia tulis juga terinsipirasi ajaran Alquran. Ia yakin bahwa karyanya bukan hanya berguna bagi para pelancong, tapi juga bagi para hakim, teolog, sejarawan, dan dokter.
Dalam karya lainnya, yang dalam bahasa Inggris berjudul Dictionary of Men of Letters, Yaqut menuliskan pandangannya. Ia membedakan antara orang terpelajar dengan ilmuwan. Ia mengatakan, orang terpelajar memilih dari segala bahan kemudian menyusunnya.
Sedangkan ilmuwan, ungkap Yaqut, adalah seseorang yang memilih cabang ilmu pengetahuan tertentu kemudian mengembangkannya. Ia juga menekankan pada kegunaan atau manfaat. Dalam konteks ini, ia mengutip seorang ilmuwan bernama Ali Ibnu al-Hasan.
Jika ilmuwan tak berpikir tentang kegunaan dan hasil kerja, ujar Yaqut, itu akan menjadi awal bagi terwujudnya manipulasi terhadap ilmu pengetahuan. Dengan persepsinya itu, ia kemudian menuntaskan Mu'jam al-Udaba.
Di sisi lain, Yaqut juga berpandangan bahwa ilmu di atas kekuasaan. Ia menuliskan pandangannya itu dalam Mu'jam al-Udaba, melalui sebuah kisah Khalifah Al-Mutamid. Suatu pagi, khalifah berjalan di taman dan mengangkat Thabit Ibnu Qurra dengan tangganya.
Lalu, Khalifah Al-Mutamid, menjatuhkan Thabit secara perlahan. Dan ini membuat Thabit bertanya. Ada apa tuan? tanya Thabit. Khalifah pun kemudian menjawab, tanganku ada di atasmu, namun ilmu pengetahuan lebih tinggi lagi, katanya.
Dalam karyanya tersebut, Yaqut ingin menjelaskan bahwa dalam persepsi Muslim, tingkatan ilmu pengetahuan lebih tinggi dibandingkan kekuatan politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar