Selasa, 15 Mei 2012

PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA


PERKEMBANGAN ISLAM
DI INDONESIA

A.    KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA SEBELUM DATANGNYA ISLAM
Menurut ahli etnologi, asal-usul keturunan bangsa Indonesia berasal dari rumpun bangsa Austronesia dari Hindia Belanda. Sekarang termasuk daerah Thailand, Birma, Kamboja, Laos, Khmer dan Tonkin.
Kehidupan penduduk bangsa Indonesia pada waktu itu masih bergantung pada alam. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari makanan sehingga menyebarlah penduduk Indonesia di seluruh pulau, diantaranya Kalimantan, Sumatera dan Jawa.
Nama ‘Indonesia’ pertama-tama disebutkan oleh orang Inggris yang bernama Richard Legan. Ia menyebut Indonesia dengan maksud memberi sinonim bagi istilah India atau kepulauan Indonesia.
Sebelum agama Islam datang, bangsa Indonesia sudah memeluk bermacam-macam kepercayaan dan agama. Kepercayaan itu disebut animisme dan dinamisme, sedangkan agamanya adalah Hindu dan Budha.
B.     MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA DAN PEMBAWANYA
Kedatangan agama Islam ke Indonesia umumnya dihubungkan dengan masalah perdagangan dan pelayaran. Hubungan pelayaran dan perdagangan antara bangsa-bangsa yang mendiami Asia, baik bagian barat, bagian timur maupun bagian tenggara, sudah ada sejak abad pertama Masehi.
Dua faktor utama yang menyebabkan Indonesia mudah dikenal oleh bangsa-bangsa lain, khususnya oleh bangsa-bangsa di Timur Tengah dan Timur Jauh, yaitu:
1.      Faktor letak geografis yang strategis, yaitu Indonesia berada di persimpangan jalan raya internasional dari jurusan Timur Tengah, Tiongkok, melalui lautan dan jalan menuju Benua Amerika dan Australia.
2.      Faktor kesuburan tanahnya yang menghasilkan bahan-bahan keperluan hidup yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa lain. Misalnya, rempah-rempah (Depag, 1985:128)
Sejarah membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M/1 H (Sidi Ibrahim Boechari, 1981:32), tetapi baru meluas pada abad ke-13 M. perluasan Islam ditandai adanya kerajaan Islam tertua di Indonesia, seperti Perlak pada tahun 1292 dan Samudra Pasai di Aceh pada tahun 1297. Melalui pusat-pusat perdagangan di daerah pantai samudera utara dan urat nadi perdagangan di Malaka, agama Islam kemudian menyebar ke Pulau Jawa dan seterusnya ke Indonesia bagian timur. Walaupun di sana terjadi peperangan, masuknya Islam ke Indonesia dan peralihan dari agama Hindu ke agama Islam, pada umumnya berlangsung secara damai (BP3K Depdikbud, 1979: 31).
Mukti Ali mengatakan bahwa suksesnya penyiaran Islam di Indonesia, selain karena ajaran-ajaran Islam itu gampang dimengerti, juga karena kesanggupan pembawa Islam dalam memberikan konsensi terhadap yang ada dan hidup dalam masyarakat (A. Mukti Ali, 1974: 6). Sementara itu, Fachry Ali dan Bachtiar Effendi menguraikan, tiga faktor utama yang mempercepat proses penyebaran Islam di Indonesia.
1.      Ajaran Islam melaksanakan prinsip ketauhidan dalam sistem ketuhanannya suatu prinsip yang secara tegas menekan ajaran untuk memercayai Tuhan Yang Maha Tunggal. Sebagai konsekuensinya, Islam juga mengajarkan prinsip keadilan dan persamaan dalam tata hubungan kemasyarakatan. Hal ini merupakan ajaran baru yang bertentangan, secara diametral, dengan hubungan kemasyarakatan pada waktu itu, yaitu sistem kasta yang berasal dari ajaran Hindu. Dengan memilih Islam, pada dasarnya mereka telah menempatkan diri pada suatu kehidupan keagamaan yang mempunyai asas persamaan, kebebasan, dan keadilan. Hal ini karena menurut Islam, semua manusia adalah sama dalam pandangan Tuhan. Adapun yang membedakannya hanyalah ketakwaannya kepada Allah SWT.
2.      Daya lentur (fleksibilitas) ajaran Islam, dalam pengertian bahwa ia merupakan kodifikasi nilai-nilai yang universal. Ajaran Islam begitu lentur ketika berhadapan dengan berbagai bentuk situasi kemasyarakatan. Islam tidak secara serentak menggantikan seluruh tatanan nilai yang telah berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebelum datangnya Islam. Bahkan, hingga taraf-taraf tertentu, nilai-nilai kemasyarakatan yang telah ada, seperti rendah hati, sabar, mementingkan orang lain, dan sebagainya disubordinasikan dalam ajaran Islam, sebab ajaran-ajaran seperti itu juga dikandung oleh Islam.
Namun demikian, tidak semua nilai lama yang telah ada itu secara keseluruhan sesuai dengan ajaran Islam. Ajaran lama yang oleh Islam dianggap bertentangan secara diametral, tentunya tidak ditoleransi dan perlu diislamisasi.
3.      Islam oleh masyarakat Indonesia dianggap suatu institusi yang amat dominan untuk menghadapi dan melawan ekspansi pengaruh Barat melalui kekuasaan-kekuasaan bangsa Portugis dan Belanda yang mengobarkan penjajahan dan penyebaran agama Kristen. Penyebaran agama Kristen tidak hanya dimaksudkan untuk kepentingan agama, tetapi lebih jauh lagi dimaksudkan sebagai alat (Fachri Ali-Bachtiar Effendi, 1990:37).
Professor Mahmud Yunus merinci beberapa faktor yang memungkinkan agama Islam tersebar dengan cepat di seluruh Indonesia pada masa permulaan, yaitu sebagai berikut.
§  Agama Islam tidak sempit dan aturan-aturannya pun tidak memberatkan, bahkan mudah dituruti oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk Islam cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja.
§  Tugas dan kewajiban dalam Islam itu sedikit.
§  Penyiaran Islam itu dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh segala golongan, dari golongan bawah sampai golongan atas, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. yang artinya: “Berbicaralah kamu dengan manusia menurut kadar akal mereka” (Mahmud Yunus, 1993: 14)
Itulah beberapa faktor yang menyebabkan mudahnya proses Islamisasi di Indonesia sehingga pada gilirannya, Islam menjadi agama utama dan mayoritas di negeri ini.
Adapun mengenai cara dan pembawa agama Islam ke Indonesia pada masa permulaan, para pengamat sejarah berbeda pendapat. Ahmad Mansyur Suryanegara menguraikan tiga teori tentang masuknya agama Islam ke Indonesia, yaitu Teori Gujarat, Teori Mekah dan Teori Persia.
Ketiga teori tersebut mencoba memberikan jawaban terhadap permasalahan pokok tentang masuknya agama Islam ke Indonesia, meliputi: waktu masuknya agama Islam, asal Negara yang menjadi perantara atau sumber tempat pengambilan ajaran agama Islam dan pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Indonesia.
1.      Teori Gujarat
Peletak dasar teori Gujarat, menurut dugaan adalah Snouck Hurgronje, dalam bukunya L’ Arabiee et les Indes Neerlandaises atau Revus del ‘Histoire des Religious. Snouck Hurgronje lebih menitik beratkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan:
1)     Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara.
2)     Hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin.
3)     Inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera dengan Gujarat (T. W. Arnold, 1963: 370)
Sejalan dengan pendapat di atas, W.F. Stutterheim dalam bukunya De Islam enzijn Komst In de Archipel, menyatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat dengan alasan bahwa relief nisan Sultan pertama dari Kerajaan Samudera, yakni Malik Al-Shaleh yang wafat pada tahun 1297 bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat (W.F. Stutterheim, 1962: 35)
J.C. Van Leur dalam bukunya Indonesia: Trade and Society, menyatakan bahwa tahun 674 di pantai Barat Sumatera telah terdapat perkampungan (koloni) Arab Islam. Dengan pertimbangan bangsa Arab telah mendirikan perkampungan perdagangannya di Kanton pada abad ke-4. Tahun-tahun berikutnya, perkampungan tersebut mulai mempraktikkan ajaran agama Islam. Hal ini memengaruhi juga perkampungan Arab yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan di Asia Tenggara (J.C. Van Leur, 1955: 111)
Pendapat J.C. Van Leur sedikit berbeda dengan sejarahwan sebelumnya. Ia mempunyai kesamaan dengan pendapat T.W. Arnold ataupun J.C. Van Leur yang tidak dapat melepaskan pandangannya dari pengaruh Gujarat tentang masuknya agama Islam ke Indonesia, mengikuti pendapat Snouck Hurgronje. Selain itu, J.C. Van Leur dan T.W. Arnold menyetujui adanya bangsa Arab yang memelopori penyebaran agama Islam.
Teori Gujarat ini terlihat Hindu Sentries karena beranggapan bahwa seluruh perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan agama Islam di Indonesia tidak mungkin terlepas dari pengaruh India. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa Teori Gujarat secara mutlak menolak peranan bangsa Arab. Teori Gujarat ini tentu memiliki kelemahan, bila dibanding dengan Teori Mekah (Ahmad Mansur Suryanegara, 1996: 81)
2.      Teori Mekah
Hamka menolak pandangan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 dan berasal dari Gujarat. Pernyataan ini disampaikan dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam ke Indonesia, di Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka lebih mendasarkan pandangan pada peranan bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia, pada abad ke-7. Adapun Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, Mekah sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam.
Analisis Hamka menambahkan pengamatannya pada masalah Madzhab Syafi’i, sebagai Madzhab yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh yang tersebar di Indonesia.
Hubungan Arab dengan negara-negara Asia lainnya telah berlangsung lama. Ini terbukti dengan adanya perkampungan pedagang Arab Islam di pantai barat Sumatera pada abad 674 M, yang bersumber dari berita Cina, diantaranya bahwa hubungan Arab dengan Cina terjadi jauh lebih lama melalui jalan barat menggunakan “Kapal Sahara”. Jalan darat ini sering disebut “Jalan Sutera”, berlangsung sejak 500 SM (D.H. Burger dan Prajudi Atmosudirjo, 1960: 16)
Berita Cina ini dituliskan kembali oleh T.W. Arnold (1896), J.C. Van Leur (1995) dan Hamka (1958)
Peninggalan mata uang yang tersebar di kota-kota Eropa, membuktikan bahwa bangsa Arab pada abad ke-7 sampai abad ke-11 menguasai perniagaan di Eropa, tidak hanya di Asia dan Afrika saja. Mata uang tersebut ditemukan di negara-negara utara, di rusia ditemukan mata uang Islam di Volga Provinsi Kazan. Dalam jumlah yang cukup besar terdapat pula mata uang Arab di Provinsi Baltik (Sir Thomas Arnold dan Alfed Gillanme, 1965: 95)
Adanya fakta berupa mata uang yang terbesar di kota-kota Eropa memberi tanda luasnya daerah pengaruh kebudayaan Islam. Besarnya pengaruh ini dapat kita ukur dengan kata-kata bahasa Arab yang memperkaya pembendaharaan bahasa Inggris atau Belanda. Sebagai ilustrasi, kata traffic dari kata tafriq, tarif berasal dari kata ta’rif, cheque berasal dari sakk, magazine berasal dari makhazin, dan lain-lainnya.
Cukup sebagai telaah bahan pertimbangan  bahwa pada abad ke-7 terdapat perkampungan Arab Islam di pantai barat Sumatera, juga sebagai informasi sejarah yang menggambarkan kemungkinan peranan bangsa Arab dalam memasukkan agama Islam ke Indonesia. Sebagaimana keterangan Hamka pada Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia (Hamka, 1963: 2). Sejak pidatonya dalam Dies Natalis PTAIN (1958) dan seminar (1963), Hamka berpendapat, diantaranya: masuknya agama Islam ke Indonesia terjadi pada abad ke-1 Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Pelaku pembawa agama Islam adalah saudagar Arab, diikuti oleh orang Persia dan Gujarat. Mereka bukanlan anggota misi meskipun pada hakikatnya setiap orang Islam mempunyai kewajiban misi.
Di samping dibawa oleh pedagang Arab, Hamka juga menyatakan orang Indonesia mengambil inisiatif untuk belajar dengan berlayar ke luar daerah, seperti Cina, Hindustan, Laut Merak, Pantai Jedah, bahkan membangun negara baru di Malagasi (Madagaskar) sehingga bangsa Indonesia bukan sebagai bangsa yang pasif, tetapi sebagai bangsa aktif yang bergerak ke luar.
Mengenai kemampuan berlayar bangsa Indonesia ini, antara Hamka dengan kebanyakan sejarahwan Barat tidak banyak terdapat perbedaan pendapat. Pandangan sejarahwan Barat lebih memerhatikan mistik Islam Indonesia yang mempunyai kesamaan dengan mistik di Indonesia.
3.      Teori Persia
P.A. Hoesein Djajadiningrat adalah pembangun teori Persia di Indonesia. Teori Persia ini lebih menitikberatkan tinjauannya pada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai kesamaan dengan Persia (P.A. Hoesein Djajadiningrat, 1963: 140)
Kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain:
1)      Peringatan 10 Muharam atau Assura sebagai hari peringatan Syiah atas kematian Syahidnya Husain.
2)      Adanya kesamaan ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran sufi Iran Al Hallaj.
3)      Sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi harkat dalam pengajian Al-Qur'an tingkat awal:
Bahasa iran
Bahasa arab
Jabar-zabar
Fathah
Jer-zeer
Kasrah
P’es-py’es
dhammah

Huruf sin yang tidak bergigi berasal dari Persia, sedangkan sin yang bergigi berasal dari Arab. (Ibrahim Buchari, 1971: 21)
K.H. Saepuddin Zuhri sebagai salah seorang peserta seminar (1963) menolak pendapat bahwa kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Persia. Menurutnya, bila berpedoman pada masuknya agama Islam ke Indonesia pada abad ke-17, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan khalifah Umayah. Pada saat itu kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan ada di tangan bangsa Arab, sedangkan pusat perkembangan Islam berkisar di Mekah, Madinah, Damaskus dan Baghdad. Jadi, tidak mungkin Persia menduduki kepemimpinan dunia Islam (Saifuddin Zuhri, 1979: 188)
Dari uraian di atas dapat kita lihat perbedaan dan persamaan teori Gujarat, Mekah dan Persia.
Teori Gujarat dan Persia memiliki kesamaan pendapat, bahwa masuknya agama Islam ke Indonesia, yaitu pada abad ke-13 saat timbulnya kekuasaan politik Islam di Indonesia, kerajaan Samudera Pasai sebagai pusatnya. Perbedaannya, yaitu bahwa teori Gujarat memandang adanya kesamaan ajaran sufi di Indonesia dengan Persia.
Teori Mekah tidak sependapat bahwa abad ke-13 sebagai masuknya agama Islam ke Indonesia karena abad tersebut dianggap saat-saat perkembangan agama Islam di Indonesia, dan saat itu telah terjadi kekuasaan politk Islam. Adapun teori Mekah memandang  bahwa masuknya agama Islam ke Indonesia terjadi abad ke-7 Masehi. Pelaku pembawa agama Islam adalah saudagar Arab, diikuti oleh orang Persia dan Gujarat. Selain itu, teori Mekah memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perdagangan laut antara Indonesia dan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Mekah atau dari Mesir.
Akhirnya, teori Mekah yang dikemukakan oleh Hamka, mendapat perhatian dan pembenaran dalam Seminar Sejarah Islam ke Indonesia (1963), Sejarah Islam di Minangkabau (1969), Sejarah Riau (1975), Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan (1976), dan Seminar Pendahuluan Sejarah Islam di Indonesia (1980) (Ahmad Mansur Suryanegara, 1996: 94)
C.    PERANAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PROSES ISLAMISASI DI INDONESIA
Adapun beberapa saluran proses islamisasi di Indonesia yaitu perdagangan, perkawinan, kesenian, sufisme, dan pendidikan. Pembahasan ini akan lebih melihatnya dari peranan pendidikan dalam proses islamisasi di Indonesia.
Berbicara tentang pendidikan tentu sebaiknya dimulai dari membicarakan apa sebetulnya esensi pendidikan tersebut. Dipandang dari sudut definisi pendidikan yang dikemukakan oleh pakar pendidikan, dari sekian banyak itu dapat diambil kesimpulan bahwa hakikat pendidikan itu adalah proses pembentukan manusia ke arah yang dicita-citakan. Dengan demikian pendidikan Islam, proses pembentukan manusia sesuai dengan tuntunan Islam.
Dalam teori pendidikan dikemukakan paling tidak ada tiga hal yang ditransfer pembuatan (transfer of knowledge, transfer of value, transfer of skill) di dalam proses pentransferan inilah berlangsungnya pendidikan.
Peranan kerajaan Islam di Aceh dalam bidang pendidikan dapat dilihat dalam tulisan Hasjmy “Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah” beliau mengemukakan diantara lembaga-lembaga Negara yang tersebar dalam Qanun Mukuta, alam ada tiga lembaga yang bidang tugasnya meliputi masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu:
1.      Balai Setia Hukama
Balai ini dapat disamakan dengan lembaga ilmu pengetahuan tempat berkumpulnya para sarjana, Hukama (ahli pikir) untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2.      Balai Setia Utama
Balai ini dapat disamakan dengan jawatan pendidikan yang membahas masalah pendidikan.
3.      Balai Jamaah Himpunan Ulama
Balai ini dapat disamakan dengan sebuah studi klub tempat para ulama/sarjana berkumpul untuk bertukan pikiran.
Berdasarkan ungkapan di atas dapat dimaklumi betapa luasnya ruang lingkup pendidikan, sehingga setiap perbuatan yang pada intinya pentransferan ilmu, nilai, aktifitas dan keterampilan dapat disebut dengan pendidikan. Karena itu dapat dipastikan pendidikan Islam itu telah berlangsung di Indonesia sejak mubaligh pertama melakukan kegiatannya dalam rangka menyampaikan keislaman baik dalam bentuk pentransferan pengetahuan, nilai, dan aktifitas maupun dalam pembentukan sikap















PENUTUP

Kehidupan bangsa Indonesia sebelum datangnya Islam. Sebelum agama Islam datang, bangsa Indonesia sudah memeluk bermacam-macam kepercayaan dan agama. Kepercayaan itu disebut animisme dan dinamisme, sedangkan agamanya adalah Hindu dan Budha.
Masuknya Islam ke Indonesia dan pembawanya. Sejarah membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M/1 H (Sidi Ibrahim Boechari, 1981:32), tetapi baru meluas pada abad ke-13 M.
Hamka berpendapat, diantaranya: masuknya agama Islam ke Indonesia terjadi pada abad ke-1 Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Pelaku pembawa agama Islam adalah saudagar Arab, diikuti oleh orang Persia dan Gujarat. Mereka bukanlan anggota misi meskipun pada hakikatnya setiap orang Islam mempunyai kewajiban misi.
Peranan pendidikan Islam dalam proses islamisasi di Indonesia. Pendidikan Islam itu telah berlangsung di Indonesia sejak mubaligh pertama melakukan kegiatannya dalam rangka menyampaikan keislaman baik dalam bentuk pentransferan pengetahuan, nilai, dan aktifitas maupun dalam pembentukan sikap

Ê{É





DAFTAR PUSTAKA

Dra. Hj. Enung K. Rukiati, Dra. Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung: 2006.




LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DIANTARANYA ADALAH PONDOK PESANTREN


LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
DIANTARANYA ADALAH PONDOK PESANTREN

A.    Asal-Usul Pondok Pesantren Dan Sejarah Perkembangannya.
Pesantren dilahirkan atas dasar kewajiban dakwah islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da’i. Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah “tempat belajar para santri”, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu, kata pondok juga berasal dari bahasa arab “funduq” yang berarti hotel atau asrama (zamakhsyari, 1983: 18).
Pengembangan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga pendidikan lanjutan. Namun demikian, faktor guru yang memenuhi persyaratan keilmuan yang diperlukan sangat menentukan tumbuhnya suatu pesantren. Pada umunya, berdirinya suatu pesantren ini diawali dari pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kiai. Karena keinginan menuntut ilmu dari guru tersebut, masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah datang kepadanya untuk belajar. Kemudian mereka membangun tempat tinggal yang sederhana di sekitar tempat tinggal guru tersebut.
B.     Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Mekanisme kerja pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang  diterapkan dalam pendidikan pada umumnya, yaitu:
1.      Memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah modern sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan kiai.
2.      Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka praktis bekerja sama mengatakan problema nonkurikuler mereka.
3.      Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu peroleh gelar ijazah karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut. Hal itu karena tujuan utama mereka hanya ingin mencari keridaan Allah SWT. semata.
4.      Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, penamaan rasa percaya diri, dan keberanian hidup.
5.      Alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka hamper tidak dapat dikuasai oleh pemerintah. (Amin Rais, 1989: 162).
Sementara itu, yang menjadi ciri khas pesantren dan sekaligus menunjukkan unsur-unsur pokoknya, yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu:
1.      Pondok
Merupakan tempat tinggal kiai bersama para santri dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan yang berlangsung di masjid atau langgar. Dalam perkembangannya, pondok lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut.
2.      Masjid
Sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar. Masjid yang merupakan unsur pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat melakukan shalat berjamaah tiap waktu shalat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Pada sebagian pesantren, masjid juga berfungsi sebagai i’tikaf dan melaksanakan latihan-latihan atau suluk dan dzikir, maupun amalan-amalan lainnya dalam kehidupan tarekat dan sufi (Zamakhsyari, 1982: 138).
3.      Santri
Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu:
1)      Santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
2)      Santri kalong ialah santri yang berasal dari daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka menetap dalam pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
4.      Kiai
Merupakan tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran. Karena itu, kiai merupakan salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren. Gelar kiai diberikan oleh masyarakat kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan mendalam tentang agama Islam dan memiliki serta memimpin pondok pesantren, serta mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santri. Dalam perkembangannya, kadang-kadang sebutan kiai juga diberikan kepada mereka yang mempunyai keahlian yang mendalam di bidang agama Islam, dan tokoh masyarakat, walaupun tidak memiliki atau memimpin serta memberikan pelajaran di pesantren.
5.      Kitab-kitab Islam klasik
Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab tentang berbagai macam ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.
C.    Sistem Pendidikan Dan Pengajaran Pesantren
Pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan menggunakan metode pengajaran sorogan dan wetonan atau bandungan (menurut istilah dari Jawa Barat).
Sorogan disebut juga sebagai cara mengajar per-kepala, yaitu setiap santri mendapat kesempatan tersendiri untuk memperoleh pelajaran secara langsung dari kiai. Dengan cara sorogan ini, pelajaran diberikan oleh pembantu kiai yang disebut badal.
Dengan metode bandungan atau halaqah dan sering juga wetonan, para santri duduk di sekitar kiai dengan membentuk lingkaran. Kiai maupun santri dalam halaqah tersebut memegang kitab masing-masing. Kiai membacakan teks kitab kemudian menterjemahkannya kata demi kata, dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak kitab masing-masing dan mendengarkan dengan seksama terjemahan dan penjelasan-penjelasan kiai, kemudian santri mengulang dan mempelajari kembali secara sendiri-sendiri (Mahmud Yunus, 1985: 58).
Meskipun pesantren tidak mengenal evaluasi secara formal, dengan pengjaran secara halaqah ini, kemampuan para santri dapat diketahui.
D.    Keadaan Pesantren Pada Zaman Penjajahan
Pemerintah kolonial khususnya Belanda, berusaha menekan dan mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh pribumi, tak terkecuali pondok pesantren.
Penyelenggaraan pendidikan di pesantren menurut pemerintah kolonial Belanda terlalu jelek dan tidak memungkinkan untuk menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu, mereka mengambil alternatif  kedua, yaitu mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubungannya dengan lembaga pendidikan  yang telah ada (Karel, 1986: 159).
Antara kedua sistem pendidikan tersebut terdapat perbedaan yang cukup mencolok, dan bahkan bisa dikatakan kontradiksi atau bertentangan. Perbedaan-perbedaan tersebut, yaitu:
1)      Pendidian yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah Belanda bersifat netral.
2)      Pendidikan di madrasah dan di pondok pesantren tidak terlalu memikirkan bagimana cara hidup harmonis di dunia, tetapi menekan kepada bagaimana memperoleh pengehidupan.
3)      Sekolah-sekolah yang dikelola Belanda diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok etnis dalam masyarakat dan untuk mempertahankan perbedaan kelas dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan orang jawa.
4)      Sebagian besar sekolah kolonial diarahkan pada pembentukan kelompok masyarakat etlit yang biasa dipergunakan untuk mempertahankan supremasi politik dan ekonomi Belanda di negeri jajahannya. Dengan demikian, sekolah-sekolah ini benar-benar mencerminkan kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda (Selo, 1981: 278).
Dengan didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan sebagian bangsa Indonesia tersebut, terutama bagi golongan priyayi dan pejabat oleh pemerintah kolonial, semenjak itulah terjadi persaingan antara lembaga pendidikan pesantren  dan lembaga pendidikan pemerintah.
Persaingan yang terjadi tersebut bukan hanya dalam segi-segi ideologis dan cita-cita pendidikan saja, melainkan juga dalam bentuk perlawanan politis dan bahkan secara fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan) melawan pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19, bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pesantren. Perang-perang besar, seperti perang Diponegoro, perang Paderi, perang Banjar, sampai perlawanan rakyat yang bersifat lokal yang tersebar di mana-mana, tokoh-tokoh pesantren atau alumni-alumninya memgang pemeran utama (Sartono Kartidirjo, 1977: 131).
Pada tahun 1882 didirikan Priesterreden (pengadilan agama) oleh pemerintah kolonial. Tugas-tugasnya adalah mengadakan pengawasan terhadap pendidikan pesantren. Tidak lama setelah itu, dikeluarkan ordonansi tahun 1905 yang berisi ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap perguruan yang hanya mengajarkan agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat (Amir Hamzah, 1989: 47).
Sebenarnya kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan kaum muslimin dari bangsa-bangsa Barat, telah timbul sejak awal abad ke-18 Masehi, yaitu sejak kekalahan-kekalahan yang diderita oleh kerajaan Usmani dalam berbagai peperangan melawan bangsa-bangsa Eropa masa itu. Namun, pendudukan Mesir oleh Napoleon Bonaparte tahun 1798 M dianggap sebagai tonggak sejarah bagi umat Islam untuk mendapatkan kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan mereka berhadapan dengan budaya dan peradaban modern barat. Dengan kesadaran tersebut, timbul berbagai usaha pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, budaya dan peradaban umat Islam, termasuk usaha pembaharuan pendidikan Islam (Tadjab, 1994: 77).
Pada garis besarnya, ide pembaharuan dalam bidang pendidikan yang berkembang di dunia Islam bisa digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1)     Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di barat, yakni mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan.
2)     Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pemurnian kembali ajaran Islam. Usaha pembaharuan pendidikannya harus kembali pada sumber ajaran Islam yang murni, menurut Al-Qur'an dan As Sunnah yang tidak pernah membedakan antara agama dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak terpisah dari Islam. Pendidikan harus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dikembangkan oleh dunia barat.
3)     Pola pembaharuan yang berorientasi pada kekuatan-kekuatan dan latar belakang historis atau pengembangan sumber daya nasional atau bangsa masing-masing. Dengan dikembangkannya sistem pendidikan nasionalnya sendiri-sendiri, diharapkan akan timbul kemajuan bagi bangsa yang bersangkutan.
Tampaknya, ketiga pandangan tersebut mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan pembaharuan dan sistem pendidikan Islam di Indonesia  menjelang dan awal abad ke-20.
Beberapa pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah, sebagaimana sistem yang berlaku di sekolah-sekolah umum, kendati mata pelajarannya masih di tekankan pada pelajara agama saja. Pada perkembangan berikutnya, madrasah-madrasah mengajarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan umum.
E.     Pertumbuhan Dan Perkembangan Pesantren Di Zaman Kemerdekaan Dan Pembangunan.
Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, pesantren masih mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Ki Hajar Dewantara, yang dikenal sebagai tokoh Pendidikan Nasional dan sekaligus sebagai Menteri Pendidikan Dan Pengajaran Dan Kebudayaan R.I yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia (Alamsyah, 1982: 41).
Pemerintah R.I pun mengakui bahwa pesantren dan madrasah merupakan dasar dan sumber pendidikan nasional sehingga harus dikembangkan, diberi bimbingan dan bantuan. Wewenang dan pengembangan tersebut berada di bawah wewenang Kementrian Agama (Djamil Latif, 1983: 273).
Meskipun demikian, pesantren juga tidak luput dari berbagai kritik. Hal ini terutama terjadi di saat-saat menjelang kemerdekaan, ketika kondisi pondok pesantren telah mencapai titik kritis sebagai lembaga pendidikan tradisional yang tertutup dan statis. Islam yang diajarkan oleh pondok pesantren pada umumnya adalah Islam yang mengalami teror dan intimidasi musuh Islam , yakni Islam yang ritualistik dan sufistik, bahkan mengarah pada feodalisme (Fuad Amsyari, 1993: 111).
Akhir-akhir ini, pondok pesantren mempunyai kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan, yaitu:
a)      Mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern.
b)      Semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya.
c)      Diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun absolut dengan kiai dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja.
d)     Berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Rusli Karim, 1991: 134).
Kendatipun demikian, pesantren masih tetap mempertahankan sistem pengajaran tradisional yang menjadi ciri khasnya. Sistem sorogan tampak dalam berbagai bentuk bimbingan individual, sedangkan cara bandungan tampak dalam kegiatan ceramah-ceramah umum, yang sekarang lebih dikenal dengan majlis taklim.
Secra garis besar, pesantren sekarang dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:
a)      Pesantren tradisional; pesantren yang masih mempertahankan sistem pengajaran tradisional dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik yang sering disebut kitab kuning.
b)      Pesantren modern; pesantren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan sekolah ke dalam pondok pesantren. Semua santri yang masuk pondok terbagi dalam tingkatan kelas. Pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol, bahkan ada yang cuma sekedar pengelap, dan berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi. Begitu juga dengan sistem yang diterapkan seperti cara sorogan dan bandungan mulai berubah menjadi individual dalam hal belajar dan kuliah secara umum, atau stadium general (Zuhairini, 1986: 65).

Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup pesantren, pemerintah telah memberikan bimbingan dan bantuan sebagai motivasi agar tetap berkembang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan pembangunan arah pengembangan pesantren dititikberatkan kepada:
1)      Peningkatan tujuan intruksional pondok pesantren dalam kerangka pendidikan nasional dan pengembangan potensinya sebagai lembaga sosial di pedasaan.
2)      Peningkatan kurikulum dengan metode pendidikan agar efesiensi dan kreatifitas pengembangan pondok pesantren terarah.
3)      Menggalakkan pendidikan keterampilan di lingkungan pondok pesantren untuk mengembangkan potensi pondok pesantren dalam bidang prasarana sosial dan taraf hidup masyarakat.
4)      Menyempurnakan bentuk pesantren dengan madrasah menurut surat keputusan bersama tiga Menteri (SKB T3 Menteri tahun 1975) tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah (Alamsyah, 1982: 80).
Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan yang tampakkanya ditujukan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan yang ada. Kecenderungan tersebut bukan berarti tanpa masalah, tetapi justru menjadi masalah baru yang harus dicari alternatif pemecahannya, diantaranya yaitu:
1)      Masalah integrasi pondok pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional.
2)      Masalah pengembangan wawasan sosial, budaya, dan masalah ekonomi.
3)      Masalah pengalaman kekuatan dengan pihak-pihak lain untuk mencari tujuan membentuk masyarakat ideal yang diinginkan.
4)      Masalah yang berhubungan dengan keimanan dan keilmuan sepanjang yang dihayati pondok pesantren.









KESIMPULAN

Pondok pesantren adalah tempat belajar para santri yang berada di suatu pemondokan berupa tempat tinggal sederhana.
Unsur-unsur yang terdapat pada pondok pesantren adalah meliputi pondok, masjid, santri, kiai dan kitab-kitab isl;am klasik.
Sedangkan metode yang digunakan dalam sebuah pengajaran di pesantren adalah menggunakan metode sorogan, bandungan, dan halaqah.
Pondok pesantren di bagi atas dua kelompok, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern.













DAFTAR PUSTAKA

Dra. Hj. Enung K. Rukiati, Dra. Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung: 2006.